Saudara diminta untuk membuat sebuah paper dengan topik diseputar etika bisnis profesi akuntan. Paper antara 5 sampai 10 halaman, dengan referensi minimal 3 sumber dari jurnal.
Disamping itu Saudara juga harus mempersiapkan bahan presentasi dalam power point.
Paper harus dikumpulkan disini paling lambat tanggal 15 Mei 2009. Paper dikumpulkan disini (dalam comments) dan bahan presentasi dikumpulkan melalui attachment, dikirim ke:agung.praptapa@gmail.com.
Kapan harus melakukan presentasi? Setelah ujian MID.
Agung Praptapa
PW GAS
1 year ago
Maaf Pak, ada ketentuan sistematika penyusunan papernya ga? trims
ReplyDeleteSistematika yang lazim saja, yang prinsipnya ada pendahuluan, pembahasan, dan kesimpulan. Detailnya boleh sesuai dengan kebutuhan. Thanks.
ReplyDeleteAgungP
Nama: Mochamad Novelsyah
ReplyDeleteNIM: C4C009006
Judul Paper: Pengungkapan CSR, Bagian dari Bisnis yang Beretika
Mau tanya Pak.. Paper dan Telaah kasus satu kasus ya pak? cos saya bingung antara "kumpulkan paper disini" dengan Daftarkan dan Kumpulkan Telaah Kasus disini". Mohon jawaban segera pak..
ReplyDeleteNama: HIJROH ROKHAYATI
ReplyDeleteNIM:P2CD08016
Tema paper: EARNING MANAJEMENT DAN ETIKA BISNIS
Nama : Dermawan Sugiarto
ReplyDeleteNIM : C4C008007
Tema Paper : Membangun Moral dan Etika Dalam Dunia Bisnis
Nama : Harmasti Riftiana
ReplyDeleteNIM : C4C009011
Judul Paper : BERMODAL KEPERCAYAAN PUBLIK,
AKUNTAN PUBLIK DIBERI “HAK ISTIMEWA”
BERMODAL KEPERCAYAAN PUBLIK,
AKUNTAN PUBLIK DIBERI “HAK ISTIMEWA”
PENDAHULUAN
Keputusan ekonomi harus didasarkan pada informasi yang tersedia saat keputusan dibuat. Jika menginginkan keputusan yang konsisten, maka informasi yang digunakan harus reliabel. Agar informasi dapat dipercaya (reliable) maka harus diuji dan diperiksa oleh pihak yang independen dan kompeten. Atas dasar pemikiran itulah maka pemeriksaan atau audit atas laporan keuangan oleh pihak luar harus dilakukan, khususnya untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas yang dikelola oleh manajemen profesional sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada stakeholder.
Seperti kita ketahui bersama bahwa jasa audit terhadap laporan keuangan merupakan jasa yang paling sering digunakan dari Kantor Akuntan Publik (KAP) oleh pihak luar perusahaan seperti calon investor, investor, kreditor, Bapepam dan pihak lain yang terkait untuk menilai perusahaan. Dalam hal ini akuntan publik berfungsi sebagai pihak ketiga yang menghubungkan manajemen perusahaan dengan pihak luar perusahaan yang berkepentingan, untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan yang disajikan manajemen dapat dipercaya sebagai dasar dalam membuat keputusan.
Hanya dengan opini yang terdapat dalam laporan keuangan yang di audit, dapat memberikan keyakinan kepada berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan. Oleh karena itu dapat disimpulkan betapa besar ”hak istimewa” yang diterima oleh akuntan publik. Namun maraknya kejahatan akuntansi korporat yang terjadi akhir-akhir ini membuat kepercayaan para pemakai laporan keuangan auditan terhadap auditor mulai menurun. Akibatnya profesi auditor menjadi sorotan masyarakat, beberapa kasus manipulasi akuntansi yang masih dapat kita ingat antara lain Enron, Tyco, Global Crossing dan World Com maupun beberapa perusahaan besar di Indonesia seperti Kimia Farma dan Bank Lippo, padahal sebelumnya perusahaan-perusahaan tersebut dikenal mempunyai kualitas audit yang tinggi.
Dari kasus yang diungkapkan di atas, skandal yang paling fenomenal yaitu kasus Enron, dimana Arthur Andersen (dahulu adalah salah satu dari the big five accounting firm) menjadi auditor sekaligus konsultan bisnis. Arthur Andersen memberikan opini wajar tanpa pengecualian atas laporan keuangan Enron, namun secara mengejutkan dinyatakan pailit pada 2 Desember 2001. Dalam kasus Enron, auditor telah menyesatkan (misleading) publik dengan informasi atau opini yang diberikan. Kejadian tersebut secara langsung meruntuhkan kepercayaan publik terhadap profesi auditor, padahal profesi auditor dapat tumbuh dan berkembang karena kepercayaan dari publik sebagai pengguna informasinya.
PEMBAHASAN
Auditor seharusnya mampu meningkatkan independensi, kompetensi dan akuntabilitas dalam tugas pemeriksaan sehingga kualitas audit yang diharapkan dapat terwujud dan publik mendapat informasi yang handal serta relevan untuk pengambilan keputusan. Nizarul Alim (2007) menemukan bukti empiris bahwa independensi auditor memiliki pengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Tanpa menggunakan jasa auditor independen, manajemen perusahaan tidak akan dapat meyakinkan pihak luar bahwa laporan keuangan yang disajikan manajemen perusahaan berisi informasi yang dapat dipercaya, karena dari sudut pandang pihak luar, manajemen mempunyai kepentingan baik kepentingan keuangan maupun kepentingan lainnya.
Independensi akuntan publik merupakan dasar utama kepercayaan masyarakat pada profesi akuntan publik dan merupakan salah satu faktor yang penting untuk menilai kualitas jasa audit. Independensi akuntan publik mencakup dua aspek, yaitu : (1) independensi sikap mental, (2) independensi penampilan. Independensi sikap mental berarti adanya kejujuran di dalam diri akuntan dalam mempertimbangkan fakta-fakta dan adanya pertimbangan yang objektif tidak memihak di dalam diri akuntan dalam menyatakan pendapatnya. Independensi penampilan berhubungan dengan adanya kesan masyarakat bahwa akuntan publik bertindak independen sehingga akuntan publik harus menghindari faktor-faktor yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan kebebasannya. Independensi penampilan berhubungan dengan persepsi masyarakat terhadap independensi akuntan publik.
Selain Independensi sikap mental dan penampilan, independensi akuntan publik meliputi juga independensi praktisi (practitioner independency) dan independensi profesi (profesion independence). Independensi praktisi berhubungan dengan kemampuan praktisi secara individual untuk mempertahankan sikap yang wajar atau tidak memihak dalam perencanaan program, pelaksanaan pekerjaan verifikasi, dan penyusunan laporan hasil pemeriksaan. Independensi ini mencakup tiga dimensi, yaitu independensi penyusunan program, independensi investigatif dan independensi pelaporan. Independensi profesi berhubungan dengan kesan masyarakat terhadap akuntan publik.
Akuntan publik dalam menjalankan profesinya diatur oleh kode etik profesi. Di Indonesia dikenal dengan nama Kode Etik Akuntan Indonesia. Pasal 1 ayat 2 Kode Etik Akuntan Indonesia menyatakan bahwa setiap anggota harus mempertahankan integritas, objektivitas dan independensi dalam melaksanakan tugasnya. Seorang auditor yang mempertahankan integritas, akan bertindak jujur dan tegas dalam mempertimbangkan fakta, terlepas dari kepentingan pribadi. Auditor yang mempertahankan objektivitas, akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan dan permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadinya. Auditor yang menegakan independensinya, tidak akan terpengaruh dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri auditor dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam pemeriksaan. Di samping itu dengan adanya kode etik, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana seorang auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan oleh profesinya.
Begitu pentingnya hasil akhir dari proses audit yang berupa opini yang diberikan oleh auditor bagi auditee, maka seorang auditor harus mempunyai kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan dalam mengumpulkan dan menganalisa bukti-bukti audit sehingga bisa memberikan opini yang tepat. Auditor dituntut untuk menerapkan rasa kebertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam setiap penugasan audit yang dilaksanakan. Sehingga tujuan auditor untuk memperoleh bukti kompeten yang cukup dan memberikan basis yang memadai dalam merumuskan pendapat bisa tercapai dengan baik. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai dorongan psikologi sosial yang dimiliki seseorang untuk menyelesaikan kewajibannya yang akan dipertanggungjawabkan kepada lingkungannya. Cloyd (1997) dalam Diani Mardisar dan Ria Nelly Sari (2007) membuktikan bahwa akuntabilitas dapat meningkatkan kualitas hasil kerja auditor jika pengetahuan audit yang dimiliki tinggi.
Sehubungan dengan posisi tersebut, maka auditor dituntut untuk dapat mempertahankan kepercayaan dari kliennya dan dari para pemakai laporan keuangan auditan lainnya. Auditor harus terus-menerus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya dengan mempelajari, memahami, dan menerapkan ketentuan ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam standar auditing profesional akuntan publik (SPAP), akuntan dituntut untuk dapat menjalankan setiap standar yang ditetapkan oleh SPAP tersebut. Standar-standar tersebut meliputi standar auditing, standar atestasi, standar jasa akuntan dan review, standar jasa konsultasi, dan standar pengendalian mutu. Dalam salah satu SPAP diatas terdapat standar umum yang mengatur tentang keahlian auditor yang independen.
Dalam standar umum SA seksi 210 tentang pelatihan dan keahlian Auditor Independen yang terdiri atas paragraph 03-05, menyebutkan secara jelas tentang keahlian auditor dalam paragraf pertama sebagai berikut “Audit harus dilakukan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan yang cukup sebagai auditor” (SPAP, 2001). Standar Umum pertama tersebut menegaskan bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang akuntan untuk melaksanakan audit adalah harus memiliki pendidikan serta pengalaman yang memadai dalam bidang auditing. Pengalaman seorang auditor sangat berperan penting dalam meningkatkan keahlian sebagai perluasan dari pendidikan formal yang telah diperoleh auditor.
Keahlian yang dimiliki auditor yang diperoleh dari pendidikan formal dan non formal harus terus-menerus ditingkatkan. Salah satu sumber peningkatan keahlian auditor dapat berasal dari pengalaman-pengalaman dalam bidang audit dan akuntansi. Pengalaman tersebut dapat diperoleh melalui proses yang bertahap, seperti: pelaksanaan tugas-tugas pemeriksaan, pelatihan ataupun kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pengembangan keahlian auditor.
Pengalaman audit berkaitan dengan lama bekerja sebagai auditor dan berapa banyak pekerjaan audit yang telah diselesaikan. Pengalaman secara langsung maupun tidak langsung akan mengasah kompetensi dan keahlian seseorang, karena dengan tugas pemeriksaan yang banyak dihadapi maka auditor semakin mengetahui berbagai karakter prosedur audit. Secara teknis kemampuan auditor akan berkembang karena perbedaan karakter dalam tugas audit membutuhkan treatment (perlakuan) yang berbeda pula. Lamanya waktu bekerja auditor diasumsikan mampu meningkatkan keahlian (audit expertise) dan pertimbangan (audit judgement) dalam program pemeriksaan, sehingga berkaitan erat dengan kualitas audit (audit quality).
Menurut penelitian Jeffrey (1997) dalam Dwi Ananing Tyas (2006), memperlihatkan bahwa seseorang dengan lebih banyak pengalaman dalam suatu bidang memiliki lebih banyak hal yang tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik mengenai peristiwa-peristiwa. Pengalaman yang cukup mampu mengurangi kesalahan dalam tugas pemeriksaan, karena auditor semakin mengetahui tujuan dan prosedur yang harus dilakukan. Kemampuan meminimalisir kesalahan diharapkan mampu menghasilkan informasi yang relevan dan handal bagi penggunanya, hal ini berkaitan erat sekali dengan kualitas audit. Dalam standar umum auditing dijelaskan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor. Dengan pengalaman penugasan yang dilakukan, dapat meningkatkan keahlian yang dimiliki.
Standar Profesional Akuntan Publik
Agar tercipa suatu sikap etis, maka suatu norma perilaku diperlukan untuk mengatur hubungan antara auditor dengan auditor, auditor dengan pekerjaanya, auditor dengan pihak luar. Norma pemeriksaan akuntan (auditing standards) merupakan ukuran mengenai mutupekrjaan akuntan seperti yang diakui oleh organisasi profesional akuntan IAI.
Berjalannya waktu, standar auditing yang menjadi pedoman praktek Kantor Akuntan Publik (KAP) mengalami perubahan yaitu deigantinya Norma Pemeriksaan Akuntan menjadi Standard Profesional Akuntan Publik pada Kongres ke VII Ikatan Akuntan Indonesia tahun 1994. Meskipun demikian, secara substansi standar audit tidak berubah karena masih menganut Generally Accepted Auditing Standards (GAAS).
Standar yang telah ditetapkan dan disahkan Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari sepuluh standard yang dikelompokan menjadi tiga pokok standar, yaitu:
a. Standar Umum
1) Audit harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan keterampilan teknis yang cukup bagi seorang auditor.
2) Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dan sikap mental harus dipertahankan oleh auditor
3) Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
b. Standar Pekerjaan Lapangan
1) Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
2) Pemahaman memadahi atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit, menentukan sifat, saat dan ruang lingkup pengujian yang harus dilakukan.
3) Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
c. Standar Pelaporan
1) Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
2) Laporan audit harus menunujukan, jika ada, ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya.
3) Pengungkapan informatif dalam leporan keuangan harus diapandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor.
4) Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, maka laporan audit harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor.
KESIMPULAN
KAP (Kantor Akuntan Publik) untuk lebih memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan kualitas audit. Mengingat kualitas audit merupakan hal yang sangat penting. Karena berkualitas atau tidaknya suatu proses audit dapat mempengaruhi ketepatan dari keputusan- keputusan yang diambil auditor dan secara tidak langsung juga dapat mempengaruhi penilaian pihak lain (terutama di luar perusahaan) terhadap kondisi sebuah entitas yang bersangkutan.
Dalam hal ini akuntan publik berfungsi sebagai pihak ketiga yang menghubungkan manajemen perusahaan dengan pihak luar perusahaan yang berkepentingan, untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan yang disajikan manajemen dapat dipercaya sebagai dasar dalam membuat keputusan. Oleh karena itu, sudah selayaknya seorang auditor atau akuntan publik senantiasa meningkatkan keahliannya baik melalui pelatihan teknis maupun dari pengalamannya sebagai seorang auditor. Selain itu dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, auditor dituntut untuk mempertahankan independensi dalam sikap mental maupun dalam penampilan. Yang tidak kalah penting, seorang auditor harus memiliki rasa tanggungjawab (akuntabilitas) baik terhadap penugasan yang diterima maupun terhadap profesi.
DAFTAR PUSTAKA
Dian Indri Purnamasari, (2005) Pengaruh Pengalaman Kerja Terhadap Hubungan Partisipasi dengan Efektifitas Sistem Informasi, Jurnal Riset Akuntansi Keuangan.
Diani Mardisar dan Ria Nelly Sari. 2007. Pengaruh Akuntabilitas dan Pengetahuan Terhadap Kualitas Hasil Kerja Auditor. Simposium Naional Akuntansi X. Universitas Hasannudin, Makassar.
M. Nizarul Alim, Trisni Hapsari dan Liliek Purwanti, 2007. Pengaruh Kompetensi dan Independensi Terhadap Kualitas Audit dengan Etika Auditor sebagai Variabel Moderasi. Simposium Nasional Akuntansi X. Universitas Hassannudin, Makassar.
====================================================================================
ReplyDeletePAPER
Nama: SITI NUR LAELATUL BADRIYAH
NIM : C4C008010
PERANAN SARBANES OXLAY ACT (SOA)
DALAM IMPLEMENTASI ETIKA AKUNTAN
PENDAHULUAN
Banyak masalah yang terjadi pada berbagai kasus bisnis yang ada saat ini melibatkan profesi akuntan. Sorotan yang diberikan kepada profesi ini disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya praktik-praktik profesi yang mengabaikan standar akuntansi bahkan etika. Perilaku tidak etis merupakan isu yang relevan bagi profesi akuntan saat ini. Di Amerika Serikat juga di Indonesia, isu mengenai etika akuntan berkembang seiring dengan terjadinya beberapa pelanggaran etika. Profesi akuntan tidak terlepas dari etika bisnis yang mana aktivitasnya melibatkan aktivitas bisnis yang perlu pemahaman dan penerapan etika profesi seorang akuntan serta etika bisnis.
Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak yang membutuhkan. Untuk dapat meningkatkan sikap profesionalisme dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, hendaknya para akuntan publik memiliki pengetahuan audit yang memadai serta dilengkapi dengan pemahaman mengenai kode etik profesi.
BERBAGAI KASUS PELANGGARAN ETIKA
Kasus Enron begitu sering didiskusikan di ruang kuliah. Sebenarnya, Enron adalah perusahaan yang sangat bagus. Sebagai salah satu perusahaan yang menikmati booming industri energi di tahun 1990an, Enron sukses menyuplai energi ke pangsa pasar yang begitu besar dan memiliki jaringan yang luar biasa luas. Enron bahkan berhasil menyinergikan jalur transmisi energinya untuk jalur teknologi informasi.
Kalau dilihat dari siklus bisnisnya, Enron memiliki profitabilitas yang cukup menggiurkan. Seiring booming industri energi, Enron memosisikan dirinya sebagai energy merchants: membeli natural gas dengan harga murah, kemudian dikonversi dalam energi listrik, lalu dijual dengan mengambil profit yang lumayan dari markup sale of power atau biasa disebut “spark spread“.
Sebagai sebuah entitas bisnis, Enron pada awalnya adalah anggota pasar yang baik, mengikuti peraturan yang ada di pasar dengan sebagaimana mestinya. Pada akhirnya, Enron meninggalkan prestasi dan reputasi baik tersebut. Sebagai perusahaan Amerika terbesar ke delapan, Enron kemudian tersungkur kolaps pada tahun 2001. Tepat satu tahun setelah California energy crisis.
Seleksi alam akhirnya berlaku. Perusahaan yang bagus akan mendapat reward, sementara yang buruk akan mendapat punishment. Termasuk juga pihak-pihak yang mendukung tercapainya hal tersebut, dalam hal ini Arthur Andersen.
Pada Juni 2002, menyusul terbongkarnya skandal akuntansi di WorldCom, perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Amerika Serikat (AS), enam pekan setelah terbongkarnya kasus Enron. Worldcom terlibat rekayasa akuntansi atau manipulasi laporan keuangan milyaran dollar AS. Dalam pembukuannya Worldcom mengumumkan laba sebesar US$ 3.9 milyar antara Januari 2001 sampai Maret 2002.
Skandal ini telah menenggelamkan kepercayaan investor terhadap korporasi AS dan menyebabkan harga saham dunia menurun serentak di akhir Juni 2002. Banyak investor lari dari pasar saham karena mereka telah kehilangan kepercayaan, sehingga mereka mengurungkan niat untuk membeli saham.
Di Indonesia kasus-kasus serupa juga terjadi, misalnya kasus audit PT Telkom oleh KAP “Eddy Pianto & Rekan”. Dalam kasus ini laporan keuangan auditan PT Telkom tidak diakui oleh SEC (pemegang otoritas pasar modal di Amerika Serikat), dan atas peristiwa ini audit ulang diminta untuk dilakukan oleh KAP yang lainnya. Kasus lainnya yang cukup menarik adalah keterlibatan10 KAP (jumlah sample dalam peer review) yang melakukan audit terhadap bank beku operasi dan bank beku kegiatan usaha. Bahkan dalam kasus ini KAP-KAP besar disebut-sebut juga terlibat. Selain itu terdapat kasus penggelapan pajak yang melibatkan KAP “KPMG Sidharta Sidharta & Harsono” (KPMG-SSH) yang menyarankan kepada kliennya (PT. Easman Christensen/PTEC) untuk melakukan penyuapan kepada aparat perpajakan Indonesia untuk mendapatkan keringanan atas jumlah kewajiban pajak yang harus dibayarnya. Sebuah kasus ironis, oleh karena pengungkapannya justru dilakukan oleh pemegang otoritas pasar modal Amerika Serikat (SEC).
SARBANES OXLEY ACT (SOA)
Pada tanggal 20 July 2002, di Washington, USA, Presiden George W Bush menandatangani UU Sarbanes Oxley Act 2002 yang merupakan UU yang merubah UU tentang surat berharga dan UU lainnya yang relevan. UU ini dikenal sebagai respons terhadap berbagai skandal korporasi yang melibatkan Perusahaan Enron, Global Crossing, World Com, Adelphi Communication, Merck dan lain sebagainya. Skandal ini dinilai sebagai kerjasama apik antara manajemen, konsultan, analis dan akuntan publik yang ingin meraup uang sebanyak banyaknya melalui rekayasa keuangan yang mempengaruhi sentiman pasar modal.
Dalam teori pasar modal khususnya di Amerika dikenal apa yang disebut dengan Teori Hipotesa Pasar Efisien atau Efficient Market Hypothesis. Menurut teori ini perilaku pemain pasar modal sangat tergantung pada informasi yang tersedia di pasar modal dan diasumsikan semua pihak bisa akses kepada kesediaan informasi yang ada. Sehingga informasi yang baru akan mempengaruhi pasar. Infomasi yang baik akan memberikan dampak positif pada sentimen pasar dan inforasi jelek akan menurunkan harga pasar saham. Memangd alam teori pasar modal pasar modal suatu negara tidak seluruhnya memiliki hubungan reaksional yang sama artinya tingkat efisiensi pasar modal yang satu dengan yang lain bisa berbeda. Ada pasar yang tingkat efisiennya kuat, semi kuat atau semi lemah. Ukuran kuat lemahnya tergantung pada sejauh mana reaksi pasar terhadap infgomrasi baru yang muncul. Jika rekasi itu langsung maka disebut kuat tetapi jika tidak berekasi maka dianggap pasar dengan efisiensi yang lemah. Dalam berbagai penelitian pasar modal di Amerika dan dinegara maju lainnya dinilai pasar dengan efisiensi yang kuat sedangkan di negara berkembang seperti Jakarta ada yang menilai kuat dan ada yang lemah tergantung pada periode penelitian, jenis saham dan jenis infomasinya.
Kasus Enron yang sempat meruntuhkan Kantor Akuntan Publik Big One Arthur Anderson diseluruh dunia dan merumahkan puluhan ribu tenaga akuntannya. Akibatnya pemerintah Amerika tentu sangat khawatir karena dampak dari skandal ini sangat luar biasa karena bisa melunturkan kepercayaan publik kepada professi akuntan, pasar modal dan sistem keuangan kapitalis yang dibangun dengan sentimen pasar modal ini.
Sebenarnya kalau dikaji lebih dalam inti permasalahannya adalah upaya menerapkan lebih tajam tata kerja yang baik sesuai ketentuan yang berlaku yang sudah dimiliki oleh semua professi termasuk professi akuntan. Dari situasi ini muncul istilah baru yang sangat populer yaitu istilah “GCG” atau Good Corporate Governance. Isitlah baru ini hanya merajut kembali berbagai konsep yang sudah ada selama ini seperti istilah akuntabilitas, transparansi, independensi, objektivitas. Apa sebenarnya yang disajikan oleh UU Sarbanes Oxley itu? Berikut ini kita sajikan beberapa hal penting.
Pertama: Tanggungjawab Perusahaan
Dengan adanya UU ini maka tanggungjawab semua terafiliasi dalam perusahaan semakin diminta dan diatekankan. Koamite Audit harus aktif, pengawasan auditor diperketat, pemisahan yang lebih jelas antara audit service dengan non-audit service, dan perlunya persetujuan dan pengungkapan atas semua jasa non-audit. Direktur Utama perusahaan serta Direktur keuangan harus membuat pernytaan bahwa laporan keuangan yang disajikannya adalah akurat dan tidak menimbulkan salah tafsir dan telah menerapkan sistem pengawasan internal yang sehat dan tidak ada keterkaitan pinjaman mereka kepada perusahaan.
Kedua: Auditor
Walaupun selama ini sudah diatur tentang independensi akuntan publik tetapi dalam UU ini diperketat lagi kewajiban mempertahankan independensi akuntan dan membentuk Dewan Pengawas Akuntan Publik. UU inio melarang pemberian jasa non audit diluar jasa perpajakan dan adanya kewajiban untuk menggilir pelaksana dan penanggungjawab audit.
Ketiga: Pengungkapan diperluas
Beberapa hal yang wajib diungkapkan adalah: manajemen adan auditor setiap tahun harus menol;ai sistem pengawasan internalnya. Seperti halnya di industri perbankan maka semua pembiayaan yang bersifat off-balance sheet dan pembiayaan yang bersifat kontingensi harus diungkapkan. Laporan proforma wajib disajikan. Transaksi saham intern harus dilaporkan dalam jangkawa waktu dua hari. Beberapa informasi tertentu yang dianggap penting harus di laporkan dalam “real time”.
Keempat: Analis
Analis saham harus dapat mengungkapkan kemungkinan konflik kepentingan.
Kelima: SEC
SEC memperluas objek reviewnya terhadap laporan keuangan perusahaan, meningkatkan kekuasaan untuk memaksa perusahaan melaksanakan peraturannnya dan menaikkan biaya hukuman terhadap setiap pelanggaran UU pasar modal.
Semua ketentuan baru itu berlaku bagi perusahaan Amerika dan juga perusahaan Non Amerika. Baik yang mengeluarkan saham atau obligasi di pasar modal Amerika seperti tentu di New Yorks Stock Exchange. Tentu saja UU ini akan berpengaruh juga pada perusahaan Indonesia yang mendaftarkan sahamnya di pasar modal Amerika seperti PT Telkom, PT Indosat dan sebagainya. Jika hal ini berpengaruh maka sudah otomatis akan mempengaruhi professi akuntan di Tanah Air khususnya yang mengadit perusahaan yang dipengaruhi oleh Sarbanes Oxley Act itu.
PERANAN SARBANES OXLAY ACT (SOA) DALAM IMPLEMENTASI ETIKA AKUNTAN
Sebagaimana diketahui pasca kasus Enron muncul menyebabkan indeks pasar modal Amerika jatuh sampai 25%. Untungnya pemerintah federal bertindak cepat sebelum sistem ekonomi kapitalis yang ditopang oleh sistem “utang” melalui “pasar modal” itu hancur. Pemerintah berupaya mengangkat kembali kepercayaan pasar terhadap sistem itu dan waktu itu Presiden George W Bush bersengaja datang ke lantai Bursa Efek New York (New York Stock Exchange) membuka pasar trading waktu itu dan menunjukkan komitmen pemerintah federal untuk memperbaiki martabat pasar modal terutama menghindari praktik praktik kecurangan yang semakin banyak terjadi waktu itu.
Pada saat yang bersamaan Kongres Amerikan juga bertindak cepat. Senator Sarbanes dan Oxley berinisiatif untuk menyusun Undang Undang tentang Pertanggungjawaban Perusahaan Public dan akhirnya dengan cepat draft itu disetujui kongres dan langsung diundangkan Presiden Bush pada akhir tahun 2001 dan menjadi efektif berlaku saat itu. Sarbanes Oxley Act ini sangat mempengaruhi professi akuntan dan pasar modal sehingga saat ini menjadi isu yang menjadi perhatian dalam setiap kegiatan akuntansi karena mempengaruhi professi, auditor, manajemen dan kelembagaan.
Salah satu hal yang ditekankan pasca Skandal Enron atau pasca Sarbanes Oxley Act ini adalah perlunya Etika Professi. Selama ini bukan berarti etika professi tidak penting bahkan sejak awal professi akuntan sudah memiliki dan terus menerus memperbaiki Kode Etik Professinya baik di USA maupun di Indonesia. Etika adalah aturan tentang baik dan buruk. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan hal apa yang baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai anggota professi baik dalam berhubungan dengan kolega, langganan, masyarakat dan pegawai. Kenyataannya konsep etika yang selama ini dijadikan penopang untuk menegakkan praktik yang sehat yang bebas dari kecurangan tampaknya tidak cukup kuat menghadapi sifat sifat “selfish dan egois”, kerakusan ekonomi yang dimiliki setiap pelaku pasar modal, dan manajemen yang bermoral rendah yang hanya ingin mementingkan keuntungan ekonomis pribadinya.
Walapun semakin banyak aturan yang dikeluarkan oleh Standard Setting Body seperti FASB (Financial Accounting Standard Board) atau Regulator pemerintah seperti SEC (Security Exhange Commission) namun kecurangan selalu dapat ditutupi dan dicari celah sehingga sampai pada puncaknya dimana kecurangan itu terungkap dan menyebabkan kerugian semua pihak terutama investor dan berakibat pada hilangnya kepercayaan masyarakat kepada professi akuntan dan sistem pasar modal.
Untuk itulah maka profesi akuntan harus berupaya menguak semua kemungkinan kecurangan yang ditimbulkan oleh informasi akuntansi melalui laporan keuangan. Akuntansi/Auditing harus bisa menyusun sistem sehingga bisa menghindari, mendeteksi, menemukan, menetapkan pelakunya, menyiapkan investigasi dan bahkan membantu membawanya ke pengadilan. Penyusunan sistem merupakan bidang sistem pengawasan atau Internal Management Control System yang meliputi misalnya internal audit system, internal audit charter, audit committee, independent audit dan sebagainya. Sedangkan akuntansi/auditing harus bisa menditeksi, menemukan segala bentuk kecurangan, jenis dan tata cara yang dilakukan melalui laporan keuangan, serta bisa membawanya ke pengadilan.
KESIMPULAN
1. Sarbanes Oxley Act (SOA) mewajibkan semua pihak untuk menjaga dan melindungi] perusahaan dari praktik kecurangan sehingga manajemen, akuntan diminta untuk membuat surat pernyataan dan menjamin agar pelaksanaan internal control yang dapat menghindari kecurangan itu diterapkan.
2. Profesi Akuntan harus berupaya menguak semua kemungkinan kecurangan yang ditimbulkan oleh informasi akuntansi melalui laporan keuangan. Di Amerika dengan keluarnya UU Sarbanes Oxley Act (SOA) itu ternyata dapat mengerem semakin terpuruknya kepercayaan publik terhadap profesi akuntan.
3. Fondasi penting untuk etika bisnis adalah melakukan bisnis yang fair dan jujur. Prinsipnya adalah, dalam jangka pendek, bisnis yang melanggar etika bisa jadi sangat menguntungkan, tetapi dalam jangka panjang bisa jadi akan bermasalah.
DAFTAR RUJUKAN
Effendi, Muh. Arief, “Peranan Etika Bisnis dan Moralitas Agama dalam Implementasi Good Corporate Governance (GCG)”, Jurnal Keuangan & Perbankan (JKP), Vol. 2 No.1, Desember 2005, Hlm.49 – 58, ISSN:1829-9865, STIE Lembaga Pendidikan Perbankan Indonesia (LPPI) / Indonesia Banking School), Jakarta.
Harahap, Syofyan Syafri, ”Dampak Sarbanes Oxlay Act (SOA) pada Profesi Akuntan”, Universitas Tri Sakti, Jakarta.
Gunawan, Itjang D, “Skandal Akuntansi AS: Sebuah Pelajaran Berharga”, Manajemen Usahawan Indonesia No. 10/ Th XXXI, Oktober 2002, Fakultas Ekonomi, Universitas Trisakti, Jakarta.
Largay III, J.A., “Lessons from Enron”, Accounting Horizons, Vol. 16 No. 2, 2002, hal.153-156.
Proceeding Simposium Nasional Akuntansi (SNA) 9, Padang, 23-26 Agustus 2006.
Nugrahaningsih, Putri, ’ Analisis Dalam Etika Profesi (Studi terhadap Peran Faktor-Faktor Indovidual: Locus of Control, Lama Pengalaman Kerja, Gender, dan Equity Sensivity), Jurnal SNA VIII Solo, 15-16 September 2005
========================================================
KUALITAS AUDIT DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
ReplyDeletePENDAHULUAN
Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak yang membutuhkan. Untuk dapat meningkatkan sikap profesionalisme dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, hendaknya para akuntan publik memiliki pengetahuan audit yang memadai serta dilengkapi dengan pemahaman mengenai kode etik profesi.
Seiring dengan tuntutan untuk menghadirkan suatu proses bisnis yang terkelola dengan baik, sorotan atas kinerja akuntan terjadi dengan begitu tajamnya. Ini tidak dapat dilepaskan dari terjadinya beberapa skandal besar “malpraktik bisnis” yang telah melibatkan profesional akuntan. Peristiwa bisnis yang melibatkan akuntan tersebut seharusnya memberikan pelajaran untuk mengutamakan etika dalam melaksananakan praktik profesional akuntansi. Krisis moral dalam dunia bisnis yang sangat fenomenal pada dekade terakhir ini adalah kasus “Enron”, yang di dalamnya melibatkan salah satu the big five accounting firm “Arthur Anderson”. Suatu kasus yang sedemikian kompleks, yang kemudian diikuti mencuatnya kasus-kasus oleh mencuatnya kasus-kasus besar lainnya. Skandal keuangan ini tidak saja berakibat pada menurunnya kinerja perekonomian Amerika Serikat (yang ditandai dengan menurunnya harga saham di Wall Street dan indeks harga saham Dow Jones), tetapi kemudian juga merembet ke negara-negara lainnya. Bahkan kemudian peristiwa ini memicu kalangan pemerintahan dan legislatif di Amerika Serikat untuk meninjau kembali perangkat hukum yang mengatur perusahaan (korporat) dan praktik akuntan publik dengan antara lain mengeluarkan “Sarbanes-Oxley Act of 2002” (www.findlaw.com) dan juga “Public Company Accounting Reform and Investor Protection Act of 2002” untuk pengaturan praktik akuntan publik.
Di Indonesia kasus-kasus serupa juga terjadi, misalnya kasus audit PT Telkom oleh KAP “Eddy Pianto & Rekan” (Media Akuntansi, 2003). Dalam kasus ini laporan keuangan auditan PT Telkom tidak diakui oleh SEC (pemegang otoritas pasar modal di Amerika Serikat), dan atas peristiwa ini audit ulang diminta untuk dilakukan oleh KAP yang lainnya. Kasus lainnya yang cukup menarik adalah keterlibatan10 KAP (jumlah sample dalam peer review) yang melakukan audit terhadap bank beku operasi dan bank beku kegiatan usaha. Bahkan dalam kasus ini KAP-KAP besar disebut-sebut juga terlibat (lihat Media Akuntansi, 2002). Selain itu terdapat kasus penggelapan pajak yang melibatkan KAP “KPMG Sidharta Sidharta & Harsono” (KPMG-SSH) yang menyarankan kepada kliennya (PT. Easman Christensen/PTEC) untuk melakukan penyuapan kepada aparat perpajakan Indonesia untuk mendapatkan keringanan atas jumlah kewajiban pajak yang harus dibayarnya. Sebuah kasus ironis, oleh karena pengungkapannya justru dilakukan oleh pemegang otoritas pasar modal Amerika Serikat (SEC). Hal tersebut bisa saja terkait dengan kompetensi dan independensi yang dimiliki oleh auditor masih diragukan oleh SEC, dimana kompetensi dan independensi merupakan dua karakteristik sekaligus yang harus dimiliki oleh auditor yang berpengaruh terhadap kualitas audit.
Bertolak dari kasus-kasus di atas, dan kemudian dihubungkan dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, akuntan seolah menjadi profesi yang harus paling bertanggung jawab. Dalam hal ini, karena peran pentingnya dalam masyarakat bisnis, akuntan publik bahkan dituduh sebagai pihak yang paling besar tanggungjawabnya atas kemerosotan perekonomian Indonesia. Bagaimanapun situasi kontekstual ini memerlukan perhatian dalam berbagai aspek pengembangan profesionalisme akuntan, termasuk dari sisi etika, kompetensi, dan independensi yang berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan.
PEMBAHASAN
Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi (Christiawan, 2002). De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas bahwa auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran pada sistem akuntansi klien. Deis dan Groux (1992) menjelaskan bahwa probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan teknis auditor dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi auditor.
Kompetensi dan independensi yang dimiliki auditor dalam penerapannya akan terkait dengan etika. Akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga standar perilaku etis tertinggi mereka kepada organisasi dimana mereka bernaung, profesi mereka, masyarakat dan diri mereka sendiri dimana akuntan mempunyai tanggungjawab menjadi kompeten dan untuk menjaga integritas dan obyektivitas mereka (Nugrahaningsih, 2005). Berdasarkan “Pedoman Etika” IFAC, maka syarat-syarat etika suatu organisasi akuntan sebaiknya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang mengatur tindakan/perilaku seorang akuntan dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Prinsip tersebut adalah (1) integritas, (2) obyektifitas, (3) independen, (4) kepercayaan, (5) standar-standar teknis, (6) kemampuan profesional, dan (7) perilaku etika.
Profesionalisme telah menjadi isu yang kritis untuk profesi akuntan karena dapat menggambarkan kinerja akuntan tersebut. Gambaran terhadap profesionalisme dalam profesi akuntan publik seperti yang dikemukakan oleh Hastuti et al. (2003) dicerminkan melalui lima dimensi, yaitu pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan rekan seprofesi.
1. Kualitas Audit
De Angelo (1981) mendefinisikan kualitas audit sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa KAP yang besar akan berusaha untuk menyajikan kualitas audit yang lebih besar dibandingkan dengan KAP yang kecil. Deis dan Giroux (1992) melakukan penelitian tentang empat hal dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit yaitu (1) lama waktu auditor telah melakukan pemeriksaan terhadap suatu perusahaan (tenure), semakin lama seorang auditor telah melakukan audit pada klien yang sama maka kualitas audit yang dihasilkan akan semakin rendah, (2) jumlah klien, semakin banyak jumlah klien maka kualitas audit akan semakin baik karena auditor dengan jumlah klien yang banyak akan berusaha menjaga reputasinya, (3) kesehatan keuangan klien, semakin sehat kondisi keuangan klien maka akan ada kecenderungan klien tersebut untuk menekan auditor agar tidak mengikuti standar, dan (4) review oleh pihak ketiga, kualitas audit akan meningkat jika auditor tersebut mengetahui bahwa hasil pekerjaannya akan direview oleh pihak ketiga.
Penelitian yang dilakukan oleh Mayangsari (2003) menguji pengaruh independensi dan kualitas audit terhadap integritas laporan keuangan. Hasil penelitian ini mendukung hipotesa bahwa spesialisasi auditor berpengaruh positif terhadap integritas laporan keuangan, serta independensi berpengaruh negatif terhadap integritas laporan keuangan. Selain itu, mekanisme corporate governance berpengaruh secara statistis signifikan terhadap integritas laporan keuangan meskipun tidak sesuai dengan tanda yang diajukan dalam hipotesa.
Widagdo et al. (2002) melakukan penelitian tentang atribut-atribut kualitas audit oleh kantor akuntan publik yang mempunyai pengaruh terhadap kepuasan klien. Terdapat 12 atribut yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu (1) pengalaman melakukan audit, (2) memahami industri klien, (3) responsif atas kebutuhan klien, (4) taat pada standar umum, (5) independensi, (6) sikap hati-hati, (7) komitmen terhadap kualitas audit, (8) keterlibatan pimpinan KAP, (9) melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, (10) keterlibatan komite audit, (11) standar etika yang tinggi, dan (12) tidak mudah percaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 7 atribut kualitas audit yang berpengaruh terhadap kepuasan klien, antara lain pengalaman melakukan audit, memahami industri klien, responsif atas kebutuhan klien, taat pada standar umum, komitmen terhadap kualitas audit dan keterlibatan komite audit. Sedangkan 5 atribut lainnya yaitu independensi, sikap hati-hati, melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat, standar etika yang tinggi dan tidak mudah percaya, tidak berpengaruh terhadap kepuasan klien.
2. Etika Auditor
Etika berkaitan dengan pertanyaan tentang bagaimana orang akan berperilaku terhadap sesamanya (Kell et al., 2002). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) etika berarti nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Maryani dan Ludigdo (2001) mendefinisikan etika sebagai seperangkat aturan atau norma atau pedoman yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan manusia atau masyarakat atau profesi.
Audit yang berkualitas sangat penting untuk menjamin bahwa profesi akuntan memenuhi tanggung jawabnya kepada investor, masyarakat umum dan pemerintah serta pihak-pihak lain yang mengandalkan kredibilitas laporan keuangan yang telah diaudit, dengan menegakkan etika yang tinggi.
3. Kompetensi
Menurut Kamus Kompetensi LOMA (1998) dalam Lasmahadi (2002) kompetensi didefinisikan sebagai aspek-aspek pribadi dari seorang pekerja yang memungkinkan dia untuk mencapai kinerja superior. Aspek-aspek pribadi ini mencakup sifat, motif-motif, sistem nilai, sikap, pengetahuan dan ketrampilan dimana kompetensi akan mengarahkan tingkah laku, sedangkan tingkah laku akan menghasilkan kinerja. Susanto (2000) definisi tentang kompetensi yang sering dipakai adalah karakteristik-karakteristk yang mendasari individu untuk mencapai kinerja superior. Kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan non-rutin. Definisi kompetensi dalam bidang auditing pun sering diukur dengan pengalaman (Mayangsari, 2003).
Ashton (1991) dalam M. Nizarul Alim et al (2007), menunjukkan bahwa dalam literatur psikologi, pengetahuan spesifik dan lama pengalaman bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan kompetensi. Ashton juga menjelaskan bahwa ukuran kompetensi tidak cukup hanya pengalaman tetapi diperlukan pertimbangan-pertimbangan lain dalam pembuatan keputusan yang baik karena pada dasarnya manusia memiliki sejumlah unsur lain diselain pengalaman. Pendapat ini didukung oleh Schmidt et al. (1988) yang memberikan bukti empiris bahwa terdapat hubungan antara pengalaman bekerja dengan kinerja dimoderasi dengan lama pengalaman dan kompleksitas tugas. Selain itu, pengetahuan mengenai spesifik tugas dapat meningkatkan kinerja auditor berpengalaman, walaupun hanya dalam penetapan risiko analitis. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat auditor yang baik akan tergantung pada kompetensi dan prosedur audit yang dilakukan oleh auditor.
Pengetahuan mengenai spesifik tugas membantu kinerja auditor berpengalaman melalui komponen pemilihan dan pembobotan bukti hanya pada saat penetapan risiko analitis. Ashton (1991) menemukan bukti empiris bahwa perbedaan pengetahuan yang dimiliki auditor pada berbagai tingkat pengalaman, tidak dapat dijelaskan oleh lamanya pengalaman yang dimilikinya. Choo dan Trotman (1991) dalam M. Nizarul Alim et al (2007), memberikan bukti empiris bahwa auditor berpengalaman lebih banyak menemukan item-item yang tidak umum (atypical) dibandingkan auditor yang kurang berpengalaman, tetapi antara auditor yang berpengalaman dengan yang kurang berpengalaman tidak berbeda dalam menemukan item-item yang umum (typical). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Murtanto (1998) dalam Mayangsari (2003) menunjukkan bahwa komponen kompetensi untuk auditor di Indonesia terdiri atas:
1. Komponen pengetahuan, yang merupakan komponen penting dalam suatu kompetensi. Komponen ini meliputi pengetahuan terhadap fakta-fakta, prosedur-prosedur dan pengalaman. Kanfer dan Ackerman (1989) juga mengatakan bahwa pengalaman akan memberikan hasil dalam menghimpun dan memberikan kemajuan bagi pengetahuan.
2. Ciri-ciri psikologi, seperti kemampuan berkomunikasi, kreativitas, kemampuan bekerja sama dengan orang lain. Gibbin’s dan Larocque’s (1990) juga menunjukkan bahwa kepercayaan, komunikasi, dan kemampuan untuk bekerja sama adalah unsur penting bagi kompetensi audit.
4.Independensi
Definisi independensi dalam The CPA Handbook menurut E.B. Wilcox dalam M. Nizarul Alim (2007) adalah merupakan suatu standar auditing yang penting karena opini akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak independen terhadap kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun. Kode Etik Akuntan tahun 1994 menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam pelaksanaan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
KAP yang memberikan jasa konsultasi manajemen kepada klien yang diaudit dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi yang lebih besar dibandingkan yang tidak memberikan jasa tersebut. Tingkat persaingan antar KAP juga dapat meningkatkan risiko rusaknya independensi akuntan publik. KAP yang lebih kecil mempunyai risiko kehilangan independensi yang lebih besar dibandingkan KAP yang lebih besar. Sedangkan faktor lama ikatan hubungan dengan klien tertentu tidak mempengaruhi secara sifnifikan terhadap independensi akuntan publik.
Kredibilitas auditor tentu sangat tergantung dari kepercayaan masyarakat yang menggunakan jasa mereka. Auditor yang dianggap telah melakukan kesalahan maka akan mengakibatkan mereduksinya kepercayaan klien. Namun meskipun demikian klien tetap merupakan pihak yang mempunyai pengaruh besar terhadap auditor. Hal tersebut bisa dilihat dari kondisi saat ini dimana telah terdapat berbagai regulasi yang mengatur mengenai kerjasama klien dengan auditor.
Sesuai dengan standar umum bahwa auditor disyaratkan memiliki pengalaman kerja yang cukup dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti kliennya (Arens dan Loebbecke, 1997). Pengalaman juga akan memberikan dampak pada setiap keputusan yang diambil dalam pelaksanaan audit sehingga diharapkan setiap keputusan yang diambil adalah merupakan keputusan yang tepat. Hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin lama masa kerja yang dimiliki auditor maka auditor akan semakin baik pula kualitas audit yang dihasilkan.
Kualitas audit dapat dicapai jika auditor memiliki kompetensi yang baik. Kompetensi tersebut terdiri dari dua dimensi yaitu pengalaman dan pengetahuan. Auditor sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas audit memang harus senantiasa meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki agar penerapan pengetahuan dapat maksimal dalam praktiknya. Penerapan pengetahuan yang maksimal tentunya akan sejalan dengan semakin bertambahnya pengalaman yang dimiliki. Auditor harus memiliki kemampuan dalam mengumpulkan setiap informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan audit dimana hal tersebut harus didukung dengan sikap independen. Tidak dapat dipungkiri bahwa sikap independen merupakan hal yang melekat pada diri auditor, sehingga independen seperti telah menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki. Tidak mudah menjaga tingkat independensi agar tetap sesuai dengan jalur yang seharusnya. Kerjasama dengan klien yang terlalu lama bisa menimbulkan kerawanan atas independensi yang dimiliki auditor. Belum lagi berbagai fasilitas yang disediakan klien selama penugasan audit untuk auditor. Bukan tidak mungkin auditor menjadi ”mudah dikendalikan” klien karena auditor berada dalam posisi yang dilematis.
KESIMPULAN
Kualitas audit dapat dicapai jika auditor memiliki kompetensi, menjunjung tinggi independensi, serta menerapkan nilai-nilai etika sebagai seorang professional. Berdasarkan “Pedoman Etika” IFAC, maka syarat-syarat etika suatu organisasi akuntan sebaiknya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang mengatur tindakan/perilaku seorang akuntan dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Prinsip tersebut adalah (1) integritas, (2) obyektifitas, (3) independen, (4) kepercayaan, (5) standar-standar teknis, (6) kemampuan profesional, dan (7) perilaku etika yang baik.
Kompetensi terdiri dari dua dimensi yaitu pengalaman dan pengetahuan. Auditor sebagai ujung tombak pelaksanaan tugas audit memang harus senantiasa meningkatkan pengetahuan yang telah dimiliki agar penerapan pengetahuan dapat maksimal dalam praktiknya. Penerapan pengetahuan yang maksimal tentunya akan sejalan dengan semakin bertambahnya pengalaman yang dimiliki. Sesuai dengan standar umum bahwa auditor disyaratkan memiliki pengalaman kerja yang cukup dalam profesi yang ditekuninya, serta dituntut untuk memenuhi kualifikasi teknis dan berpengalaman dalam bidang industri yang digeluti kliennya (Arens dan Loebbecke, 1997).
Auditor harus memiliki kemampuan dalam mengumpulkan setiap informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan audit dimana hal tersebut harus didukung dengan sikap independen. Tidak dapat dipungkiri bahwa sikap independen merupakan hal yang melekat pada diri auditor, sehingga independen seperti telah menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki. Hal ini berarti kualitas audit didukung oleh sampai sejauh mana auditor mampu bertahan dari tekanan klien disertai dengan perilaku etis yang dimiliki. Tidak mudah menjaga tingkat independensi agar tetap sesuai dengan jalur yang seharusnya. Kerjasama dengan klien yang terlalu lama bisa menimbulkan kerawanan atas independensi yang dimiliki auditor. Belum lagi berbagai fasilitas yang disediakan klien selama penugasan audit untuk auditor. Bukan tidak mungkin auditor menjadi ”mudah dikendalikan” klien karena auditor berada dalam posisi yang dilematis.
REFERENSI
Christiawan, Y.J. 2002. Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik: Refleksi Hasil Penelitian Empiris. Journal Directory : Kumpulan Jurnal Akuntansi dan Keuangan Unika Petra. Vol. 4 / No. 2.
Mayangsari, S. 2003. Pengaruh Keahlian Audit dan Independensi terhadap Pendapat Audit: Sebuah Kuasieksperiman. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 6. No. 1. Januari. p. 1-22.
M. Nizarul Alim, dkk. 2007. Pengaruh Independensi dan Kompetensi Terhadap Kualitas Audit Dengan Etika Auditor sebagai Variabel Moderasi. SNA X Makassar.
Nugrahaningsih, P. 2005. Analisis Perbedaan Perilaku Etis Auditor di KAP dalam Etika Profesi (Studi Terhadap Peran Faktor-faktor Individual: Locus of Control, Lama Pengalaman Kerja, Gender dan Equity Sensitivity). SNA VIII Solo.
Unti Ludigdo. 2006. Strukturasi Praktik Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Studi Interpretif. SNA IX Padang.
NAMA :DINAR WAHYU UTAMI
ReplyDeleteNIM :C4C008009
JUDUL PAPER : REGULASI KETAT SEBAGAI TANTANGAN PROFESIONALISME AUDITOR MASA DEPAN
NAMA :DINAR WAHYU UTAMI
ReplyDeleteNIM :C4C008009
JUDUL PAPER :
JUDUL PAPER : REGULASI KETAT SEBAGAI TANTANGAN PROFESIONALISME AUDITOR MASA DEPAN
diganti dengan
SKANDAL MANIPULASI LAPORAN KEUANGAN DAN KEJAHATAN KORPORASI DALAM PERSPEKTIF MANAJEMEN PELUANG DAN RESIKO ETIKA
PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir, Wajah dunia seakan mendapatkan pukulan berat dari banyaknya tragedi-tragedi kemanusiaan, bisnis dan politik yang akhirnya bermuara pada derita krisis global saat ini. Banyaknya kejadian memilukan didunia ini cenderung disebabkan oleh banyaknya pengabaian etika dalam berbagai lini kehidupan masyarakat dunia. Salah satu lini kehidupan masyarakat dunia ini adalah kegiatan Bisnis. Kebutuhan hidup masyarakat dunia tidak mungkin terpenuhi tanpa adanya Kegiatan bisnis. Dalam sepuluh tahun terakhir, cukup banyak tragedy kehancuran bisnis yang terjadi di dunia, tragedy ini memberi dampak penderitaan yang cukup signifikan pada kehidupan masyarakat luas dan tak sedikit korban yang berjatuhan karenanya. Sebagian besar Tragedy ini dipicu oleh adanya pengabaian etika dalam setiap kegiatan bisnis. Secara singkat, Pengabaian etika adalah dilakukannya suatu kegiatan yang dianggap benar oleh para pengambil keputusan, namun membawa dampak merugikan atau dianggap salah oleh pihak lain . Contoh pengabaian etika itu sendiri antara lain adalah, praktek kecurangan dalam pembuatan laporan keuangan, penyuapan, window dressing, dan lain sebagainya.Titik tolak adanya pengabaian etika ini salah satunya adalah usaha perusahaan dalam mencapai tujuan utama mereka. Tujuan utama dari beroperasinya suatu perusahaan adalah untuk menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Banyak cara yang ditempuh perusahaan dalam mencapai tujuan ini. Beberapa dari mereka yang berintegritas akan memilih cara yang melibatkan etika dalam menghasilkan laba, dan sebagian lainnya akan menggunakan rasionalisasi tertentu dengan sedikit banyak mengabaikan etika. Sejarah membuktikan, mereka yang mengabaikan etika cenderung mengalami kehancuran lebih cepat daripada mereka yang melibatkan etika didalam keputusan bisnisnya, karena dengan mengabaikan etika, berbagai lini dan segi bisnis yang mengandung kesamaan nilai-nilai etika dapat tumbang seperti halnya efek domino. Sebagai contoh, jika para manajer puncak melakukan pengambilan keputusan tanpa disertai integritas dan moral, maka para manajer bawah akan cenderung meniru atau melakukan hal yang sama, hal ini kemudian menjalar kepada lini bawah dan berdampak luas pada area eksternal perusahaan, yaitu konsumen yang merugi akibat keputusan tidak etis perusahaan, pemerintah yang kehilangan potensi pendapatan pajak, para stock holder yang mengalami kerugian akibat menurunnya nilai saham, dan resahnya dewan-dewan asosiasi.
Dinamika pengabaian etika yang seperti inilah yang akhirnya memunculkan skandal korporasi Enron dan Arthur Andersen, WorldCom, Tragedi Lumpur Lapindo, Kematian bayi-bayi di China akibat dicampurnya melamin dalam susu bayi, dan lain sebagainya.Berkaca dari beberapa kejadian yang memilukan tesebut, para praktisi bisnis dan keuangan dunia mulai memperluas area manajemen resiko mereka. Dari yang awalnya hanya berfokus pada area manajemen resiko bisnis, mereka mulai menyadari bahwa mereka perlu menerapkan manajemen dalam lingkup etika. Dalam literature, manajemen di lingkup etika ini disebut manajemen resiko etika. Dalam Brooks (2004) dinyatakan, Para praktisi bisnis kini mulai menyadari bahwa meskipun manajemen risiko cenderung berfokus kepada masalah-masalah non-etis, bukti yang ada menunjukkan bahwa penghindaran bencana dan kegagalan juga memerlukan perhatian kepada masalah risiko etika.
Dalam praktek penilaian dan review resiko, terutama yang berkaitan dengan resiko etika, beberapa direktur perusahaan cenderung menganggap hal tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab auditor eksternal. Hal ini sangat tidak tepat mengingat perhatian para auditor eksternal adalah hanya jika risiko yang ditemukan akan mengakibatkan kekeliruan material dari hasil operasional atau posisi keuangan perusahaan. Lagipula, walaupun auditor eksternal juga bertugas untuk melakukan pengujian terhadap sistim pengendalian internal perusahaan, mereka tidak diwajibkan untuk menemukan setiap masalah. Tidak pernah ada keharusan bagi auditor eksternal untuk menemukan dan melaporkan peluang etika, sehingga pihak manajemen perusahaan harus merancang dan mereview sendiri prosedur manajemen peluang dan resiko etika mereka.Menurut Sarbane-Oxley Act (SOX), manajemen sekarang diharapkan untuk melaporkan sistem pengendalian internal dan auditor eksternal harus melaporkan sistem tersebut berserta dengan laporan manajemen. Bahkan setelah pengadopsian reformasi SOX, auditor eksternal akan terus mencari pelanggaran dan/atau kesalahan dalam pengendalian yang bisa mengakibatkan terjadinya kekeliruan material dalam laporan keuangan. Mereka biasanya tidak diharapkan melacak hal-hal immaterial atau peluang atau risiko non-finansial lainnya. Dengan kata lain, mereka biasanya tidak akan diharapkan untuk menemukan peluang atau seluruh risiko etika dengan manajemen atau komite audit dewan. Oleh karena itu, direktur dan eksekutif, yang bertanggung jawab mengawasi semua risiko etika, harus merancang audit internal atau proses review atau secara spesifik kontrak dengan pihak luar untuk melakukan review. Terkait dengan masalah manajemen resiko etika, Belakangan ini profesi akuntan banyak mendapat sorotan tajam dari masyarakat semenjak terungkapnya beberapa skandal bisnis yang melibatkan para akuntan. Profesi akuntan yang seharusnya mampu memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat sebagai stake holder perusahaan, dalam beberpa kasus menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan hanya demi memenuhi kepentingan segelintir stock holder.
Hal ini merupakan salah satu resiko etika yang kita temui di luar area internal manajemen. Sebagai contoh, Kasus KAP Arthur Andersen di Amerika yang melakukan pengabaian etika, pengabaian harapan stake holder dan melakukan kecurangan profesi demi kepentingan diri sendiri dan perusahaan Enron telah secara telak menjerumuskan mereka kepada kehancuran. Kejadian tersebut telah merugikan banyak pihak dan mencoreng kehormatan profesi akuntan dan menjadi salah satu puncak stigma masyarakat yang sangat mengganggu dan merisaukan para praktisi akuntansi. Hal ini kemudian mengantarkan kita pada pemahaman mengenai pentingnya pengelolaan resiko etika, baik pada pengendalian internal perusahaan maupun pada praktik akuntansi oleh para profesional akuntan.
Definisi dan PengertianI.Etika dan Etika Bisnis
Etika dapat didefinisikan sebagai nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Bertens, 2001). Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa etika memiliki peranan penting dalam melegitimasi segala perbuatan dan tindakan yang dilihat dari sudut pandang moralitas yang telah disepakati oleh masyarakat.Beberapa prinsip etis dalam bisnis telah dikemukakan oleh Robert C.Solomon da (1993) dalam Bertens (2000), yang memfokuskan pada keutamaan pelaku bisnis individual dan keutamaan pelaku bisnis pada taraf perusahaan. Berikut dijelaskan keutamaan pelaku bisnis individual, yaitu:
Kejujuran
Kejujuran secara umum diakui sebagai keutamaan pertama dan paling penting yang harus dimiliki pelaku bisnis. Orang yang memiliki keutamaan kejujuran tidak akan berbohong atau menipu dalam transaksi bisnis. Pepatah kuno caveatemptor yaitu hendaklah pembeli berhati-hati. Pepatah ini mengajak pembeli untuk bersikap kritis untuk menghindarkan diri dari pelaku bisnis yang tidak jujur. Kejujuran memang menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran, namun dalam dunia bisnis terdapat aspek-aspek tertentu yang tetap harus menjadi rahasia. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa setiap informasi yang tidak benar belum tentu menyesatkan juga.
Fairness
Fairness adalah kesediaan untuk memberikan apa yang wajar kepada semua orang dan dengan ”wajar” yang dimaksudkan apa yang bisa disetujui oleh semua pihak yang terlibat dalam suatu transaksi.
Kepercayaan
Kepercayaan adalah keutamaan yang penting dalam konteks bisnis. Kepercayaan harus ditempatkan dalam relasi timbal-balik. Pebisnis yang memiliki keutamaan ini boleh mengandaikan bahwa mitranya memiliki keutamaan yang sama. Pebisnis yang memiliki kepercayaan bersedia untuk menerima mitranya sebagai orang yang bisa diandalkan. Catatan penting yang harus dipegang adalah tidak semua orang dapat diberi kepercayaan dan dalam memberikan kepercayaan kita harus bersikap kritis. Kadang kala juga kita harus selektif memilih mitra bisnis. Dalam setiap perusahaan hendaknya terdapat sistem pengawasan yang efektif bagi semua karyawan, tetapi bagaimanapun juga, bisnis tidak akan berjalan tanpa ada kepercayaan.
Keuletan
Keutamaan keempat adalah keuletan, yang berarti pebisnis harus bertahan dalam banyak situasi yang sulit. Ia harus sanggup mengadakan negosiasi yang terkadang seru tentang proyek atau transaksi yang bernilai besar. Ia juga harus berani mengambil risiko kecil ataupun besar, karena perkembangan banyak faktor tidak diramalkan sebelumnya. Ada kalanya ia juga tidak luput dari gejolak besar dalam usahanya. Keuletan dalam bisnis itu cukup dekat dengan keutamaan keberanian moral.
Selanjutnya, empat keutamaan yang dimiliki orang bisnis pada taraf perusahaan, yaitu:
Keramahan
Keramahan tidak merupakan taktik bergitu saja untuk memikat para pelanggan, tapi menyangkut inti kehidupan bisnis itu sendiri, karena keramahan itu hakiki untuk setiap hubungan antar-manusia. Bagaimanapun juga bisnis mempunyai segi melayani sesama manusia.
Loyalitas
Loyalitas berarti bahwa karyawan tidak bekerja semata-mata untuk mendapat gaji, tetapi juga mempunyai komitmen yang tulus dengan perusahaan. Ia adalah bagian dari perusahaan yang memiliki rasa ikut memiliki perusahaan tempat ia bekerja.
Kehormatan
Kehormatan adalah keutamaan yang membuat karyawan menjadi peka terhadap suka dan duka serta sukses dan kegagalan perusahaan. Nasib perusahaan dirasakan sebagai sebagian dari nasibnya sendiri. Ia merasa bangga bila kinerjanya bagus.
Rasa Malu
Rasa malu membuat karyawan solider dengan kesalahan perusahaan. Walaupun ia sendiri barang kali tidak salah, ia merasa malu karena perusahaannya salah.
II. Resiko Etika
Resiko Etika merupakan suatu kemungkinan dilanggarnya etika yang disebabkan oleh ketidak mampuan perusahaan atau institusi dalam memenuhi harapan stake holder. Untuk itu, agar suatu organisasi atau perusahaan tetap dapat bertahan hidup, perusahaan dan professional wajib menjalankan manajemen resiko etika. Secara singkat, pengertian manajemen resiko etika adalah Tata kelola yang menjunjung kode etik sehingga dapat meminimalisasi ketidak mampuan perusahaan dalam memenuhi harapan Stake Holder.Dengan adanya resiko etika tersebut, maka manajemen perlu menerapkan pengelolaan atau manajemen yang berfokus pada pemenuhan kepentingan stake holder.
III.Manajemen Resiko Etika
Dalam menerapkan manajemen resiko etika, terdapat beberapa tahapan yang dapat dilakukan oleh para investigator perusahaan, yaitu dengan mengidentifikasi dan menilai resiko etika, Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stake holder, serta melakukan Akuntabilitas Sosial dan Audit.
A.Mengidentifikasi dan Menilai Resiko Etika
Identifikasi Penilaian resiko etika dibagi menjadi beberapa tahap:
1.Melakukan penilaian dan identifikasi para stake holder perusahaan
Dalam tahap ini, investigator manajemen membuat daftar mengenai siapa dan apa saja para stake holder yang berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stake holder dan apa kepentingannya serta harapan mereka, maka manajemen dapat melakukan penilaian dalam pemenuhan harapan stake holder. Setelah melengkapi tahapan ini semua, investigator hendaknya memiliki pemahaman mengenai bentuk kepentingan
stakeholder mana saja yang sensitif dan penting, dan kenapa hal itu penting bagi stakeholder. Kemudian, investigator harus mengkonfirmasikan penilaian mereka ini dengan berinteraksi dengan sebuah panel stakeholder representatif dan dengan sekelompok penting stakeholder . Dengan demikian, maka akan menunjukkan adanya perhatian perusahaan terhadap kepentingan stake holder dan dapat membuka sebuah dialog yang dapat membangun rasa saling percaya, yang nantinya juga dapat membantu jika pada suatu hari nanti muncul masalah yang tidak menguntungkan.
2.Mempertimbangkan kemampuan aktivitas perusahaan dengan ekspektasi stakeholder , dan menilai risiko ketidak sanggupan dalam memenuhi ekspektasi stakeholder atau menilai adanya kemungkinan peluang untuk berprestasi lebih dari yang diharapkan Saat mempertimbangkan apakah ekspektasi telah terpenuhi, maka manajemen wajib membuat perbandingan di antara input, output, kualitas relevan dan variabel kinerja lainnya. Selain itu, perbandingan juga harus dibuat di antara akitivitas perusahaan dan ekspektasi stakeholder ,dengan menggunakan enam nilai hypernorm. Nilai hypernorm ini adalah kejujuran, keadilan, simpati, integritas, prediktabilitas, dan tanggung jawab. Jika aktivitas perusahaan menghargai nilai-nilai tersebut, maka terdapat kemungkinan bahwa aktivitas perusahaan juga akan menghargai ekspektasi para stakeholder utama perusahaan, domestik dan luar negeri, baik pada masa kini ataupun pada masa mendatang.
3.Meninjau ulang perbandingan akitivitas dan ekspektasi perusahaan dari perspektif dampak reputasi perusahaan.
Menurut Charles Fombrun reputasi sendiri bergantung pada empat factor, yaitu kejujuran, kredibilitas, reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangkakerja dalam melakukan perbandingan.
4.Melakukan pelaporan
Setelah tahap ketiga selesai, maka manajemen dapat menyiapkan laporan kepada masing-masing stake holder. Laporan tersebut harus dibuat dengan mempertimbangkan kelompok stakeholder, produk atau jasa, tujuan perusahaan, nilai-nilai hypernorm, dan elemen-elemen penentu reputasi.
B.Penerapan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stake holder
Penerapan strategi dan taktik ini didasarkan pada kepentingan stake holder. Menurut Savage, salah satu pendekatan yang dapat diterapkan adalah dengan berfokus pada kemungkinan apakah para stake holder tersebut bisa dengan mudah bekerja sama dengan perusahaan, ataukah cenderung sulit bekerja sama dan menjadi ancaman bagi perusahaan.
.
Kelompok stakeholder yang tinggi urutan kerja samanya dan tinggi juga ancamannya juga memiliki potensi yang sama (yaitu dukungan campuran) dan sangat bijaksana mencoba berkolaborasi dengan mereka dan mempertahankan mereka sebagai pendukung. Stakeholder yang tinggi ancamannya dan rendah kerja samanya, maka akan dianggap tidak mendukung dan harus ditentang. Kelompok yang rendah ancamannya dan rendah pula kerja samanya sebaiknya dikesampingkan dari pembentukan dukungan untuk tujuan perusahaan, tetapi mungkin bijaksana mengawasi ekspektasi mereka saat terjadi perubahan. setiap strategi yang dikembangkan harus dikonfirmasikan lewat analisis ulang periodik yang memungkinkan adanya persekutuan dengan kelompok stakeholder lewat penggunaan kerangkakerja urgensi, kekuasaan, dan legitimasi, dan terutama posisi dan trend cakupan media. Tindakan memalukan yang tiba-tiba bisa mengikis habis dukungan. Jika memungkinkan, komunikasi lanjutan dengan para pendukung sangat diperlukan dalam mempertahankan dukungan mereka. Tentu saja, pembentukan hubungan dan rasa saling percaya akan membantu dalam penyediaan peluang untuk menjelaskan masalah atau taktik jika diperlukan. Penting juga untuk diperhatikan bahwa bagaimana stakeholder dalam satu sel model tersebut bisa digerakkan ke arah posisi yang lebih mendukung. Dengan gagasan ini, bahkan jika salah satu kelompok sedang ditentang, maka tetap penting untuk meneruskan mempertimbangkan bagaimana mengubah kelompok tersebut menjadi pendukung. Oleh karena itu, banyak kelompok stakeholder harus menjadi fokus lebih dari satu strategi pada setiap waktu.
C.Akuntabilitas Sosial dan Audit
perusahaan melakukan pengukuran kinerja dimana beragam stakeholder sangat tertarik untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, bagaimana teknik manajemen bekerja, dan apa yang harus dilaporkan kepada publik. Audit dan akuntabilitas sosial dimaksudkan untuk mereview perkembangan yang harusnya terbukti benar dalam memutuskan apa yang harus diukur, pelaporan pihak lain, dan langkah audit yang mungkin diambil untuk memastikan akurasi informasi yang dihasilkan dan dilaporkan.
KASUS-KASUS YANG BERKAITAN
Berikut ini adalah kasus terkini yang dapat kita telaah sebagai pembelajaran mengenai manajemen peluang dan resiko etika. Kasus Pertama mengenai Manajemen Resiko Etika pada bisnis yang direpresantasikan pada
PT. Adam Sky Connection Airlines (Adam Air)
PT. Adam Sky Connection Airlines (Adam Air)
Adam Air (nama resmi: PT. Adam SkyConnection Airlines ) adalah sebuah maskapai penerbangan berbiaya murah yang berbasis di Indonesia. Untuk rute internasional, Adam Air melayani penerbangan ke Singapura dan Penang (Malaysia). Maskapai penerbangan ini didirikan oleh Sandra Ang dan Agung Laksono, yang juga menjabat sebagai Ketua DPR, dan mulai beroperasi pada 19 Desember 2003 dengan penerbangan perdana ke Balikpapan.Pada awal beroperasi, Adam Air menggunakan dua Boeing 737 sewaan. Saat pertama diluncurkan, Adam Air mengklaim bahwa mereka menggunakan "Boeing 737-400 baru" walaupun ternyata pesawat Boeing mereka sebenarnya merupakan sewaan yang telah berusia lebih dari 15 tahun.
Boeing telah menghentikan produksi 737-400 selama beberapa tahun. Pada 9 November 2006, Adam Air menerima penghargaan Award of Merit dalam the Category Low Cost Airline of the Year 2006 dalam acara 3rd Annual Asia Pacific and Middle East Aviation Outlook Summit di Singapura.Setelah berbagai insiden dan kecelakaan yang menimpa maskapai-maskapai penerbangan di Indonesia, pemerintah Indonesia membuat pemeringkatan atas maskapai-maskapai tersebut. Dari hasil pemeringkatan yang diumumkan pada 22 Maret 2007, Adam Air berada di peringkat III yang berarti hanya memenuhi syarat minimal keselamatan dan masih ada beberapa persyaratan yang belum dilaksanakan dan berpotensi mengurangi tingkat keselamatan penerbangan. Akibatnya Adam Air mendapat sanksi administratif yang akan direview kembali setiap 3 bulan. Bila tidak ada perbaikan kinerja maka Air Operator Certificate dapat dibekukan. Pada April 2007, PT. Bhakti Investama melalui anak perusahaannya Global Air Transport membeli 50% saham Adam Air dari keluarga Sandra Ang dan Adam Suherman, namun setahun kemudian pada 14 Maret 2008 menarik seluruh sahamnya karena merasa Adam Air tidak melakukan perbaikan tingkat keselamatan serta tiadanya transparansi. Kegiatan operasional Adam Air kemudian dihentikan sejak 17 Maret 2008 dan baru akan dilanjutkan jika ada investor baru yang bersedia menalangi 50 persen saham yang ditarik Bhakti Investama tersebut.
Pada 18 Maret 2008, izin terbang atau Operation Specification Adam Air dicabut Departemen Perhubungan melalui surat bernomor AU/1724/DSKU/0862/2008. Isinya menyatakan bahwa Adam Air tidak diizinkan lagi menerbangkan pesawatnya berlaku efektif mulai pukul 00.00 tanggal 19 Maret 2008. Sedangkan AOC (Aircraft Operator Certificate)nya juga terancam dicabut apabila dalam 3 bulan mendatang tidak ada perbaikan.
Berikut Ini adalah rangkaian Insiden kejadian yang menimpa Adam Air:
•11 Februari 2006, Adam Air Penerbangan 782, Boeing 737-300, PK-KKE BH-782, Jakarta-Makassar, kehilangan arah dan mendarat di Bandara Tambolaka, NTT. Pesawat membawa 146 penumpang dan 6 awak pesawat. Tidak ada korban.
•1 Januari 2007, Adam Air Penerbangan 574, PK-KKW DHI-574, Boeing 737-400 Jakarta-Manado via Surabaya yang membawa 96 penumpang dan 6 awak pesawat, hilang di perairan Majene, Sulawesi Barat. Pesawat hancur berkeping-keping setelah hilang kendali dan menghunjam laut. Sementara itu, hanya sebagian kecil bagian pesawat yang dapat ditemukan. Sebanyak 102 penumpang dan awak pesawat tidak ditemukan. Penyebab kecelakaan seperti yang diumumkan oleh Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) adalah cuaca buruk, kerusakan pada alat bantu navigasi Inertial Reference System (IRS), dan kegagalan kinerja pilot dalam menghadapi situasi darurat.
•7 Januari 2007, 16 pilot Adam Air mengundurkan diri karena mereka menilai buruknya standar keamanan dan sistem navigasi di pesawat-pesawat yang dinilai berkualitas jelek. Adam Air kemudian menuntut balik semua pilot ini karena kontrak kerja mereka belum habis.
•21 Februari 2007, Adam Air Penerbangan KI 172, PK-KKV, (dalam gambar) Boeing 737-33A Jakarta-Surabaya tergelincir di Bandara Juanda, Surabaya. Badan pesawat melengkung namun semua penumpang selamat. Atas peristiwa ini, Departemen Perhubungan Republik Indonesia memerintahkan untuk menghentikan untuk sementara pengoperasian tujuh pesawat Boeing 737-300 milik Adam Air.
•6 Maret 2007, pesawat Adam Air gagal lepas landas dari Bandara Juanda karena roda depan rusak.
•9 Juni 2007, pesawat Adam Air jurusan Surabaya-Jakarta kembali ke landasan setelah mengudara selama 20 menit karena mengalami gangguan tekanan udara kabin.
•24 November 2007, pesawat Adam Air jurusan Jakarta-Medan mengalami pecah ban.
•10 Maret 2008, pesawat Adam Air KI-292 Boeing 737-400 jurusan Jakarta-Batam tergelincir di landasan Bandar Udara Hang Nadim, Batam. Roda pendaratan pesawat patah setelah menghantam keras landasan bandara, sehingga menyebabkan pesawat keluar dari landasan sejauh 75 meter, dan mengalami kerusakan pada salah satu bagian sayapnya. Sebanyak 171 orang penumpang dan 6 awak pesawat selamat. Penyebab kecelakaan diduga akibat cuaca buruk.
PEMBAHASAN
Ditutupnya maskapai penerbangan Adam Air ini bukan hanya karena masalah kesalahan operasinal dan teknis semata, namun lebih cenderung karena diabaikannya harapan-harapan stake holder dan tak dilibatkannya etika dalam pengambilan keputusan-keputusan penting.Dari kasus tersebut, bentuk-bentuk pelanggaran etika yang dilakukan perusahaan penerbangan ini adalah:1.Tidak diindahkannya keselamatan penumpang (stake holder) dengan digunakannya pesawat Boeing 737-400 yang telah berusia 15 tahun.Demi mencapai tujuan peningkatan laba yang sebesar-besarnya, maskapai ini secara tega mempertaruhkan keselamatan pelanggan dan karyawannya.2.Dilakukannya kebohongan public dengan mengklaim bahwa operasional Adam Air menggunakan "Boeing 737-400 baru" walaupun ternyata pesawat Boeing mereka sebenarnya merupakan sewaan yang telah berusia lebih dari 15 tahun. Tidak dijalankannya perbaikan tingkat keselamatan serta tiadanya transparansi.Faktor-faktor diatas sangat jelas menerangkan bahwa perusahaan mengabaikan keselamatan stake holder utama, tidak melakukan upaya going concern, dan tidak menerapakan manajemen resiko bisnis apalagi manajemen resiko etika, sehingga sudah menjadi hal yang semestinya jika akhirnya pemerintah selaku regulator menutup maskapai penerbangan ini.Adalah hal yang sangat tidak dapat diterima, jika badan pelayanan public, yang bertujuan untuk memberikan pelayanan dan kemudahan pada publik melalui penawaran jasanya, justru menggunakan public hanya sebagai media dalam mendapatkan keuntungan semata, tanpa memperhitungkan keselamatan mereka.
Selain itu, cukup banyak dampak buruk yang harus diterima skate holder dari adanya kasus-kasus yang terjadi, yaitu:
1.Jatuhnya korban jiwa dan korban terluka.
2.Tercemarnya reputasi maskapai penerbangan Indonesia
3.Hilangnya mata pencaharian karyawan
4.Keresahan Publik Berdasarkan hal tersbut maka dapat disimpulkan bahwa Adam Air telah tidak menerpakan beberapa nilai yang penting yang menjadi factor penunjang bertahannya suatu bisnis, yaitu kejujuran, integritas, pertanggung jawaban, keterbukaan dan kewajaran. Seharusnya, penutupan maskapai ini tidak perlu terjadi jika perusahaan tidak hanya berfokus kepada pencapaian margin pendapatan semata, dan perusahaan ini akan dapat lebih mampu bertahan jika menerapkan beberapa langkah seperti teori penerapan etika dan manajemen resiko etika yang telah dipaparkan diatas.
A.Mengidentifikasi dan Menilai Resiko Etika
Identifikasi Penilaian resiko etika dibagi menjadi beberapa tahap:
1. Melakukan penilaian dan identifikasi para stake holder perusahaan
Dalam kasus ini, Pengidentifikasian dan penilaian resiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
A.Melakukan penilaian dan identifikasi para stake holder Maskapai
Manajemen Adam Air dapat membuat daftar mengenai siapa dan apa saja para stake holder yang berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stake holder dan apa kepentingannya serta harapan mereka, maka manajemen dapat melakukan penilaian dalam pemenuhan harapan stake holder, seperti misalnya harapan jaminan keselamatan penumpang, ketepaan waktu keberangkatan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, maka akan menunjukkan adanya perhatian maskapai terhadap kepentingan stake holder, yaitu penumpang/pelanggan, pemerintah, pemegang saham, dan karyawan. Selain itu, hal ini dapat menjadi pembuka dialog yang dapat membangun rasa saling percaya, yang nantinya juga dapat membantu jika pada suatu hari nanti muncul masalah yang tidak menguntungkan., seperti misalnya insiden pecah ban, keterlambatan jadwal, dan lain sebagainya.
B.Mempertimbangkan kemampuan aktivitas perusahaan dengan ekspektasi stakeholder, dan menilai risiko ketidak sanggupan dalam memenuhi ekspektasi stakeholder atau menilai adanya kemungkinan peluang untuk berprestasi lebih dari yang diharapkan. Saat mempertimbangkan apakah ekspektasi telah terpenuhi, maka manajemen wajib membuat perbandingan di antara input, output, kualitas relevan dan variabel kinerja lainnya. Selain itu, perbandingan juga harus dibuat di antara akitivitas perusahaan dan ekspektasi stakeholder dengan menggunakan enam nilai hypernorm. Nilai hypernorm ini adalah kejujuran, keadilan, simpati, integritas, prediktabilitas, dan tanggung jawab. Jika aktivitas perusahaan menghargai nilai-nilai tersebut, maka terdapat kemungkinan bahwa aktivitas perusahaan juga akan menghargai ekspektasi para stakeholder utama perusahaan, domestik dan luar negeri, baik pada masa kini ataupun pada masa mendatang.
C.Meninjau ulang perbandingan akitivitas dan ekspektasi perusahaan dari perspektif dampak reputasi perusahaan.
Menurut Charles Fombrun reputasi sendiri bergantung pada empat factor, yaitu kejujuran, kredibilitas, reliabilitas, dan tanggung jawab. Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangkakerja dalam melakukan perbandingan.
D.Melakukan pelaporan
Setelah tahap ketiga selesai, maka manajemen dapat menyiapkan laporan kepada masing-masing stake holder. Laporan tersebut harus dibuat dengan mempertimbangkan kelompok stakeholder, produk atau jasa, tujuan perusahaan, nilai-nilai hypernorm, dan elemen-elemen penentu reputasi.
Empat tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan direktur dan eksekutif dapat mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut.
2.Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stake holder.
Adam Air dapat melakukan pengelompokan stake holder dan me ratingnya dari segi kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stake holder yang dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi harapan para stake holder Adam Air.
3.Melakukan Akuntabilitas Sosial dan Audit.
Setelah rencana berajalan, maka Adam Air dapat melakukan peninjauan, apakah dalam praktek nyata, rencana yang telah disusun untuk memenuhi harapan stake holder telah diimplementasikan dengan baik. Jika tidak baik, maka dapat dilakukan perbaikan, jika baik, maka dapat dilakukan langkah pengawasan yang berkesinambungan.
REFERENSI
Bertens, K. (2000).
Pengantar Etika Bisnis.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Brooks, L. (2000).
Business & Professional Ethics for Accountants.
South-Western Clloege Publishing.Duska, R., & Duska, B. (2005).
Accounting Ethics.
Blackwell Publishing.
Nama: Amin Zuhdi
ReplyDeleteNIM: P2CD08001
Judul Paper: Etika Bisnis Dalam Islam
ETIKA BISNIS DALAM ISLAM
PENDAHULUAN
“Ku kira coklat, nggak taunya broklat, perutku jadi kacau berat, nggak! nggak
momo lagi”. Demikian sebuah pernyataan yang diperankan oleh seorang anak bertubuh
tambun dalam sebuah iklan kudapan coklat bermerk “Gery Toya-Toya” produksi Garuda
Food, yang ditampilkan dalam iklan di berbagai televisi nasional. Sekilas iklan tersebut
biasa saja, namun sesungguhnya memuat pesan yang menyerang pesaingnya bernama
”Momogi” kudapan buatan perusahaan lain. Dilain pihak beberapa iklan di televisi
menampilkan produk toiletris seperti sabun mandi, atau perawatan kulit, yang secara
sengaja mengumbar kulit mulus wanita cantik, atau kita juga disuguhkan oleh iklan obat
sekali minum sembuh, padahal proses penyembuhan penyakit tidak sesederhana itu.
Tayangan sinetron di televisi nasional juga tidak lepas dari kritik penonton , demi rating
sebagian besar televisi menyiarkan film-film berbau sex, kekerasan, mistik, horor, dan
menampilkan kemewahan ekonomi yang sesungguhnya bukan merupakan kondisi riil
masyarakat kita. Apa yang dibahas di atas merupakan gambaran betapa sebagian orang
atau organisasi melakukan berbagai cara untuk menjual produknya baik dengan cara
menyerang pesaingnya, mengumbar aurat atau melakukan kebohongan publik. Apakah
bisnis merupakan profesi etis? Atau sebaliknya ia menjadi profesi kotor? Kalau profesi
kotor penuh tipu menipu, mengapa begitu banyak orang yang menekuninya bahkan bangga
dengan itu? Lalu kalau ini profesi kotor betapa mengerikan masyarakat modern ini yang
didominasi oleh kegiatan bisnis ini (Sony Keraf:2000).
Bisnis modern merupakan realitas yang amat kompleks. Banyak faktor turut
mempengaruhi dan menentukan kegiatan bisnis. Antara lain faktor organisatoris
manajerial, ilmiah teknologis, dan politik-sosial-kultural, Kompleksitas bisnis itu kegiatan
sosial, bisnis dengan kompleksitas masyarakat modern sekarang. Sebagai kegiatan sosial,
bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern itu. Semua
faktor yang membentuk kompleksitas bisnis modern sudah sering dipelajari dan dianalisis
melalui pendekatan ilmiah, khususnya ilmu ekonomi dan teori manajemen (K. Bertens:
2000)
ETIKA BISNIS
Etika sebagai praktis berarti : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktikan atau
justru tidak dipraktikan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai refleksi adalah
pemikiran moral. Dalam etika sebagai refleksi kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan
khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Secara filosofi
etika memiliki arti yang luas sebagai pengkajian moralitas. Terdapat tiga bidang dengan
fungsi dan perwujudannya yaitu etika deskriptif (descriptive ethics), dalam konteks ini
secara normatif menjelaskan pengalaman moral secara deskriptif berusaha untuk
mengetahui motivasi, kemauan dan tujuan sesuatu tindakan dalam tingkah laku manusia.
Kedua, etika normatif (normative ethics), yang berusaha menjelaskan mengapa manusia
bertindak seperti yang mereka lakukan, dan apakah prinsip-prinsip dari kehidupan
manusia. Ketiga, metaetika (metaethics), yang berusaha untuk memberikan arti istilah dan
bahasa yang dipakai dalam pembicaraan etika, serta cara berfikir yang dipakai untuk
membenarkan pernyataan-pernyataan etika. Metaetika mempertanyakan makna yang
dikandung oleh istilah-istilah kesusilaan yang dipakai untuk membuat
tanggapan-tanggapan kesusilaan (Bambang Rudito dan Melia Famiola: 2007)
Apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan
keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari
atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau
moral. Karenanya kita berasumsi bahwa suatu organisasi etis, merasa terikat dan dapat
mendirikan beberapa struktur yang memeriksa prosedur untuk mendorong oraganisasi ke
arah etika dan moral bisnis. Organisasi memiliki kode-kode sebagai alat etika perusahaan
secara umum. Tetapi timbul pertanyaan: dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah
laku etis pada pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan? (Laura Pincus
hartman:1998)
Alasan mengejar keuntungan, atau lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi
kelangsungan bisnis merupakan alasan utama bagi setiap perusahaan untuk berprilaku
tidak etis. Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang buruk, bahkan secara
moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral
keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya.
Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal yang bersedia
menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas ekonomi yang
produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya
memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah
tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan
(expansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru.
Dalam mitos bisnis amoral diatas sering dibayangkan bisnis sebagai sebuah medan
pertempuran. Terjun ke dunia bisnis berarti siap untuk betempur habis-habisan dengan
sasaran akhir yakni meraih keuntungan, bahkan keuntungan sebesar-besarnya secara
konstan. Ini lebih berlaku lagi dalam bisnis global yang mengandalkan persaingan ketat.
Pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah tujuan keuntungan yang dipertaruhkan
dalam bisnis itu bertentangan dengan etika? Atau sebaliknya apakah etika bertentangan
dengan tujuan bisnis mencari keuntungan? Masih relevankah kita bicara mengenai etika
bagi bisnis yang memiliki sasaran akhir memperoleh keuntungan?
Dalam mitos bisnis modern para pelaku bisnis dituntut untuk menjadi orang-orang
profesional di bidangnya. Mereka memiliki keterampilan dan keahlian bisnis melebihi orang
kebanyakan, ia harus mampu untuk memperlihatkan kinerja yang berada diatas rata-rata
kinerja pelaku bisnis amatir. Yang menarik kinerja ini tidak hanya menyangkut aspek
bisnis, manajerial, dan organisasi teknis semata melainkan juga menyangkut aspek etis.
Kinerja yang menjadi prasarat keberhasilan bisnis juga menyangkut komitmen moral,
integritas moral, disiplin, loyalitas, kesatuan visi moral, pelayanan, sikap mengutamakan
mutu, penghargaan terhadap hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang berkepentingan
(stakeholders), yang lama kelamaan akan berkembang menjadi sebuah etos bisnis dalam
sebuah perusahaan. Perilaku Rasulullah SAW yang jujur transparan dan pemurah dalam
melakukan praktik bisnis merupakan kunci keberhasilannya mengelola bisnis Khodijah ra,
merupakan contoh kongkrit tentang moral dan etika dalam bisnis.
Dalam teori Kontrak Sosial membagi tiga aktivitas bisnis yang terintegrasi. Pertama adalah
Hypernorms yang berlaku secara universal yakni ; kebebasan pribadi, keamanan fisik &
kesejahteraan, partisipasi politik, persetujuan yang diinformasikan, kepemilikan atas harta,
hak-hak untuk penghidupan, martabat yang sama atas masing-masing orang/manusia.
Kedua, Kontrak Sosial Makro, landasan dasar global adalah; ruang kosong untuk muatan
moral, persetujuan cuma-cuma dan hak-hak untuk diberi jalan keluar, kompatibel dengan
hypernorms, prioritas terhadap aturan main. Ketiga, Kontrak Sosial Mikro, sebagai
landasan dasar komunitas; tidak berdusta dalam melakukan negosiasi-negosiasi,
menghormati semua kontrak, memberi kesempatan dalam merekrut pegawai bagi
penduduk lokal, memberi preferensi kontrak para penyalur lokal, menyediakan tempat
kerja yang aman (David J. Frizsche: 1997)
Dalam semua hubungan, kepercayaan adalah unsur dasar. Kepercayaan diciptakan dari
kejujuran. Kejujuran adalah satu kualitas yang paling sulit dari karakter untuk dicapai
didalam bisnis, keluarga, atau dimanapun gelanggang tempat orang-orang berminat untuk
melakukan persaingan dengan pihak-pihak lain. Selagi kita muda kita diajarkan, di dalam
tiap-tiap kasus ada kebajikan atau hikmah yang terbaik. Kebanyakan dari kita didalam
bisnis mempunyai satu misi yang terkait dengan rencana-rencana. Kita mengarahkan energi
dan sumber daya kita ke arah tujuan keberhasilan misi kita yang kita kembangkan
sepanjang perjanjian-perjanjian. Para pemberi kerja tergantung pada karyawan, para
pelanggan tergantung pada para penyalur, bank-bank tergantung pada peminjam dan pada
setiap pelaku atau para pihak sekarang tergantung pada para pihak terdahulu dan ini akan
berlangsung secara terus menerus. Oleh karena itu kita menemukan bahwa bisnis yang
berhasil dalam masa yang panjang akan cenderung untuk membangun semua hubungan
atas mutu, kejujuran dan kepercayaan (Richard Lancaster dalam David Stewart: 1996)
ETIKA BISNIS ISLAMI
Etika bisnis lahir di Amerika pada tahun 1970 an kemudian meluas ke Eropa tahun 1980
an dan menjadi fenomena global di tahun 1990 an jika sebelumnya hanya para teolog dan
agamawan yang membicarakan masalah-masalah moral dari bisnis, sejumlah filsuf mulai
terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis disekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap
sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis di Amerika
Serikat, akan tetapi ironisnya justru negara Amerika yang paling gigih menolak
kesepakatan Bali pada pertemuan negara-negara dunia tahun 2007 di Bali. Ketika sebagian
besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika industri negara-negara maju yang
menjadi sumber penyebab global warming agar dibatasi, Amerika menolaknya.
Jika kita menelusuri sejarah, dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap
perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhammad SAW adalah seorang pedagang,
dan agama Islam disebarluaskan terutama melalui para pedagang muslim. Dalam Al
Qur’an terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang
mencari kekayaan dengan cara halal (QS: 2;275) ”Allah telah menghalalkan perdagangan
dan melarang riba”. Islam menempatkan aktivitas perdagangan dalam posisi yang amat
strategis di tengah kegiatan manusia mencari rezeki dan penghidupan. Hal ini dapat dilihat
pada sabda Rasulullah SAW: ”Perhatikan oleh mu sekalian perdagangan, sesungguhnya di
dunia perdagangan itu ada sembilan dari sepuluh pintu rezeki”. Dawam Rahardjo justru
mencurigai tesis Weber tentang etika Protestantisme, yang menyitir kegiatan bisnis sebagai
tanggungjawab manusia terhadap Tuhan mengutipnya dari ajaran Islam.
Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi
diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak.
Seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis
Islami yang mencakup Husnul Khuluq. Pada derajat ini Allah akan melapangkan hatinya,
dan akan membukakan pintu rezeki, dimana pintu rezeki akan terbuka dengan akhlak
mulia tersebut, akhlak yang baik adalah modal dasar yang akan melahirkan praktik bisnis
yang etis dan moralis. Salah satu dari akhlak yang baik dalam bisnis Islam adalah kejujuran
(QS: Al Ahzab;70-71). Sebagian dari makna kejujuran adalah seorang pengusaha
senantiasa terbuka dan transparan dalam jual belinya ”Tetapkanlah kejujuran karena
sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan
mengantarkan kepada surga” (Hadits). Akhlak yang lain adalah amanah, Islam
menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya
dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalah nya dari unsur
yang melampaui batas atau sia-sia. Seorang pebisnis muslim adalah sosok yang dapat
dipercaya, sehingga ia tidak menzholimi kepercayaan yang diberikan kepadanya ”Tidak
ada iman bagi orang yang tidak punya amanat (tidak dapat dipercaya), dan tidak ada
agama bagi orang yang tidak menepati janji”, ”pedagang yang jujur dan amanah
(tempatnya di surga) bersama para nabi, Shiddiqin (orang yang jujur) dan para syuhada”
(Hadits). Sifat toleran juga merupakan kunci sukses pebisnis muslim, toleran membuka
kunci rezeki dan sarana hidup tenang. Manfaat toleran adalah mempermudah pergaulan,
mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal ”Allah mengasihi
orang yang lapang dada dalam menjual, dalam membeli serta melunasi hutang” (Hadits).
Konsekuen terhadap akad dan perjanjian merupakan kunci sukses yang lain dalam hal
apapun sesungguhnya Allah memerintah kita untuk hal itu ”Hai orang yang beriman,
penuhilah akad-akad itu” (QS: Al- Maidah;1), ”Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu
pasti diminta pertanggungjawabannya” (QS: Al Isra;34). Menepati janji mengeluarkan
orang dari kemunafikan sebagaimana sabda Rasulullah ”Tanda-tanda munafik itu tiga
perkara, ketika berbicara ia dusta, ketika sumpah ia mengingkari, ketika dipercaya ia
khianat” (Hadits).
Aktivitas Bisnis yang Terlarang dalam Syariah:
1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus
komitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang
pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang
diharamkan oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu
melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak
halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau
semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic cafe
tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak,
suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al
Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.
2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba
yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS:
Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis
yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar
kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk
dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi
adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 –
35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan
berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat
tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta
dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam
Al-Qur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian
kamu dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair
Rasulullah mencela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka
dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang
yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar memperoleh
penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai
cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk
memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar.
Rasulullah bersabda : ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan
harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka
kelak di hari kiamat”.
4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat
menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan
percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran
ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda
”Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”.
Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang
dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang
dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a) Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan
oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang
artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak
mengkonsumsinya.
b) Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan
di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor,
atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
c) Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun
produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya
dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang
menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk
mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan
pembelian terhadap produk mereka.
Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam
sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak
dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus
dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan
rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkan
derajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara
menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.
ETIKA PEMASARAN
Dalam konteks etika pemasaran yang bernuansa Islami, dapat dicari pertimbangan dalam
Al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan dua persyaratan dalam proses bisnis yakni persyaratan
horizontal (kemanusiaan) dan persyaratan vertikal (spritual). Surat Al-Baqarah
menyebutkan ”Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada yang diragukan didalamnya. Menjadi
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa”. Ayat ini dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam etika marketing:
1. Allah memberi jaminan terhadap kebenaran Al-Qur’an, sebagai reability product
guarantee.
2. Allah menjelaskan manfaat Al-Qur’an sebagai produk karyaNya, yakni menjadi hudan
(petunjuk).
3. Allah menjelaskan objek, sasaran, customer, sekaligus target penggunaan kitab suci
tersebut, yakni orang-orang yang bertakwa.
Isyarat diatas sangat relevan dipedomani dalam melakukan proses marketing, sebab
marketing merupakan bagian yang sangat penting dan menjadi mesin suatu perusahaan.
Mengambil petunjuk dari kalimat ”jaminan” yang dijelaskan Allah dalam Al-Qur’an, maka
dalam rangka penjualan itupun kita harus dapat memberikan jaminan bagi produk yang
kita miliki. Jaminan tersebut mencakup dua aspek:
- Aspek material, yakni mutu bahan, mutu pengobatan, dan mutu penyajian.
- Aspek non material, mencakup; ke-Halalan, ke-Thaharahan (Higienis), dan ke-Islaman
dalam penyajian.
Bahwa jaminan terhadap kebaikan makanan itu baru sebagian dari jaminan yang perlu
diberikan, disamping ke-Islaman sebagai proses pengolahan dan penyajian, serta
ke-Halalan, ke-Thaharahan. Jadi totalitas dari keseluruhan pekerjaan dan semua bidang
kerja yang ditangani di dalam dan di luar perusahaan merupakan integritas dari ”jaminan”.
Urutan kedua yang dijelaskan Allah adalah manfaat dari apa yang dipasarkan. Jika ini
dijadikan dasar dalam upaya marketing, maka yang perlu dilakukan adalah memberikan
penjelasan mengenai manfaat produk (ingridients) atau manfaat proses produksi
dijalankan. Adapun metode yang dapat digunakan petunjuk Allah: ”Beritahukanlah
kepadaku (berdasarkan pengetahuan) jika kamu memang orang-orang yang benar”.
(QS:Al-An’am;143). Ayat tersebut mengajarkan kepada kita bahwa untuk meyakinkan
seseorang terhadap kebaikan yang kita jelaskan haruslah berdasarkan ilmu pengetahuan,
data dan fakta. Jadi dalam menjelaskan manfaat produk, nampaknya peranan data dan
fakta sangat penting, bahkan seringkali data dan fakta jauh lebih berpengaruh dibanding
penjelasan. Sebagaimana orang yang sedang dalam program diet sering kali
memperhatikan komposisi informasi gizi yang terkandung dalam kemasan makanan yang
akan dibelinya.
Ketiga adalah penjelasan mengenai sasaran atau customer dari produk yang kita miliki.
Dalam hal ini kita dapat menjelaskan bahwa makanan yang halal dan baik (halalan
thoyyiban), yang akan menjadi darah dan daging manusia, akan membuat kita menjadi taat
kepada Allah, sebab konsumsi yang dapat mengantarkan manusia kepada ketakwaan harus
memenuhi tiga unsur :
- Materi yang halal
- Proses pengolahan yang bersih (Higienis)
- Penyajian yang Islami
Dalam proses pemasaran promosi merupakan bagian penting, promosi adalah upaya
menawarkan barang dagangan kepada calon pembeli. Bagaimana seseorang sebaiknya
mempromosikan barang dagangannya? Selain sebagai Nabi Rasulullah memberikan teknik
sales promotion yang jitu kepada seorang pedagang. Dalam suatu kesempatan beliau
mendapati seseorang sedang menawarkan barang dagangannya. Dilihatnya ada yang
janggal pada diri orang tersebut. Beliau kemudian memberikan advis kepadanya :
”Rasulullah lewat di depan sesorang yang sedang menawarkan baju dagangannya. Orang
tersebut jangkung sedang baju yang ditawarkan pendek. Kemudian Rasululllah berkata;
”Duduklah! Sesungguhnya kamu menawarkan dengan duduk itu lebih mudah
mendatangkan rezeki.” (Hadits).
Dengan demikian promosi harus dilakukan dengan cara yang tepat, sehingga menarik
minat calon pembeli. Faktor tempat dan cara penyajian serta teknik untuk menawarkan
produk dilakukan dengan cara yang menarik. Faktor tempat meliputi desain interior yang
serasi yang serasi, letak barang yang mudah dilihat, teratur, rapi dan sebagainya.
Memperhatikan hadits Rasulullah diatas sikap seorang penjual juga merupakan faktor yang
harus diperhatikan bagi keberhasilan penjualan. Selain faktor tempat, desain interior, letak
barang dan lain-lain.
Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dalam Islam posisi pebisnis pada dasarnya adalah
profesi yang terpuji dan mendapat posisi yang tinggi sepanjang ia mengikuti koridor
syari’ah. Muamalah dalam bentuk apapun diperbolehkan sepanjang ia tidak melanggar dalil
syar’i. Islam melarang seorang Muslim melakukan hal yang merugikan dan mengakibatkan
kerusakan bagi orang lain sebagaimana disebutkan dalam haditsnya. Rasululllah bersabda :
”La dlaraara wala dliraara” (HR. Ibn Abbas).
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Rudito & Melia Famiola, 2007. Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan di Indonesia.
Fritzche David J, 1997, Business Ethics, A Global and Managerial Perspective, McGraw
Hill Companies, Inc.
Hadhiri Choiruddin SP, 1993. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an, Gema Insani Press.
Hermant Laura Pincus, 1998. Perspective in Business Ethics, Irvin McGraw Hill
Tim Multitama Communication, 2006. Islamic Business Strategy for Entrepreneurship,
Zikrul Media Intelektual.
K. Bertens, 2000. Pengantar Etika Bisnis, Penerbit Kanisius.
Muhammad Dawabah Asyraf, 2005. The Moslem Entrepreneur, Kiat Sukses Pengusaha
Muslim, Zikrul Media Intelektual.
Stewart David, 1966, Business Ethic, McGraw Hill Companies, Inc.
Nama : Uswatun Hasanah
ReplyDeleteNIM : P2CD08008
Papernya :
ETIKA PROFESI AKUNTAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Oleh : Uswatun Hasanah*
*Mahasiswa Pasca Sarjana program studi Magister Akuntansi UNSOED
Pendahuluan
Kata etika berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.
Akuntan merupakan profesi yang keberadannya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Sebagai sebuah profesi yang kinerjanya diukur dari profesionalismenya, akuntan harus memiliki keterampilan, pengetahuan, dan karakter. Penguasaan keterampilan dan pengetahuan tidaklah cukup bagi akuntan untuk menjadi profesional. Karakter diri yang dicirikan oleh ada dan tegaknya etika profesi merupakan hal penting yang harus dikuasainya pula.
Etika profesi akuntan di Indonesia dikodifikasikan dalam bentuk kode etik, yang mana struktur kode etik ini meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan etika. Struktur yang demikian itu setidaknya memberikan gambaran akan kebutuhan minimal bagi profesi akuntan untuk memberi jasa yang efektif kepada masyarakat
Namun, dalam prakteknya masih banyak pelanggaran yang dilakukan akuntan di Indonesia dan negara manapun di dunia. Kasus yang sangat terkenal dalam profesi akuntan adalah Enron, WorldCom dengan auditornya Arthur Andersen. Sedangkan di Indonesia yang terkenal dengan adat ke-timur-annya dan kehidupan religiusnya juga tidak luput dari pelanggaran etika yang dilakukan auditor, baik skala nasional maupun lokal. Sebut saja kasus Mulyana W Kusumah yang melibatkan auditor Khairiansyah, adapula kasus lokal di Semarang misalnya pelanggaran yang dilakukan KAP Tahrir Hidayat dalam audit atas laporan keuangan BPR.
Mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam, beberapa akuntan yang melakukan pelanggaran kode etik profesi juga Muslim. Tetapi kita tidak boleh men-generalisasi bahwa agama tidak melarang para penganutnya untuk melanggar etika. Sehingga para pelanggar etika akan berdalih bahwa ia tidak melanggar aturan agama. Padahal etika dibangun di atas nilai-nilai moral dan tidak bertentangan dengan agama yang juga mengatur bagaimana membangun moralitas.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mendalami kode etik profesi akuntan dalam perspektif Islam, sesuai dengan agama yang dianut penulis. Diharapkan dengan pembahasan ini akan ditemukan kesesuaian antara kode etik profesi di Indonesia dengan etika profesi yang Islami.
Pembahasan
Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang perlu kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.
Menilik sejarah pemikiran etika, baik sudut pandang teori etika deontologi maupun teleologi yang melahirkan beberapa model etika, mulai dari utilitarian, theory of rights dan theory of justice. Semuanya tidak mendasari pemikiran pada adanya kekuatan lebih besar dari alam pikiran manusia, yaitu Tuhan. Sehingga para pakar mulai mengembangkan teori etika berdasarkan nilai-nilai agama, seperti dalam agama Nasrani terdapat tokoh-tokoh seperti Augustinus (354-430 SM) dan Thomas Aquinas (1225-1274), Sedangkan dalam Islam, secara deskriptif dan sistematis, keragaman aliran pemikiran etika dalam Islam dapat ditemukan (walaupun tidak terbatas) pada karya Madjid Fakhry (1996). Dalam karyanya ini, Fakhry mengeksplorasi pemikiran dari berbagai pemikiran kalangan Islam yang bersifat rasionalistik maupun voluntaristik, serta yang berdimensi teologis maupun religius. Dalam perspektif religius (disebut juga etika religius), pemikiran etika cenderung melepaskan kepelikan dialektika atau metodologis dan memusatkan pada usaha untuk mengeluarkan spirit moralitas Islam dengan cara lebih langsung berakar pada Al-Qur’an dan Sunnah. Termasuk dalam etika religius ini adalah pemikiran Al-Ghazali. (Ludigdo, 2007, dalam artikel oleh H.M. Sarjono di Wangmuba.com)
Etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Khusus dikaitkan dengan kelompok profesi, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik profesi yang bersangkutan.
Kelompok profesional merupakan kelompok yang berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan kehlian.
Pengertian profesi dan profesional menurut De George (dalam artikel oleh Nani, 2008, di etikaprofesidanprotokoler.blogspot.com) dijelaskan :
1. Profesi, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.
2. Profesional, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang.
Dalam Islam, nilai penting dalam bekerja adalah ihsan (baik) dan jihad (bersungguh-sungguh). Islam tidak hanya memerintahkan bekerja tetapi bekerja dengan sebaik-baiknya. Maka sepatutnya seorang muslim selalu ihsan dalam bekerjanya dan dilakukan dengan penuh kesungguhan, mengerahkan segala kemampuannya untuk hasil yang terbaik dan menjaga kualitas proses atau cara mencapainya. Dalam penggalan dialog yang termasyhur antara Rasulullah saw dengan Jibril ketika ditanya tentang ihsan “… engkau beribadah seolah-olah engkau melihat Allah, dan jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allah melihatmu”. Dan dalam sabda beliau yang lain “Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan hendaknya dilakukannya secara itqon (profesional)”. HR Baihaqi dari Siti Aisyah ra. (DR. Yusuf Qordhowi dalam artikel di Blog Masyarakat Ekonomi Syariah Batam, 2008)
Seorang profesional berkeyakinan dalam bekerja dan berusaha adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ibadahnya. Agar suatu pekerjaan atau usaha mempunyai nilai ibadah, setelah berniat (ihsan dan jihad) maka landasan akhlak dalam melakukannya adalah suatu keharusan. Inilah yang disebut etika profesi yang bersifat universal, berlaku sepanjang jaman, dalam jenis pekerjaan atau usaha apapun, dalam masyarakat manapun, sehingga tidak hanya milik umat Islam saja tetapi milik seluruh umat manusia. Kunci etis dan moral bisnis maupun profesi sesungguhnya terletak pada pelakunya, itu sebabnya misi diutusnya Rasulullah ke dunia adalah untuk memperbaiki akhlak manusia yang telah rusak. Seorang pengusaha dan profesioinal muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami yang mencakup Husnul Khuluq (akhlak yang baik).
Dalam Islam, etika profesi ini terkumpul dalam 5 akhlak pokok: Shiddiq (jujur), Istiqomah (konsisten), Fathonah (kompeten), Amanah (bertanggung jawab) dan Tablig (panutan). Kelima hal tersebut harus ada dalam diri seorang profesional dalam bentuknya yang paling sempurna.
Dikaitkan dengan profesionalisme, penjabaran nilai-nilai dalam akhlak pokok sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, sebagai berikut :
1. Shiddiq (Honest) artinya mempunyai kejujuran dan selalu melandasi keyakinan, ucapan dan perbuatan dengan nilai-nilai kebenaran. Tidak ada kontradiksi dan pertentangan yang disengaja antara ucapan dan tindakan. Dalam dunia kerja dan usaha, kejujuran akan tampil dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan (mujahadah dan itqon) berupa ketepatan waktu, janji, pelayanan, laporan, mengakui kelemahan diri sendiri untuk diperbaiki serta tidak berbohong dan menipu.
2. Istiqomah (Consistency) artinya konsisten dalam nilai-nilai kebaikan meskipun menghadapi godaan dan tantangan. Istiqomah dalam dunia kerja akan tampil dalam bentuk kesabaran, keteguhan dan keuletan sehingga menghasilkan suatu karyayang optimal. Profesional yang istoqomah akan mendapatkan ketenangan dalam bekerja dan berkarya sehingga lebih mudah mendapatkan solusi dari persoalan yang dihadapi.
3. Fathonah (Competency) artinya mengerti, memahami dan menghayati segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Profesional dengan etika fathonah memiliki kreativitas yang tinggi dan mampu menelurkan inovasi. Kreativitas dan inovasi tersebut adalah buah manakala profesional tersebut selalu berusaha menambah pengetahuan dalam berbagai bidang, tidak terbatas dalam bidang kerja/usahanya saja tetapi dalam lingkup yang lebih luas.
4. Amanah (Accountability) artinya bertanggungjawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban yang diemban. Seorang profesional yang amanah akan berprinsip bahwa setiap jabatan yang diembannya dan setiap assignment yang diberikan kepadanya nantinya akan dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada atasan atau pemegang saham perusahaan tetapi juga kepada Allah SWT kelak.
5. Tablig (Teach by Role Model) artinya memberi panutan sekaligus mengajak lingkungan kerjanya (peer group dan subordinate) dalam melaksanakan tugas selalu mempraktekkan nilai-nilai kebenaran. Profesional yang bertablig dengan cara memberikan contoh yang baik ini akan membentuk suatu tim yang solid dibawah koordinasinya. Proses membangun tim hanya akan berhasil apabila peminpinnya berlaku sebagai contoh terbaik (uswah hasanah).
Sebagaimana telah pelajari dalam perkuliahan etika bisnis bahwa Standar Profesional Akuntan Publik di Indonesia mengadopsi produk kode etik dari AICPA yang meliputi Prinsip Etika, Aturan Etika dan Interpretasi Aturan Etika.
Prinsip Etika
1. Tanggung jawab profesi : bahwa akuntan di dalam melaksanakan tanggungjawabnya sebagai profesional harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2. Kepentingan publik : akuntan sebagai anggota IAI berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepentingan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
3. Integritas : akuntan sebagai seorang profesional, dalam memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya tersebut dengan menjaga integritasnya setinggi mungkin.
4. Obyektifitas : dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya, setiap akuntan sebagai anggota IAI harus menjaga obyektifitasnya dan bebas dari benturan kepentingan.
5. Kompetensi dan kehati-hatian profesional : akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.
6. Kerahasiaan : akuntan harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7. Perilaku profesional : akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya.
8. Standar teknis : akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas.
Aturan Etika
1. Independensi, Integritas dan Obyektivitas
a. Independensi : Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen didalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam standar profesional akuntan publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance)
b. Integritas dan Obyektivitas : Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus mempertahankan integritas dan objektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interst) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain.
2. Standar umum dan prinsip akuntansi
a. Standar umum, terdiri dari : kompetensi profesional, kecermatan dan keseksamaan profesional, perencanaan dan supervisi, dan data relevan yang memadai
b. Kepatuhan terhadap standar : anggota KAP yang melaksanakan penugasan jasa profesionalnya wajib mematuhi standar yang dikeluarkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI.
c. Prinsip-prinsip akuntansi : anggota KAP tidak diperkenankan menyatakan bahwa laporan keuangan klien telah sesuai prinsip akuntansi padahal kenyataannya tidak.
3. Tanggung jawab kepada klien
a. Informasi klien yang rahasia : anggota KAP tidak diperkenankan membocorkan informasi tentang klien, kecuali pada pengadilan
b. Fee profesional : besaran fee dan fee kontijen, tidak boleh ditawarkan ke klien dengan cara yang dapat merusak citra profesi
4. Tanggung jawab kepada kolega (rekan seprofresi) : wajib memelihara citra profesi, dengan tidak melakukan perkataan dan perbuatan yang dapat merusak reputasi rekan seprofesi
5. Tanggung jawab dan praktek lain
a. Perbuatan dan perkataan yang mendiskreditkan : tidak diperkenankan melakukan tindakan dan/atau mengucapkan perkataan yang mencemarkan profesi
b. Iklan, promosi dan kegiatan pemasaran lainnya
c. Komisi dan fee referal
d. Bentuk dan nama organisasi (KAP)
Setelah memahami lima akhlak pokok Islami yang seharusnya ada dalam diri profesional termasuk akuntan, dan mencermati prinsip dan aturan etika yang ditetapkan organisasi profesi dapat diambil persamaannya sebagai berikut :
1. Kejujuran, baik nilai akhlak Islami dan nilai etika profesi akuntan mengedepankan prinsip ini. Akuntan diminta mengungkapkan apa adanya atas hasil audit mereka tanpa ada yang ditutupi apalagi dicurangi (fraud) dengan cara mempertahankan integritas dan obyektivitas.
2. Konsistensi, akhlak Islami ini terlihat dari sikap akuntan yang mempertahankan independensinya, baik dalam sikap mental maupun perbuatan, berusaha menjauhkan diri dari konflik kepentingan diri, keluarga dan anggota KAP yang lain
3. Kompetensi, akhlak fathonah yang dicontohkan Nabi Muhammad menunjukkan keahlian yang harus dimiliki dalam pekerjaan. Audit harus dilakukan oleh orang yang kompeten yaitu akuntan. Kompetensi ini bukanlah statis, tetapi harus dinamis mengikuti perkembangan jaman. Kompetensi juga menunjukkan tingkat profesionalitas akuntan.
4. Akuntabilitas, seorang muslim harus dapat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya terutama kepada Allah SWT. Akuntan juga memikul tanggung jawab dalam pekerjaannya kepada para stake holder, dan rekan seprofesi
5. Panutan, akuntan harus melayani kepentingan publik dan tidak diperkenankan melakukan perbuatan maupun mengeluarkan perkataan yang dapat mendeskreditkan orang lain dan profesinya, sehingga dengan terjaganya sikap ini mereka dapat menjadi panutan dalam bidangnya, sesuai dengan akhlak tablig.
Pelanggaran kode etik yang masih saja sering terjadi merupakan cerminan kemunduran moral, padahal menurut Lewis dalam Raar, 2004, “Moral collapse follows upon spiritual collapse”. Pelaku pelanggaran etika masih mengedepankan ketamakan (greedy), ketidakjujuran (dishonesty), dan kepentingan pribadi (self interest). Sejatinya, Islam sebagai agama fitrah, dapat membentuk perilaku terbaik sepanjang para penganutnya telah mengimani dan bertawakal. Bukan hanya mengaku dirinya Muslim, tetapi orang yang ber-akhak mulia juga telah mengimplementasikan keyakinannya dalam ibadah dan muamalah atau perilaku sehari-hari. Muslim yang taat akan selalu merasa diawasi Allah SWT dalam segala tindak-tanduknya, sehingga akan mempertahankan nilai-nilai baik dalam kehidupannya.
Kesimpulan
Kode etik profesi akuntan di Indonesia yang banyak mengadopsi dari kode etik profesi milik AICPA, memiliki nilai yang sama dengan akhlakul karimah dalam Islam. Persamaan tersebut tercermin dalam lima poin, yaitu kejujuran (honest), Konsistensi, Kompetensi, Akuntabilitas dan Panutan.
Apabila setiap pelaku profesi akuntan melaksanakan kode etik yang telah ditetapkan dibarengi dengan keyakinan menjalankan ajaran agama dengan benar, maka kecil kemungkinannya terjadi pelanggaran kode etik profesi, karena yang mereka takuti adalah Allah SWT, bukan sanksi pelanggaran yang ditetapkan dalam undang-undang buatan manusia.
Daftar Bacaan :
1. Raar, Jean, 2004, The Accounting Profession : A Religious and Community Platform for Change, Deakin University, Australia
2. Eldine, Achyar, Etika Bisnis Islam,
3. Praptapa, Agung, 2009, Kode Etik Profesi Akuntan Publik, Bahan Perkuliahan MAKSI dan PPAK UNSOED, Purwokerto
4. Sarjono, H.M, 2009, Kode Etik Profesi Akuntan, Artikel dalam website wongmuba.com
5. Nani, 2008, Kumpulan artikel dalam etikaprofesidanprotokoler.blogspot.com
6. Unknown, 2008, Profesional dan Etika Profesi, Artikel dalam website MESBatam.com
Nama: Mochamad Novelsyah
ReplyDeleteNIM: C4C009006
Pengungkapan Tanggung jawab Sosial (Corporate Social Responsibility)
Bagian dari Bisnis yang Beretika
oleh Mochamad Novelsyah
I. PENDAHULUAN
Konsep manajemen strategis berbasis Corporate Social Responsibility (CSR) semakin dikenal oleh para praktisi, akademisi, dan publik. Isu CSR menjadi dominan beberapa tahun ke belakang karena publik semakin peka dan kritis untuk mempertanyakan peran perusahaan dalam mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik.
Pemikiran yang melandasi Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) yang sering dianggap inti dari etika bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomi dan legal (artinya kepada pemengang saham atau shareholder) tetapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder) yang jangkauannya melebihi kewajiban-kewajiban di atas. Tanggung jawab sosial dari perusahaan terjadi antara sebuah perusahaan dengan semua stakeholder, termasuk di dalamnya adalah pelanggan atau customer, pegawai, komunitas, pemilik atau investor, pemerintah, supplier bahkan juga competitor (Nurlela dan Islahudin, 2008).
Pergeseran nilai perusahaan semakin dirasakan dengan adanya CSR, dari yang sebelumnya perusahaan hanya berorientasi pada kepentingan pemilik saham (maksimalisasi laba), menjadi perusahaan yang berorientasi pada kepentingan stakeholder. Secara teori, pergeseran ini memungkinkan terjadi.
Akuntansi menyebutkan bahwa ada 4 teori ekuitas, yang terdiri atas proprietorship theory, entity theory, enterprise theory, dan fund theory. Pertama, proprietorship theory memandang bahwa pemilik perusahaan sekaligus yang menjalankan operasional perusahaan, hal ini sesuai dengan karakter perusahaan perorangan. Kedua, entity theory menjelaskan bahwa dalam perusahaan terdiri atas entitas-entitas yang berbeda yaitu pengelola/manajemen (agent) dengan pemilik/pemegang saham (principal). Ketiga enterprise theory, teori ini yang lebih sesuai dengan penerapan CSR karena teori ini melihat perusahaan sebagai entitas yang memiliki pengaruh kepada semua pihak yang berkepentingan. Jadi setiap tindakan yang diambil perusahaan sebisa mungkin memberi implikasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Keempat, fund theory penerapan teori ini sering dikaitkan sistem keuangan pemerintah pusat dan daerah yang menggunakan dana sebagai ekuitas pada Neraca APBN dan APBD.
Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)
CSR atau tanggung jawab sosial yaitu merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan (Hackston dan Milne, 1996). Jadi dalam hal ini, tanggung jawab perusahaan bertambah semakin luas, selain memperoleh profit untuk kepentingan investor dan kreditur. Perusahaan juga memiliki tanggung jawab untuk memberi implikasi positif bagi lingkungan masyarakat. Tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri dapat digambarkan sebagai ketersediaan informasi keuangan dan non-keuangan berkaitan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Unsur tanggung jawab dan memberikan implikasi positif bagi stakeholder merupakan bagian dari praktik bisnis yang beretika, karena perusahaan tidak hanya mengeksploitasi sumber daya melainkan juga memberikan sumbangsih bagi perbaikan masyarakat dan lingkungan dalam koridor pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sambutan positif diberikan pemerintah Indonesia karena pada tanggal 20 Juli 2007 ditetapkannnya UU Penerapan CSR bagi perusahaan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Adanya peraturan ini disambut pro-kontra, pihak kontra menyatakan bahwa penerapan CSR hanya akan menambah biaya operasional, tapi mau tidak mau harus dilakukan jika tidak ingin kena sanksi. Sedangkan pihak pro, menjelaskan bahwa memang sudah seharusnya perusahaan melakukan CSR sebagai kewajiban tanpa harus dibuatkan peraturan, seperti halnya yang terjadi di luar negeri. Hal ini memperlihatkan bahwa ada beberapa komunitas bisnis Indonesia yang masih belum yakin bahwa aktivitas CSR akan memberikan dampak positif bagi tujuan perusahaan secara utuh.
Sebenarnya tindakan CSR bisa digunakan sebagai kendaraan untuk memasarkan produk. Sebagai contohnya Unilever yang mengadakan gerakan Cuci Tangan bagi siswa-siswa Sekolah Dasar di beberapa kota, secara tidak langsung membawa brand Lifebuoy dalam kegiatan tersebut.
Selain sebagai instrumen pemasaran, CSR juga dapat berperan sebagai media pencitraan positif terhadap perusahaan. Bagi perusahaan rokok seperti Djarum dan Sampoerna, image sebagai biang pengganggu kesehatan masyarakat tidak dapat dielakkan. Namun dengan kegiatan beasiswa yang diberikan oleh Djarum, dan Sampoerna yang merintis scholarship foundation, maka seolah ada keseimbangan antara evil side dengan angel side. Itulah upaya perbaikan citra yang ingin dicapai.
II. PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan CSR
Dunia bisnis pastinya sangat peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungan sekitar. Siapa yang tanggap, maka akan mendapat keuntungan atas perubahan tersebut. CSR sebagai salah satu metode manajemen strategis juga merupakan hasil dari perubahan lingkungan bisnis. Oleh karena itu, CSR tidak lepas dari variabel-variabel yang mempengaruhinya.
Beberapa penelitian menyebutkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pengungkapan atas penerapan tanggung jawab sosial diantaranya; ukuran (size), profitabilitas, profile, ukuran dewan komisaris, leverage (Sembiring, 2005). Anggraini (2006) juga menduga bahwa faktor-faktor kepemilikan manajemen, financial leverage, biaya politis karena ukuran (size), dan tingkat profitabilitas berpengaruh terhadap pengungkapan informasi sosial yang dalam hal ini adalah CSR.
1. Ukuran (size) perusahaan
Perusahaan yang besar cenderung mempunyai biaya politis yang besar dibandingkan perusahaan kecil. Perusahaan besar cenderung akan memberikan informasi laba sekarang lebih rendah dibandingkan perusahaan kecil, sehingga perusahaan besar cenderung akan mengeluarkan biaya untuk pengungkapan informasi sosial yang lebih besar dibandingkan perusahaan kecil. Perusahaan yang termasuk dalam industri yang high-profile akan memberikan informasi sosial lebih banyak dibandingkan perusahaan yang low-profile. Roberts (1992) dalam Hackston & Milne (1996) mendefinisikan industri yang high-profile adalah industri yang memiliki visibilitas konsumen, risiko politis yang tinggi, atau menghadapi persaingan yang tinggi.
2. Profitabilitas
Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham. Dengan kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial) menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan menjadi profitable.
3. Financial leverage
Semakin tinggi tingkat leverage (rasio utang/ekuitas), maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih. Ini sebagai konsekuensi, bahwa tingginya leverage membuat perusahaan lebih mengutamakan kepentingan kreditur. Supaya laba yang dilaporkan tinggi maka manajer harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi sosial).
4. Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan institusi yang memiliki kewenangan untuk pengawasan terhadap manajemen. Maka diduga semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan monitoring yang dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk mengungkapkannya.
5. Struktur Kepemilikan
Agency theory membawa pada 2 arus besar kepentingan yaitu kepentingan manajerial (manajemen) dan pemilik (shareholder). Konflik kepentingan menjadi semakin besar ketika struktur kepemilikan manajer terhadap perusahaan semakin kecil. Dalam hal ini manajer akan berusaha untuk memaksimalkan kepentingan dirinya dibandingkan kepentingan perusahaan. Sebaliknya semakin besar kepemilikan manajer di dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan, dengan kata lain biaya kontrak dan pengawasan menjadi rendah karena ada rasa memiliki (sense of belonging) dari pihak manajerial. Manajemen perusahaan akan berupaya mengungkapkan informasi sosial dalam rangka untuk meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengalokasikan sumber daya untuk aktivitas tersebut.
B. Bagaimana peran CSR dalam memberikan Benefit bagi Perusahaan
Setelah membahas faktor-faktor yang mempengaruhi adanya pengungkapan tanggung jawab sosial. Pertanyaan selanjutnya yaitu, bagaimana pengungkapan informasi atas pelaksanaan tanggung jawab sosial (CSR) memberi kontribusi atau benefit bagi perusahaan..
Kontribusi dalam konteks perbaikan merupakan perubahan nilai perusahaan ke arah yang lebih baik. Nurlela dan Islahudin (2008) melalui penelitiannya mencoba menjelaskan pengaruh tanggung jawab sosial terhadap nilai perusahaan.
Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar. Firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Dengan kata lain, nilai perusahaan yaitu potensi nilai yang akan dibeli oleh investor. Untuk memiliki nilai yang tinggi sebuah perusahaan sudah sepatutnya memiliki track record kinerja yang jelas.
Dugaan peneliti melalui hipotesanya bahwa CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan ternyata belum terbukti, hal ini karena tidak ada signifikansi pengaruh CSR terhadap nilai perusahaan. Kemungkinan penolakan hipotesa tersebut karena indikator nilai perusahaan adalah nilai ekuitas yang merupakan representasi dari historical result, sehingga nilai perusahaan dalam waktu mendatang belum dapat diketahui.
III. KESIMPULAN
Kondisi keuangan bukan satu-satunya indikator yang dapat merefleksikan kinerja perusahaan, apalagi bila kita melihat profitabilitas sebagai hasil catatan masa lalu. Ada indikator yang dapat merefleksikan nilai perusahaan pada kondisi yang akan datang yang tidak dapat diukur secara nominal, seperti brand image, loyalitas customer, simpati publik, dan sebagainya.
Indikator non-moneter tersebut bisa diperoleh dengan cara membangun kredibilitas perusahaan melalui bisnis yang beretika. CSR sebagai implementasi bisnis yang beretika diharapkan membawa kepentingan semua pihak untuk keberlanjutan akan masa depan. Hasil benih kebaikan tidak selalu diperoleh pada saat sekarang, namun pasti akan membawa manfaat dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Retno Reni. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.
Hackston, David and Milne, Marcus J., (1996). “Some Determinants Of Social And Environmental Disclosures In New Zealand Companies”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 9, No. 1, pp. 77-10.
Nurlela, Rika dan Islahudin. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi 11 Pontianak.
Sembiring, Edy Rismanda. 2005. Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial: Study Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo.
NAMA : AGUSTIN
ReplyDeleteNIM : P2CD008018
ATURAN ETIKA UNTUK MENINGKATKAN PROFESIONALISME AKUNTAN PUBLIK
PENDAHULUAN
Etika merupakan kebutuhan penting bagi semua profesi yang ada agar tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari hukum. Salah satunya adalah profesi akuntan yang dituntut untuk berperilaku etis dan juga untuk menjadi Information Professional, yang tidak hanya bertindak sesuai dengan moral dan nilai-nilai yang berlaku akan tetapi juga menghasilkan “informasi” yang berguna bagi pengambil keputusan. Dalam hal ini akuntan publik harus dapat menunjukkan bahwa jasa audit yang diberikan adalah berkualitas dan dapat dipercaya, karena profesi akuntan publik memiliki peran penting untuk memberikan informasi (financial maupun non financial) yang dapat diandalkan, dipercaya, dan memenuhi kebutuhan pengguna jasa akuntan publik dalam dunia usaha yang semakin kompetitif.
Akuntan publik akan mengaudit laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan untuk menentukan kewajarannya. Laporan keuangan yang telah diaudit ini akan menjadi dasar dalam pengambilan keputusan oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan seperti, Bapepam, investor, bank, kreditor, pemerintah, karyawan, dan manajemen perusahaan itu sendiri. Informasi-informasi yang dihasilkan oleh akuntan publik akan bermanfaat jika akuntan pulik mampu mengendalikan mutu pemeriksaan, bertindak profesional, dan memberikan jasa yang terbaik bagi kliennya. Oleh karena itu, akuntan publik harus menaati standar profesional, yaitu Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik, dan menghayati serta mengamalkan kode etik profesional dalam setiap penugasan audit atau jasa lainnya. Dengan demikian, akuntan publik dapat memberikan jasa yang berkualitas, mendapat kepercayaan publik, dan dapat memenuhi komitmen profesionalnya. Agar akuntan publik dapat memenuhi tanggungjawab profesional kepada masyarakat, klien, rekan seprofesi maupun dalam menghadapi persaingan ketat dalam era globalisasi, akuntan publik harus melakukan upaya untuk mempertahankan kualitas penugasan audit dengan meningkatkan profesionalisme kompartemen akuntan publik.
Profesi akuntan publik dihadapkan pada sejumlah tantangan yang harus dijawab dengan nyata dan sedini mungkin. Banyak pihak mengkhawatirkan bahkan memandang dengan sangat pesimis tentang keberhasilan akuntan lokal untuk bersaing dengan akuntan asing pada mas perdagangan bebas. Kekhawatiran ini apabita dikaji ulang memang sangat beralasan bila dilihat dari berbagai sudut, antara lain : profesionalisme akuntan publik, knowledge atau ilmu pengetahuan di bidang akuntansi, pelaksanaan kode etik atau aturan etika yang berlaku, dan keahlian.
Saat ini profesionalisme akuntan publik memang banyak dipertanyakan oleh berbagai pihak, apalagi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia sehingga akuntan publik perlu menunjukkan bahwa dirinya adalah akuntan publik yang profesional.
PEMBAHASAN
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan kebaikan maka etika bertindak sebagai rambu-rambu yang merupakan kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Akuntan publik juga harus memiliki etika seperti yang tercantum dalam kode etik profesi akuntan publik.. Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan. Dalam menciptakan etika, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah :
1. Pengendalian diri
Artinya, akuntan publik dan pelaku-pelaku bisnis serta pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun.
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Akuntan publik disini dituntut untuk peduli dengan hasil yang diperoleh, bukan hanya dalam bentuk "laporan wajar", melainkan lebih kompleks lagi. Artinya seorang akuntan publik harus memberikan hasil laporan yang sesuai dengan kondisi klien yang diaudit karena hasil dari laporan audit ini dipergunakan untuk kepentiingan umum.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika akuntan publik anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi seorang akuntan dan tidak kehilangan budaya yang dimilikinya akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau seorang akuntan publik dalam mengaudit didihasilan laporan yang memang tidak wajar karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
5. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
Kode Etik Profesional
Etika profesional dikeluarkan oleh organisasi untuk mengatur perilaku anggotanya dalam menjalankan praktek profesinya bagi masyarakat. Etika profesional bagi praktek akuntan di Indonesia disebut dengan istilah kode etik dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia sebagai organisasi profesi akuntan. Etika profesional merupakan prinsip moral yang menunjukan perilaku yang baik dan yang buruk yang bersangkutan dengan suatu profesi. Etika profesi berkaitan dengan independensi, disiplin pribadi dan integritas moral profesional
Dalam kode etik akuntan indonesia, kode etik profesional didefinisikan ”Pedoman bagi para anggota ikatan akuntansi indonesia untuk bertugas secara bertanggung jawab dan objektif.”
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kode etik profesional adalah pernyataan pernyataan yang digunakan sabagai panduan perilaku dalam melaksanakan tanggung jawab profesionalnya.
Etika Profesional Profesi Akuntan Publik
Setiap profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari Prinsip Etika yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Dalam konggresnya tahun 1973, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk pertama kalinya menetapkan kode etik bagi profesi akuntan Indonesia, kemudian disempurnakan dalam konggres IAI tahun 1981, 1986,1994, dan terakhir tahun 1998. Etika profesional yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dalam kongresnya tahun 1998 diberi nama Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia.
Akuntan publik adalah akuntan yang berpraktik dalam kantor akuntan publik, yang menyediakan berbagai jenis jasa yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik, yaitu auditing, atestasi, akuntansi dan review, dan jasa konsultansi. Auditor independen adalah akuntan publik yang melaksanakan penugasan audit atas laporan keuangan historis yang menyediakan jasa audit atas dasar standar auditing yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dijabarkan ke dalam Etika Kompartemen Akuntan Publik untuk mengatur perilaku akuntan yang menjadi anggota IAI yang berpraktik dalam profesi akuntan publik.
Kode Etik IAI dibagi menjadi empat bagian berikut ini. (1) Prinsip Etika, (2) Aturan Etika, (3) Interpretasi Aturan Etika, dan (4) Tanya dan Jawab.
Prinsip etika profesi dalam IAI adalah : Tanggung jawab profesional, kepentingan publik, integritas, objektibitas, kompetensi dan kehati hatian dalam profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, standar teknis, harus melaksanakan pekerjaan sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang telah ditetapkan.
Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik terdiri dari berikut ini.
100 Independensi, Integritas dan Objektivitas, 200 Standar Umum dan Prinsip Akuntansi, 300 Tanggung Jawab kepada Klien, 400 Tanggung Jawab kepada, Rekan Seprofesi, 500 Tanggung Jawab dan Praktik Lain.
Independensi.
Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus selalu mempertahankan sikap mental independen di dalam memberikan jasa profesional sebagaimana diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI. Sikap mental independen tersebut harus meliputi independen dalam fakta (in facts) maupun dalam penampilan (in appearance).
Integritas dan Objektivitas.
Dalam menjalankan tugasnya anggota KAP harus mempertahankan integritas dan objektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain.
Prinsip-Prinsip Akuntansi.
Anggota KAP tidak diperkenankan:
(1) menyatakan pendapat atau memberikan penegasan bahwa laporan keuangan atau data keuangan lain suatu entitas disajikan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum atau
(2) menyatakan bahwa ia tidak menemukan perlunya modifikasi material yang harus dilakukan terhadap laporan atau data tersebut agar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku, apabila laporan tersebut memuat penyimpangan yang berdampak material terhadap laporan atau data secara keseluruhan dari prinsip-prinsip akuntansi yang ditetapkan oleh badan pengatur standar yang ditetapkan IAI. Dalam keadaan luar biasa, laporan atau data mungkin memuat penyimpangan seperti tersebut diatas. Dalam kondisi tersebut anggota KAP dapat tetap mematuhi ketentuan dalam butir ini selama anggota KAP dapat menunjukkan bahwa laporan atau data akan menyesatkan apabila tidak memuat penyimpangan seperti itu, dengan cara mengungkapkan penyimpangan dan estimasi dampaknya (bila praktis), serta alasan mengapa kepatuhan atas prinsip akuntansi yang berlaku umum akan menghasilkan laporan yang menyesatkan.
Jika semua akuntan publik dalam pelaksanaan proses audit bersikap profesional dan mematuhi aturan etika dan standar akuntan yang diberlakukan oleh IAI maka akan kecil kemungkinan akuntan publik itu melakukan kesalahan dalam proses audit sehingga laporan yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan. Dan hal ini juga akan mencegah adanya konflik antara akuntan publik dengan kliennya.
Dari beberapa penilitian mengidentifikasikan bahwa profesionalisme dalam mendeteksi kekeliruan dan etika profesi berpengaruh positif terhadap pertimbangan tingkat materialitas atas laporan hasil audit. Semakin tinggi tingkat profesionalisme akuntan publik dan ketaatannya dengan kode etik akan semakin baik pula dalam proses audit atas laporan yang dihasilkannya.
Dalam meningkatkan kinerja KAP secara keseluruhan dengan meningkatnya profesionalisme akuntan publik akan memeberikan pengetahuan yang memadai bagi akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan kepatuhan terhadap kode etik profesi dalam pelaksanaan proses audit atas laporan keuangan akan dapat menghasilkan laporan audit yang berkualitas.
KESIMPULAN
Dengan adanya penerapan profesionalisme dan kepatuhan kode etik yang dilakukan oleh akuntan publik maka para pemakai laporan keuangan dapat mempercayai laporan keuangan yang diaudit akuntan tersebut. Akuntan publik memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan publik terhadap profesi akuntan di Indonesia
Profesionalisme merupakan kualitas diri yang harus dipertahankan seorang akuntan dalam mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan pertimbangan profesional. Untuk dapat selalu menjaga profesionalisme dan kepatuhan terhadap kode etik akuntan perlu pengembangan kualitas atau potensi diri secara emosional maupun spiritual dengan melakukan pelatihan dan penerapan standar kode etik yang berlaku.
Referensi :
1. “Analisi hubungan antara profesionalisme auditor dengan pertimbangan tingkat materialitas dalam proses pengauditan laporan keuangan” oleh Rifqi Muhamad
2. “Hubungan etika, pengalaman, ketaatan pada standar profesi dan akuntabilitas profesional (survey pada kantor akuntan publik di DKI Jakarta)” oleh Suryani Noviari, Tri Eka Merdekawati, Dharma T.E Sudarsono
3. Etika Bisnis: oleh Ritha F Dalimunthe
Nama : Mario Eduardo Wisnu Wardhana
ReplyDeleteNIM : C4C008002
PPAk
PERAN KODE ETIK TERHADAP PROFESI AKUNTAN
PENDAHULUAN
Perkembangan perekonomian dan dunia bisnis saat ini, membuat peran dari profesi akuntan semakin dibutuhkan. Namun, di balik semakin dibutuhkannya profesi akuntan, saat ini profesi akuntan sedang menghadapi sorotan tajam. Hal ini terkait dengan adanya skandal ataupun manipulasi akuntansi yang dilakukan oleh beberapa perusahaan dunia. Terkuaknya kasus manipulasi akuntansi yang dilakukan perusahaan besar seperti Enron, WorldCom, Xerox, dan Merck menyebabkan kepercayaan masyarakat dunia terhadap profesi akuntan menurun. Ditambah lagi kasus-kasus di Indonesia seperti kasus Kimia Farma, Bank Lippo dan Telkom semakin mempertanyakan kinerja dari profesi akuntan.
Turunnya kepercayaan publik atas profesi akuntan antara lain karena kasus-kasus yang telah disebutkan di atas menyeret beberapa kantor akuntan ternama di dunia. Selain itu juga karena akuntan dipercaya sebagai “gatekeepers” atau palang pintu dari pasar keuangan (Wallman:1995). Hal ini karena salah satu tugas akuntan adalah memastikan kualitas dan integritas informasi keuangan.
Lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan tidak hanya sebatas pada akuntan publik yang disebut-sebut ikut terlibat dalam beberapa kasus manipulasi akuntansi. Profesi akuntan lain yang juga dipertanyakan independensinya adalah akuntan perusahaan atau internal auditor. Terhadap kasus manipulasi akuntansi yang terjadi, peran auditor internal juga dipertanyakan karena walaupun ia bekerja di perusahaan tersebut tetapi ia juga dituntut untuk independen sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik dan profesinya (Sasongko, Basuki dan Hendaryatno: 2005).
Atas keadaan inilah diperlukan suatu kode etik sebagai panduan dan aturan terhadap seluruh anggota profesi dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya. Selain akan membentuk akuntan yang profesional, kode etik juga akan memberikan keyakinan yang tinggi terhadap masyarakat luas atas kualitas kinerja pelayanan profesi akuntan.
PEMBAHASAN
Etika merupakan refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia, dan mengenai masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma moral yang umum diterima. Dalam hal etika, sebuah profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk aturan khusus. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut, yang biasa disebut sebagai kode etik (Arleen dan Yulius : 2008). Sebagai panduan dan aturan dalam memenuhi tanggung jawab profesionalnya, profesi akuntan juga memiliki kode etik.
The American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) menetapkan prinsip-prinsip dasar etika profesi bagi seluruh anggotanya dalam suatu “Code of Professional Conduct”, yaitu:
1.Responsibilities
2.The public interests
3.Integrity
4.Objectivity and independence
5.Due care
6.Scope and nature of service
International Federation of Accountants (IFAC) juga menyusun enam prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam usaha mencapai tujuan profesi akuntansi dalam proses penyusunan kode etik, yaitu:
1.Integrity
2.Objectivity
3.Professional competence and due care
4.Confidentiality
5.Professional behaviour
6.Technical standard
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sebagai organisasi profesi akuntan Indonesia yang menampung berbagai tipe akuntan Indonesia juga menyusun kode etik bagi anggotanya. Kode Etik IAI dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota dalam pemenuhan tanggung jawab profesionalnya.
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, yaitu:
1.Kredibilitas
Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
2.Profesionalisme
Diperlukan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi.
3.Kualitas Jasa
Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
4.Kepercayaan
Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan.
Kode Etik IAI terdiri dari tiga bagian, yaitu Prinsip Etika, Aturan Etika, dan Interpretasi Aturan Etika. Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika, yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan penerapannya.
Prinsip Etika Profesi dalam Ikatan Akuntan Indonesia, meliputi:
1.Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya.
2.Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas profesionalisme.
3.Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas setinggi mungkin.
4.Obyektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.
5.Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik, legislasi dan teknik yang paling mutakhir.
6.Kerahasiaan
Setiap anggota harus, menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
7.Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
8.Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Sementara itu, bagi auditor internal, sebagai bentuk tanggung jawab kepada publik dan profesinya atas independensinya, juga memiliki kode etik profesi yang harus ditaati. Kode etik tersebut memuat standar perilaku sebagai pedoman bagi seluruh auditor internal.
Konsorsium Organisasi Profesi Auditor Internal (2004) telah menetapkan kode etik bagi para auditor internal yang terdiri dari 10 hal sebagai berikut :
1.Auditor internal harus menunjukkan kejujuran, obyektivitas dan kesanggupan dalam melaksanakan tugas dan memenuhi tanggung jawab profesinya.
2.Auditor internal harus menunjukkan loyalitas terhadap organisasinya atau terhadap pihak yang dilayani. Namun demikian, auditor internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang menyimpang atau melanggar hukum.
3.Auditor internal tidak boleh secara sadar terlibat dalam tindakan atau kegiatan yang dapat mendiskreditkan profesi audit internal atau mendiskreditkan organisasinya.
4.Auditor internal harus menahan diri dari kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan konflik dengan kepentingan organisasinya atau kegiatan-kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka, yang meragukan kemampuannya untuk dapat melaksanakan tugas dan memenuhi tanggung jawab profesinya secara obyektif.
5.Auditor internal tidak boleh menerima sesuatu dalam bentuk apapun dari karyawan, klien, pelanggan, pemasok ataupun mitra bisnis organisasinya, yang dapat atau patut diduga dapat mempengaruhi pertimbangan profesionalnya.
6.Auditor internal hanya melakukan jasa-jasa yang dapat diselesaikan dengan menggunakan kompetensi profesional yang dimilikinya.
7.Auditor internal harus mengusahakan berbagai upaya agar senantiasa memenuhi Standar Profesi Audit Internal.
8.Auditor internal harus bersikap hati-hati dan bijaksana dalam menggunakan informasi yang diperoleh dalam pelaksanaan tugasnya. Auditor internal tidak boleh menggunakan informasi rahasia (i) untuk mendapatkan keuntungan pribadi, (ii) secara melanggar hukum, (iii) yang dapat menimbulkan kerugian terhadap organisasinya.
9.Dalam melaporkan hasil pekerjaannya, auditor internal harus mengungkapkan semua fakta-fakta penting yang diketahuinya, yaitu fakta-fakta yang jika tidak diungkap dapat (i) mendistorsi laporan atas kegiatan yang direview, atau (ii) menutupi adanya praktik-praktik yang melanggar hukum.
10.Auditor internal harus senantiasa meningkatkan kompetensi serta efektivitas dan kualitas pelaksanaan tugasnya. Auditor internal wajib mengikuti pendidikan profesional berkelanjutan.
Kode etik bagi profesi akuntan memiliki peran yang sangat penting. Profesi akuntan memiliki kontrak sosial dengan masyarakat untuk menjaga kepentingannya dari berbagai tindakan yang merugikan dalam memberikan informasi dan mengujinya agar informasi yang diberikan akurat, benar dan berguna bagi pengambilan keputusan ekonomi dan bisnis. Untuk itu, maka profesi akuntan harus memiliki integritas dan kualitas pribadi yang kukuh dan memiliki etika yang baik yang dapat menjaga kepentingan publik tersebut.
Para profesi akuntan diharapkan dalam menjalankan setiap pekerjaannya diharapkan selalu berpegang pada kode etik profesi. Kode etik profesi ini diharapkan akan menjaga independensi dan profesionalisme dari profesi akuntan. Independensi dan profesionalisme yang terjadi karena ketaatan terhadap kode etik profesi, akan mengembalikan kepercayaan publik terhadap profesi akuntan.
Tidak hanya kode etik saja yang diharapkan mampu menjadi pegangan bagi para profesi akuntan. Organisasi profesi juga diharapkan ikut serta dalam mengawasi ketaatan profesi akuntan terhadap kode etik profesi. Jadi, organisasi ini diharapkan mampu melakukan tindakan apabila anggotanya tidak menaati kode etik yang bisa merusak nama baik profesi akuntan. Pemberian sanksi yang lebih berat bagi setiap anggota yang melanggar kode etik profesi juga diperlukan untuk menjaga tingkat skeptisisme profesional auditor dan kualitas audit yang dihasilkan (Ida Suraida: 2005).
KESIMPULAN
Profesi akuntan memililki kode etik profesi yang harus selalu ditaati dalam setiap pekerjaannya. Dalam kode etik tersebut tercantum mengenai apa saja yang sebaiknya dilakukan dan yang seharusnya tidak dilakukan oleh para profesi akuntan. Selain itu juga diterapkan sanksi yang jelas terhadap pelanggaran atas kode etik profesi.
Ketaatan pada kode etik profesi dapat membuat kualitas dari profesi akuntan menjadi lebih baik. Selain itu dapat juga mengembalikan kepercayaan masyarakat yang sempat kepada profesi akuntan akibat skandal-skandal perusahaan besar yang melibatkan akuntan. Tanpa etika dalam diri profesi akuntan maka akan menimbulkan bencana besar bagi ekonomi dan kemanusiaan (Sofyan Syafri: 2008).
Kita semua wajib menjaga eksistensi, mutu dan pelayanan profesi akuntan dengan selalu taat pada kode etik profesi yang berlaku. Hal ini karena profesi akuntan memiliki kontrak sosial dengan masyarakat untuk selalu memberikan informasi yang akurat, benar dan dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Jadi, dengan ketaatan pada kode etik akan menjaga eksistensi profesi akuntan dan juga menjaga kontrak sosial profesi akuntan dengan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Budi, Sasongko, Basuki dan Hendaryanto (2005), Internal Auditor dan Dilema Etika, http://theakuntan.com
Harahap, Sofyan Syafri (2008), Pentingnya Unsur Etika dalam Professi Akuntansi dan Bagaimana di Indonesia?, http://ekisonline.com
Herawaty, Arleen dan Yulius Kurnia Susanto (2008), Profesionalisme, Pengetahuan Akuntan Publik dalam Mendeteksi Kekeliruan, Etika Profesi dan Pertimbangan Tingkat Materialitas, The 2nd National Conference UKWMS, Surabaya.
Mulyadi (2002), Auditing, Salemba Empat, Jakarta.
Prima Consulting Group (2007), Standar Profesi Audit Internal, http://primaconsultinggroup.blogspot.com
Suraida, Ida (2005), Pengaruh Etika, Kompetensi, Pengalaman Audit dan Resiko Audit Terhadap Skeptisisme Profesional Auditor dan Ketepatan Pemberian Opini Akuntan Publik, Sosiohumaniora Vol. 7 No. 3.
Wallman, Steven (1995), The Future of Accounting and Disclosure in an Evolving World: The Need for Dramatic Change, Accounting Horizons, United States.
NAMA : HIJROH ROKHAYATI
ReplyDeleteNIM :P2CD08016
TEMA PAPER: ETIKA PROFESI DALAM PENERAPAN EARNING MANAJEMEN
ETIKA PROFESI DALAM PENERAPAN EARNING MANAJEMEN
I. PENDAHULUAN
Teory agency mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer sebagai agen dan pemilik (dalam hal ini adalah pemegang saham) sebagai prinsipal. Pemilik memberikan tugas kepada manajemen untuk menjalankan perusahaan dengan kewajiban memberikan pertanggung jawaban dalam bentuk Laporan Keuangan secara periodik. Sedangkan menajemen berkepentingan untuk mendapatkan kinerja yang baik dihadapan pemilik, dengan secara mudah dapat dilihat dari pencapaian finacial dalam Laporan Keuangan. Laporan keuangan merupakan tanggung jawab manajemen untuk menerbitkan informasi dalam pengambilan keputusan oleh pihak yang membutuhkan. Dalam teory keagenan ini akan muncul asimnetri informasi. Asimetri informasi muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. dikaitkan dengan peningkatan nilai perusahaan, ketika terdapat asimetri informasi, manajer dapat memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada investor guna memaksimisasi nilai saham perusahaan. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan (disclosure) informasi akuntansi. Masing - masing pihak akan mementingkan keuntungan sendiri, hal ini membawa dampak banyak ditemukannya skandal yang mempertaruhkan profesionalisme dari seorang akuntan, khususnya dalam memberikan informasi laporan keuangan kepada pihak umum. Akuntan seharusnya menjadi profesi yang diharapkan oleh masyarakat untuk dapat memberikan informasi yang benar dan akurat, yang akan digunakan untuk mengambil keputusan. Namun terlepas dari profesi, seorang berprofesi apapun akan mempunyai kepentingan pribadi untuk dapat menguntungkan diri sendiri, dengan kata lain akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang serakah. Dalam sejarah kita mengenal kode etika profesi dalam berbagai bentuk, dalam zaman modern ini banyak etika profesi yang mengikat suatu pekerajaan.
Fenomena dalam bidang akuntansi yang terjadi dalam dunia bisnis adalah adanya praktik manajemen laba, hal ini tidak terlepas dari upaya manajemen untuk dapat memperlihatkan kinerja yang baik kepada pemilik. Penilaian kinerja yang baik bagi manajemen digunakan sebagai tolok ukur dalam menetukan bonus bagi pihak manajemen. Laba merupakan acuan kinerja manajemen, maka manajemen akan berusaha untuk melakukan praktik yang dapat memperlihatkan laba meningkat dalam periode yang bersangkutan, hal ini yang dinamakan manajemen laba. Secara implisit dapat dilihat bahwa ada motif tertentu dari manajemen dalam membuat laporan keuangan, yang tidak lain adalah keuntungan yang diharapakan atas laporan keuangan yang dibuat oleh pihak manajemen. Jika ditinjau dari sudut etika bisnis, perilaku manajemen dalam melakukan praktik manajemen laba dapat dikatakan tidak sesuai etika bisnis jika manajemen melakukan praktik manajemen laba tidak sesuai dengan standar yang ada, jadi jika dalam pembuatan laporan keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan maka manajemen tidak melanggar etika, karena hal ini sudah diatur sesuai standar yang ada. Namun praktik manajemen laba dapat diminimalisasi dengan adanya Good Corporate Governance, yang mensyaratkan suatu pengelolaan perusahaan yang baik secara singkat, ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep Good Corporate Governance ini, yaitu independency, transparancy, accountability, dan responsibility.
II. PEMBAHASAN
Skandal besar yang terjadi dalam dunia akuntasi diakibatkan karena tidak diterapkannya konsep etika dalam menjalankan profesi. Hal ini sangat merugikan masyarakat umum, dikarenakan akuntan telah dianggap sebagai profesi yang independen dalam menjalankan tugasnya. Secara normatif akuntan merupakan pihak yang dapat memberikan penilaian atas laporan keuangan yang dibuat oleh manajemen. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan bersifat umum , yang dapat digunakan untuk berbagai pihak dalam mengambil keputusan, adapaun pengguna laporan keuangan adalah investor, pemberi kredit, karyawan, pemerintah dan banyak pihak lain yang sangat membutuhkan informasi akan laporan keuangan tersebut.
A. TERORI ETIKA
Secara konkret teori etika terfokus pada perbuatan, jika kita berbicara baik disini adalah baik menurut moral. Teori etika memberikan kerangka yang memungkinkan kita memastikan benar atau tidaknya keputusan moral kita, dengan teori etika keputusan moral yang diambil bisa menjadi beralasan, menyediakan justifikasi untuk keputusan kita. Teori dalam etika bisnis:
1. Utilitarisme.
Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu bukan hanya satu atau dua orang melainkan masyarakat secara keseluruhan. Dapat dipahami jika utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik buruknya, kualitas baik buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Utilitarisme disebut juga teori teleogis( tujuan) , menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Ada dua jenis yaitu utilitarisme perbuatan (act utilitarism) dan utilitarisme aturan(rule utilitarism),
2. Deontologi
Jika utilitarisme menggantungkan moralitas pada perbuatan pada konsekuensinya deontologi melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan. Yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Konsekuensi perbuatan dalam hal ini tidak boleh menjadi pertimbangkan. Perbuatan tidak akan menjadi baik karena hasinya baik, melainkan hanya karena wajib dilakukan. Karena itu bisa dimengerti bahwa deontologi selalu menekankanpada perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya.
3. Teori hak
Teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi , karena hak berkaitan dengan kewajiban. Hak didasrkan atas martabat manusia dan semua manusia itu sama.
4. Teori keutamaan
Teori tipe ini adalah teori keutamaan yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Keutamaan didefinisikan sebagai disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Diantara keutamaan yang harus menandai pebisnis perorangan bisa disebut:, kejujuran, fairness, kepercayaan dan keuletan.
B. ETIKA PROFESI AKUNTANSI
Kode etik Akuntan menurut International Federation of Accountants(IFAC), Akuntan profesional diharuskan untuk mematuhi prisni-prinsip fundamental berikut:
a. Integritas, Akuntan profesional harus bersifat Jujur dalam semua hubungan profesional dan bisnis.
b. Objektivitas, Akuntan profesional tidak boleh membiarkan hal-hal yang bisa terjadi, tidak boleh membiarkan terjadinya benturan kepentingan atau tidak boleh mempengaruhi pihak lainnya secara tidak pantas yang dapat mengesampingkan pertimbangan profesional atau pertimbangan bisnis
c. Kompetensi dan sikap kehati-hatian profesional , Akuntan profesional memiliki kewajiban yang berkesinambungan untuk memelihara pengetahuan dan keahlian profesional pad tingkat dimana klien atau pemberi pekerja menerima jasa profesional yang kompeten yang didasarkan pada pelatihan perundang-undangan.
d. Kerahasiaan, Akuntan profesional harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh sebagai hasil dari hubungan profesional dan hubungan bisnis, dan tidak boleh mengungkapkan informasi apapun lepada pihak ketiga tanpa adanay aijin yang tepat dan spesifik keculai terdapat hak profesional untuk mengungkapkan.
e. Sikap Profesional, Akuntan profesional harus mematuhi hukum dan perundang-undangan yang relevan dan harus menghindari semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
Profesional sudah menjadi hal yang sangat penting untuk profesi akuntan karena hal ini menunjukkan kinerja seorang akuntan. Hastuti, dkk(2003) menyatakan bahwa profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai akuntan publik . Profesionalisme digambarkan dalam lima hal yaitu:pertama, pengabdian terhadap profesi dicerminkan dari dedikasi dengan menggunakan pengetahuan dankecakapan yang dimiliki serta keteguhan untuk tetep melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan instrinsik kurang. Kedua, kewajiban sosial adalah suatu padangan tentang pentingnya peranan profesi sera manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun kalangan profesional lainnya karena adanya pekerjaan tersebut.
Ketiga, kemandirian dimaksudkan sebagai suatu padangan bahwa seorang yang profesional harus membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain.Keempat, keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai apakah suatu pekerjaan yang dilakukan profesioanl atau tidak adalah rekan sesama profesi, bukan pihak luar yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan tertentu. Kelima, hubungan sesama profesi adalah dengan menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam melaksanakan pekerjaan.
C. EARNING MANAJEMEN
Scott(2000), Earning manajement is the choice by a manager of accounting policies so as to achieve some spesific objective. Earning manajemen dapat diartikan sebagai cara dari manajemen yang legal untuk dapat melaporakan kondisi yang stabil tentang keuangan perusahaan dimasa depan. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi manajemen laba. Watt dan Zimmerman (1990) membagi motivasi manajemen laba menjadi tiga, yaitu bonus plan hypothesis, debt to equity hypothesis, dan political cost hypothesis. Hipotesis bonus plan menyatakan bahwa manajer pada perusahaan dengan bonus plan cenderung untuk menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan income saat ini. Debt to equity hypothesis menyebutkan bahwa pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity besar maka manajer perusahaan tersebut cenderung menggunakan metode akuntansi yang akan meningkatkan pendapatan maupun laba. Adapun political cost hypothesis menyatakan bahwa perusahaan yang besar, yang kegiatan operasinya menyentuh sebagian besar masyarakat akan cenderung untuk mengurangi laba yang dilaporkan. Earning manajemen dapat dilakukan oleh manajemen melalui cara pemilihan metode akuntansi sesuai Standar Akuntansi Keuangan atau dengan cara melakukan kebijakan operasional perusahaan yang berorinetasi pada laba.
D. COORPORATE GOVERNANCE
Isu Corporate Governance merupakan implikasi dari adanya konflik agency, yang menyatakan bahwa antara principal dan agen memiliki perbedaan kepentingan dan adanya corporate governance untuk meminimalkan konflik keagenan tersebut.. Mekanisme corporate governance meliputi : pertama transparansi (transparancy) diartikan sebagai keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan. Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pertanggungjawaban bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif. Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat. Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun. Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stake holder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Corporate governance merupakan suatu konsepsi yang secara riil dijabarkan dalam bentuk ketentuan/peraturan yang dibuat oleh lembaga otoritas, norma-norma dan etika yang dikembangkan oleh asosiasi industri dan diadobsi oleh pelaku industri, serta lembaga-lembaga yang terkait dengan tugas dan peran yang jelas untuk mendorong disiplin, mengatasi dampak moral hazard, dan melaksanakan fungsi check and balance. Konsep Indikator mekanisme Corporate governance terdiri dari: kepemilikan institutional, kepemilikan manajerial, prororsi dewan komisaris independen dan ukuran dewan komisaris. Hasil dari penelitian sebelumnya oleh Theresia (2005), menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengungkapan laporan keuangan dan kinerja perusahaan yang berarti mendukung konsep good corporate governance bahwa untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang baik dalam pengelolaan perusahaan harus menerapkan pilar-pilar good corporate governance. Bambang Agus Pramuka (2007), pada penelitiannya menyimpulkan bahwa proporsi dewan komisaris berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Gideon (2005), dalam penelitianya menyimpulkan bahwa pengaruh corporate governance dan manajemen laba secara bersama-sama terhadap kualitas laba , teruji dengan tingkat pengaruh yang cukup kuat.
III. KESIMPULAN
Konsekuensi dari teori keagenan dalam bisnis, adalah adanya perilaku manajemen yang berusaha untuk dapat memakmurkan diri sendiri, dengan cara mendapatkan bonus dengan dasar pencapaian laba yang baik, hal ini dilakukan dengan cara earning manajemen . Earning manajemen diperbolehkan dengan cara pemilihan metode akuntansi yang sesuai dengan SAK atau dengan kebijakan opersional perusahaan,namun hal ini akan terkontrol dan dapat dilaksanakan sesuai dengan etika dan aturan yang ada, jika dari berbagai pihak menerpakan etika profesi dalam diri individu. Penenerapan Good Coorporate Governance yang baik akan menjadikan penerapaan earning manajemen dapat terkontrol dengan baik, hal ini dikarenakan terdapat dewan komisaris dan direksi yang akan melakukan evaluasi atas kinerja dari manajemen. Pada akhirnnya profesi akuntan akan terjaga kompetensi, independensi, dan profesionalisme jika tiap individu menerapan etika bisnis atau moral yang baik .
DAFTAR PUSAKA:
Agus Pramuka, Bambang. 2007. Mekanisme Corporate Governance, manajemen laba dan kinerja keuangan . Simposium Nasional Akuntansi X., Makasar.
Ari Gumanti, Tatang. 2000. Earning Manajemen: Suatu telaah pustaka. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Vol 2 No 2.
Belkoui, Ahmed. 2007. Teori Akuntansi. Salemba empat, Jakarta, Edisi V.
Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis, Kanisius Yogayakata
Budiwitjaksono, Gideon,S.2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan dampak manajemen laba dengan menggunakan analisis jalur. Simposium Nasional Akuntansi VIII.,Solo.
Dwi Hastuti, Theresia. 2005. Hubungan antara Good Corporate Governance dan struktur kepemilikan dengan Kinerja Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi VIII,. Solo.
Guntur Komenaung, Anderson. Etika dalam bisnis.
Harahap, S. Sofyan. 2008. Pentingnya unsur etika dalam Profesi Akuntan dan Bagaimana di Indonesia.
Herawati, Arleen. 2008. Profesionalisme, Pengetahuan Akuntan Publik dalam Mendeteksi Kekeliruan, Etika Profesi dan Pertimbangan tingkat Materialitas. Surabaya.
Nuryaman. 2008. Pengaruh konsentrasi kepemilikan, ukuran perusahaan, dan mekanisme good corporate governance terhadap manajemen laba. Simposium Nasional Akuntansi XI. Ikatan Akuntan Indonesia.
Rahmawati. 2005. Pengaruh asimetri informasi terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan perbankan pubik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simpsium Nasional Akuntansi IX. Ikatan Akuntan Indonesia.
Scott, William R. (2000). Financial Accounting Theory. Second edition. Canada: Prentice Hall.
Suwardjono. 2008. Teori Akuntansi. BPFE Yogyakarta
Ujiyantho, Arief. 2005. Asimetri informasi dan manajemen laba: suatu tinjauan dalam hubungan keagenan.
Umam Kotibul. Implementasi prinsip Good Corporate Governance sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah.
Veronica N.P Siregar, Sylvia dan Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktik Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba. Simpsium Nasional Akuntansi VIII. Ikatan Akuntan Indonesia.
Watts, Ross L. dan Jerold L. Zimmerman. (1990). The Accounting Review , Vol 65, No. 1.
Tugas Mata Kuliah Etika Bisnis
ReplyDeleteNama : Enie Kussetiyaningsih
NIM : P2C0D008002
KUALITAS ATAU MUTU AUDIT DALAM MENJALANKAN PROFESI SEBAGAI AKUNTAN PUBLIK YANG KOMPETEN DAN INDEPENDEN
Pendahuluan
Profesi Akuntan timbul sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hokum perusahaan suatu negara. Jika perusahaan-perusahaan yang berkembang dalam suatu negara masih berskala kecil dan masih menggunakan modal pemiliknya sendiri untuk membelanjai usahanya, jasa audit yang dihasilkan oleh profesi Akuntan Publik belum diperlukan oleh perusahaan tersebut Begitu juga jika sebagian besar perusahaan berbadan hokum selain Perseroan Terbatas (PT) yang bersifat terbuka, di negara tersebut jasa audit profesi Akuntan Publik belum diperlukan oleh masyarakat usaha.
Dalam perkembangan usahanya, baik usaha perseorangan maupun berbagai perusahaan berbentuk badan hokum yang lain tidak dapat dihindarkan diri dari penarikan dana dari pihak luar, yang tidak selalu dalam bentuk penyertaan modal investor, tetapi berupa penarikan pinjaman dari kreditur. Dengan demikian, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan perusahaan tidak hanya terbatas pada pimpinan perusahaan atau manajemen tetapi meluas kepada para investor dan calon kreditur. Pihak-pihak diluar perusahaan memerlukan info mengenai perusahaan untuk mengambil keputusan tentang hubungan mereka dengan perusahaan. Umumnya mereka mendasarkan keputusan mereka berdasarkan informasi yang disajikan oleh manajemen dalam laporan Keuangan Perusahaan. Dengan adanya dua kepentingan yang berbeda antara pihak manajemen dan pemakai laporan keuangan maka menyebabkan timbulnya dan berkembanganya profesi Akuntan Publik. Akuntan Publik sebagai pihak ketiga haruslah kompeten dan independen dalam melaksanakan tugasnya sebagai auditor. Hal inilah yang menentukan kualitas mutu dari seorang auditor sebagai Akuntan Publik. Selain perbedaan kepentingan antara pihak manajemen dan pemakai Laporan Keuangan, terdapat hal lain yang menyebabkan laporan keuangan perlu diaudit, hal tersebut adalah (1) informasi laporan keuangan memiliki konsekuensi ekonomis yang subtansial dalam pengambilan keputusan, (2) sebuah keahlian sering diperlukan dalam penyusunan dan verivikasi informasi dalam laporan keuangan, (3) pemakai Laporan Keuangan tidak bisa memverivikasi tentang kualita informasi Laporan Keuangan (Taylor 1997).
Akuntan public dalam melaksanakan tugasnya sebagai auditor, sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Profrsi Akuntan Publik. Standar auditing yang ada meliputi (1) standar umum, (2) standar pekerjaan lapangan , dan (3) standar pelaporan. Standar umum bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan auditor dan mutu pekerjaannya, standar yang pertama biasanya ditafsirkan sebagai keharusan bagi seorang auditor untuk memiliki latar belakang pendidikan formal auditing dan akuntansi. Standar pekerjaan berkaitan dengan kriteria dan ukuran mutu kinerja Akuntan Publik dalam melakukan pekerjaan lapangan, standar ini berkaitan dengan pengumpulan data dan kegiatan lain yang dilaksanakan selama audit. Standar pelaporan berkaitan dengan criteria dan ukuran mutu kinerja akuntan public dalam melakuka pelaporan, dalam standar pelaporan mewajibkanan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan keuangan yang diaudit secara keseluruhan termasuk pengungkapan informative yang diperlukan. (IAI 2001).
Pada auditnya akuntan public menilai apakah penyusunan laporan keuangan yang dilakukan menajemen sudah sesuai dengan ketentuan dan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Dan akuntan publik memberikan pendapat akuntan atas kewajaran laporan keuangan.
Manajemen atau klien akan puas jika audit yang dilakukan oleh akuntan public memiliki kualitas yang baik sehingga mutu dari akuntan publik bisa bermanfaat oleh manajemen dalam pengambilan keputusan. Mutu atau kualitas akuntan publik yang sangat memperngaruhi terhadap kepuasan manajemen atau klien ada tujuh kategori. Yaitu (1) pengalaman melakukan audit , (2) memahami industri klien, (3) responsive terhadap kebutuhan klien, (4) pemeriksaan sesuai dengan standar umum audit, (5) komitmen kuat terhadap terhadap kualitas audit, (6) keterlibatan pimpinan audit tehadap pemeriksaan dan (7) melakukan pekerjaan lapangan yang tepat. (Widagdo dkk 2002)
Dalam result penelitian ini menunjukkan manajemen memiliki harapan atas kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan publik. Klien akan puas dengan pekerjaan akuntan public jika akuntan memiliki pengalaman melakukan audit, responsive melakukan pekerjaan dengan tepat dan akurat. Kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keuangan auditan dan jasa yang diberikan akuntan publik yang pada akjhirnya mengharuskan akuntan public memperhatikan kualitas audit yang dilakukan. Mengenai pertanyaan tentang kualitas audit yang dilakukan akuntan public oleh masyarakat bertambah besar setelah terjadi banyak skandal yang melibatkan akuntan publik baik diluar negeri maupun didalam negeri.
Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompten dan independen. Kompeten berkaitan dengan pendidikan dan pengalaman yang memadai yang dimiliki akuntan public dalam bidang auditing dan akuntansi. Dalam melakukan audit akuntan public harus bertindak sebagai seorang yang ahli dibidang akuntansi dan auditing. Akuntan public harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Asisten yunior yang mencapai kompetensinya harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendaptkan supervise memadai dan review atas pekerjaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman. Akuntan pbulik harus secara terus menerus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya. Akuntan public harus mempelajari, memahami dam menerapkan ketentuan – ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
Independensi ditekankan oleh adanya suatu kode etik akuntan dan pernyataan standar auditing. Independen berarti seorang Akuntan publik tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksankan pekerjaab untuk kepentingan public. Akuntan public tidak diperkenankan memihak kepentingan siapapun. Auditor berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lainyang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan public. Sikap mental independent tersebut meliputi independent dalm fakta maupun dalam penampilan. Tudingan pelanggaraan independent dalam penampilan sering terjadi, setidaknya terdapat dua hal penyebab pelanggaran ini, yaitu : pertama kantor akuntan public melakukan multi service pada klien yang sama dan kedua tidak ada batasan lamanya kantor akuntan public yang sama melakukan audit pada klien yang sama.
Pembahasan :
Sebuah studi yang merupakan proyek bersama antara American Accounting Association, AICPA, Institute of Mangement Accountants, Arthur Andersen, Doloite & Touche, Ernst & Young, KPMG dan PricewaterCoopers mengidentifikasikan bahwa profesi akuntansi menghadapi suatu masalah untuk mendapatkan high-quality professional employees. Studi ini melaporkan bahwa setiap tahun lulusan akuntansi menurun sekitar 25% dari tahun 1995-1996 sampai dengan 1998-1999. Selain itu, 80% pendidik dan 46% praktisi percaya bahwa mahasiswa akuntansi menurun kualitasnya. Penurunan ini menurut mereka disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) relative lebih rendah gaji awal lulusan akuntansi disbanding disiplin bisnis yang lain, seperti information system dan finace, (2) persepsi mahsiswa bahwa bidang akuntansi kurang menarik dalam hal reward disbanding bidang lain. (AAA Financial Accounting Standard Committee 2000). Studi ini memberikan refleksi bahwa profesi akuntansi mulai tidak menarik dan tergeser oleh profesi lain seperti advertising dan entertaintment, selain information system dan finance. Tidak menariknya profesi ini membawa dampak pada kualitas calon mahasiswa yang memasuk pendidikan formal akuntansi, yang pada akhirnya akan menyebabkan rendahnya kompetensi rendahnya kompetensi lulusan pendidikan formal akuntansi. Rendahnya kompetensi akan sangat merugikan profesi akuntansi. Hasil peneitian ini yang dilakukan di Amerika tersebut setidaknya menunjukkan bahwa profesi akuntan harus juga bersaing dengan profesi lain untuk mendapatkan minat.
Peneltian tentang pengalaman akuntan yang pernah dilakukan oleh Sri Sularso dan Ainun N”im. Penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh pengalaman akuntan dalam mendeteksi kekeliruan. Penelitian dilakukan terhadap 35 akuntan pemeriksa yang berpengalaman dari kantor akuntan Publik di Solo dan Jakarta serta 35 mahasiswa akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Surakarta sebagai pengganti akuntan pemeriksa yang belum berpengalaman. Salah satu kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan banyaknya tahun pengalaman untuk akuntan pemeriksa sebagai satu-satunya ukuran keahlian adalah kurang tepat. (Sularso dan Na’im 1999 ). Peneltian yang hamper sama tentang pengalaman auditor dilakukan oleh Putri Noviani. Penelitian dilakukan untuk melihat pengaruh pengalaman dan pelatihan terhadap stuktur pengetahuan auditor tentang kekeliruan. Penelitian dilakukan terhadap 39 auditor diKantor Akuntan Publik di Jawa yang memiliki posisi partner, supervisor dan asisten auditor. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengalaman akan berpengaruh positif terhadap pengetahuan auditor tentang jenis kekeliruan. Selain itu penelitian ini juga menyimpulkan bahwa program pelatihan mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam peningkatan keahlian auditor. (Novyani 2002). Penelitian ini memberikan bukti empiris bahwa pengalaman akan mempengaruhi kemempuan auditor untuk mewngetahui kekeliruan yang ada dalam perusahaan yang menjadi kliennya, penelitian ini juga memberikan bukti bahwa pelatihan yang dilakukan oleh auditor akan meningkatkan keahlian dan kualitas mereka untuk melakukan audit. Keahlian audit dan kemampuan untuk mengetahui kekeliruan merupakan salah satu bagian dari kompetensi dan kualitas auditor.
Dari hasil penelitian diatas secara umum dapat direfleksikan bahwa pendidikan formal, pelatihan dan pengalaman memiliki pengaruh yang positif terhadap kualitas audit dilakukan oleh akuntan public. Kurikulum yang dirancang untuk pendidikan formal harus memenuhi kebutuhan profesi akuntan public. Hal ini tampaknya sekarang telah dilakukan dengan memisahkan antara pendidikan sarjana Akuntansi (S1 Akuntansi ) dengan pendidikan profesi Akuntasi (PPA). Berhasil tidaknya pendidikan formal akuntansi tidak hanya ditentukan oleh kurikulum tetapi juga oleh kualitas mahasiswa yang dididik. Salah satu indicator kualitas masukan mahasiswa adalah rasio antara peminat jurusan akuntansi dengan jumlah yang diterima disuatu jurusan. Semakin besar rasio ini menunjukkan besarnya peminat calon mahasiswa memasukj jurusan akuntansi sehingga jurusan memiliki kesempatan untuk melakukan seleksi calon mahasiswa yang memiliki kualitas baik. Banyaknya peminat calon mahsiswa memasuki jurusan akuntansi ditentukan oleh harapan mereka terhadap profesi akuntansi dimasa mendatang., khususnya masalah reward yang nantinya akan didapat disbanding dengan profesi lain. Rendahnya minat orang untuk memasuki profesi berdampak pada kualitas masukan pendidikan formal dan pada akhirnya berdampak pada rendahnya kualitas lulusan pendidikan formal akuntansi. Pelatihan bagi akuntan public meliputi jenis dan kualitas pelatihan. Pelatihan bisa diselenggrakan oleh organisasi profesi atau dilakukan secara mandiri oleh kantor akuntan pulik terhadap staf auditornya. Pelatihan harus dilakukan untuk mengisi kekurangan dan memberikanpenekanan pada praktik auditing dan standar akuntansi bagi staf auditor di kantor akuntan public. Dari penelitian yang dilakukan oleh American Accounting Assosiation, terdapat suatu fenomena yang menarik, yaitu kerjasama antara organisasi profesi akuntansiyang ada di Amerika untuk menyadari keberadaan profesi dan memajukan profesi. American Accounting Assosiation (AAA), AICPA, Intitute of management Accountants (IMA) danKantor Akuntan Publik Besar bekerja sama untuk melakukan riset tentang profesi. Hal ini bisa dikembangkan lebih dalam dalam penyususnan kurikulum pendidikan formal dan pelatihan akuntansi.
Pengalaman akuntan public akan terus meningkat seiring dengan makin lamanya audit dilakukan serta kompleksitas transaksi keuangan perusahaan yang diaudit. Lamanya audit yang dilakukan oleh seorang auditor serta kompleksitas transaksi keuangan yang dihadapi akan menambah dan memperluas pengetahuannya dibidang akuntansi dan auditing yang pernah diterimanya saat pendidikan formal dan pelatihan. Ide untuk membatasi penugasan audit pada satu partner atau kantor akuntan public akan membawa perbaikan pada komptensi akuntan public secara keseluruhan. Seorang partner audit atau kantor akuntan public akan memperoleh pengalaman baru atas suatu perusahaan akibat dari adanya aturan pergantian partner audit atau kantor akuntan public ini.
Independen berarti akuntan public tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun.Akuntan public berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan namun juga kepada krediturdan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan public. Sikap mental independent tersebut meliputi independent dalam fakta maupun dalam penampilan. Terdapat empat hal yang mengganggu independent akuntan public, yaitu: (1) akuntan public memiliki mutual atau conflicting interest dengan klien, (2) mengaudit pekerjaan akuntan public sendiri, (3) berfungsi sebagai manajemen atau karyawan dari klien, (4) bertindak sebagai penasehat (advocate) dari klien. Akuntan public akan independent jika memiliki hubungan bisnis, keuangan dan manajemen atau karyawan dengan kliennya. Mutual interest terjadi jika akuntan public berhubungandengan audit committee yang ada di perusahaan, sedangkan conflict interest jika akuntan public berhubungan dengan manajemen.
Berdasarkan riset yang dikumpulkan, AAA Financial Accounting Standards Committee menyimpulkan bahwa (1) Riset mengindikasikan bahwa keputusan dan pertimbangan (judgment) auditor dipengaruhi oleh dorongan untuk menahan penugasanaudit. Riset juga membuktikan bahwa auditor tidak secara sistemetis menetapkan fee audit lebih rendahdengan maksud untuk memperoleh penugasan nonaudit dari klien audit mereka. (2) Terdapat beberapa kekuatan tersebut antara lain peraturan atau perundang-undangan, ketakutan kehilangan reputasi dan institusi yang ada didalam kantor akuntan public seperti peer review. Selain itu stakeholder di klien seperti audit committee merupakan kekuatan yang mengimbangi kekuatan auditor. Pemisahan staf audit dari staf yang melakukan consulting service akan meningkatkan indepensi auditor yang dirasakan oleh pemakai laporan. Beberapa bukti penelitian menyataka bahwa pemakai laporan percaya bahwa jumlah consulting service yang besar akan menurunkan independensi auditor. (AAA Financial Accounting Standard Committee 2000). Penjelasan mengenai penelitian ini memberi refleksi bahwa dalam mengambil keputusan dibidang auditnya, akuntan public dipengaruhi oleh dorongan untuk mempertahankan klien auditnya. Ada kekhawatiran dari akuntan public untuk kehilangan perusahaan yang diaudit nya. Kekhawatiran masyarakat terhadap independensi akuntan public karena adanya hubungan bisnis antara akuntan public dengan perusahaan yang diauditnya sebenarnya tidak perlu berlebihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kekuatan yang bisa diredakanpengaruh dorongan untuk mempertahankan klien. Kekuatan tersebut antara lain peraturan atau perundang-undangan tentang pergantian akuntan public, ketakutan public karena akan kehilangan akuntan public seperti peer review. Selain itu stakeholder di perusahaan yang diaudit akuntan public memiliki institusi seperti audit committee yang menjadi kekuatan untuk mengimbangi kekuatan akuntan public dalam melakukan tugas auditnya. Hasil penelitian tersebut juga memberikan bukti bahwa pemisahan staf audit dari staf yang melakukan consulting service dirasakan oleh pemakai laporan akan meningkatkan independensi akuntan publik. Tetapi di sisi lain beberapa bukti penelitian menyatakan bahwa pemakai laporan percaya jumlah consulting service yang besar akan menurunkan independensi auditor.
Selain disebabkan oleh konflik kepentingan dan hubungan khusus antara perusahaan dan akuntan public, independensi juga dipengaruhi oleh budaya masyarakat setempat. Penelitian yang dilakkan terhadap beberapa auditor di satu kantior akuntan public yang berlatar belakang budaya, menyatakan bahwa nilai-nilai budaya Jawa bukanlah ancaman terhadap independensi, atau dapat memperlemah independensi, tetapi justru memperkuatnya dengan cara yang khas. Khas apabila seorang auditor berlatar belakang budaya Jawa mampu mengerti apa itu sebenarnya Jawa, dan nilai-nilai kebenaran sejati, dan menuangkannya dalam sebuah perilaku yang independen. Sikap tersebut adalah dengan mempertimbangkan tiga hal : tata karma, suba sita dan gelagat pasemon. Tata krama berkaitan dengan olah bahasa, dicarikan padanan bahasa untuk menyampaikan suatu penyimpangan yang ditemukan. Suba sita berkaitan dengan mencari waktu yang tepat, disertai dengan bukti-bukti yang akurat, cukup dan kompeten untuk menunjukkan kesalahan dengan segala akibatnya. Gelagat pasemon berkaitan dengan menata suasana batin diri auditor maupun lawan bicaranya. Seorang auditor tetap menjadi independent tanpa membuat orang lain merasa direndahkan, dengan harapan bahwa konflik tidak akan membesar (Poerwohadiyanto dan Sawarjuwono 2002). Hasil penelitian inimemberikan dukungan pendapat bahwa independensi terkait dengan kualitas mutu pribadi akuntan public, bukan kantor akuntan public sebagai suatu organisasi. Independensi melekat pada diri pribadi akuntan public. Pengaruh budaya masyarakat atau organisasi terhadap pribadi akuntan public akan mempengaruhi sikap independensinya. Pengaruh ini bisa berupa pengaruh positif atau pengaruh negative.
Survei mengenai independensi pernah dilakukan oleh Australian Secirities Investment Commission (ASIC) tahun 2001. Survei dilakukan terhadap 100 perusahaan besar di Australia tentang hubungan antara perusahaan dengan akuntan publiknya. Beberapa hasil survey yang menarik untuk dilihat adalah sebagai berikut (herwidayatmo, 2002):
1. Untuk pertanyaan berupa : “Apakah auditor eksternal anda memberikan pula jasa lain luar audit?” 90% responden menjawab “Ya”
2. Untuk pertanyaan berupa : “Apakah anda pernah melakukan pengkajian atau setidaknya mencermati kemungkinan adanya kepentingan financial antara kelompok usaha anda dengan auditor eksternal anda?” 97 responden menjawab “Tidak”
3. Untuk pertanyaan berupa :” Apakah auditor eksternal anda menerapkan kebijakan untuk merotasi audit partner atau senior staf mereka? 54% responden menjawab “tidak “
4. Untuk pertanyaan berupa : Apakah perusahaan anda mempunyai kebijakan untuk merotasi auditor eksternal? 97 responden menjawab “tidak”
Hasil survey diatas memberikan bukti bahwa memang selama ini akuntan public memberikan dua jasa kepada perusahaan yang diauditnya, yaitu jasa audit dan jasa non audit. Jika hasil survey dikaitkan dengan beberapa bukti penelitian AAA Financial Accounting Standard Committee yang menyatakan bahwa pemakai laporan percaya jumlah consulting service yang besar akan menurunkan indepensi auditor, maka bisa direfleksikan bahwa saat ini masyarakat sedang mempertanyakan independensi akuntan public.
Survey yang hamper sama dilakukan oleh portal Financial directors, sebuah bulletin elektronik terbitan lembaga bisnis di inggris. Survey dilakukan untuk melihat sikap masyarakat terhadap skandal Enron di Amerika. Surveydilakukan terhadap 3000 responden dimana 800 diantaranya dikembalikan lengkap. Beberapa hasil survey yang penting adalah sebagai berikut (Herwidayatmo 2002)
1. 57% responden menyatakan “setuju” agar perusahaan melakukan rotasi atau mengganti auditor eksternal antara 4-7 tahun sekali, sisanya menjawab tidak setuju.
2. Hanya 37% responden yang setuju agar dilakukan pelarangan terhadap auditor untuk melakukan dualisme fungsi ( audit service and non audit service ). Mayoritas responden atau sekitar 62% menyatakan “tidak setuju” jika larangan tersebut diterapkan secara rigid.
3. Mayoritas responden atau sekitas 53% menyatakan cukup terpengaruh terhadap skandal Enron dan mereka cenderung untuk tidak menggunakan jasa audit Arthur Andersen untuk keperluan audit mereka.
Survey ini mendukung pendapat bahwa rotasi akuntan public akuntan harus dilakukan untuk meningkatkan independensi akuntan public didepan masyarakat. Disisi lain, survey ini menunjukkan sedikitnya dukungan bahwa pelarangan dualisme fungsi, audit service and non audit service akan sanggup meningkatkan independensi akuntan public. Pelarangan dualisme fungsi belum diyakini mampu meningkatkan independensi akuntan public. Survey ini juga memberikan keyakinan bahwa profesi akuntanpublik merupakan profesi yang didasarkan pada kepercayaan dari pengguna informasi yang diaudit akuntan public. Dualisme funsi yang dilakukan akuntan public menurut akuntan public sendiri justru memberikan sinergi terhadap mutu atau kualitas audit. Besarnya ruang lingkup jasa yang diberikan kantor akuntan public akan meningkatkan kredibilitas. Jasa non audit akanmeningkatkan pengetahuan auditor dan selanjutnya akan meningkatkan mutu atau kualitas audit. Pembatasan jasa nonaudit akan membatasi kemampuan auditor untuk tertarik dan membangun suatu keahlian yang dibutuhkan.
Kesimpulan :
Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompten dan independensi. Komptensi berkaitan dengan pendidikan dan pengalaman memadai dan dimiliki akuntan public dalam bidang auditing dan akuntansi. Sedangkan Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan public. Independen berarti akuntan public tidak mudah dipengaruhi, tidak memihak kepentingan siapapun serta jujur kepada semua pihak yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan public. Berdasarkan hal ini, maka menarik untuk dilihat hasil penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan kompetensi dan independensi akuntan public. Hasil penelitian empiris setidaknya memberikan refleksi tentang kondisi kompetensi dan independensi akuntan public.
Penelitian tentang kompetensi akuntan public memberikan refleksi bahwa profesi akuntansi mulai tidak menarik dan tergeser oleh profesi yang lain. Mulai tidak menariknya profesi ini membawa dampak terhadap kualitas calom mahasiswa yang memasuki pendidikan formal akuntans, yang pada akhirnya akan membuat rendah kompetensi lulusan dari formal akuntansi. Hadil penelitian juga menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan formal akuntansi dirasa masih kurang memadai untuk menunjang klompetensi lulusan program studi akuntansi. Hal ini minimal dirasakan oleh mahasiswa akuntansi. Beberapa matakuliah dalam kurikulum dirasa tidak memberikan nilai tambah pada peningkatan kompetensi sarjana akuntansi. Penelitian juga memberikan bukti empiris bahwa pengalaman akan mempengaruhi kemampuan auditor untuk mengetahui kekeliruan yang ada di perusahaan yang menjadi kliennya dan pelatihan yang dilakukan akan meningkatkan keahlian akuntan public dalam melakukan audit. Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka masukan dari Kantor Akuntan Publik dan organisasi profesi sangat diperlukan untuk mengembangkan suatu kurikulum pendidikan formal akuntansi dan pelatihan akuntansi. Selanjutnya ide untuk membatasi penugasan audit pada satu partner atau kantor akuntan public dan selanjutnya melakukan pergantian partner audit atau kantor akuntan public akan membawa perbaikan pada kompetensi akuntan public secara keseluruhan. Seorang partner audit atau kantor akuntan public akan memperoleh pengalaman baru atas suatu perusahaan akibat adanya aturan pergantian partner auditing atau kantor akuntan public ini.
Penelitian tentang independensi memberikan refleksi, bahwa dalam mengambil keputusan di bidang auditnya, akuntan public dipengaruhi oleh dorongan untuk mempertahankan klien auditnya. Tetapi di sisi lain hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kekuatan yang bisa meredakan pengaruh dorongan untuk mempertahankan klien. Kekuatan tersebut antara lain peraturan perundang-undangan tentang pergantian akuntan public, ketakutan akuntan public, ketakutan akuntan public karena akan kehilangan reputasi jika berlaku tidak independent, institusi yang ada di dalam kantor akuntan public seperti peer review serta kekuatan. Stakeholder di perusahaan seperti audit committee yang bisa mengimbangi kekuatan akuntan public dalam melakukan tugas auditnya. Hasil penelitian tersebut juga memberikan bukti bahwa pemisahan staf audit dari staf yang melakukan consulting service dirasakan oleh pemakai laporan akan meningkatkan independensi akuntan public. Tetapi di sisi lain beberapa bukti penelitianmenyatakan pemakai laporan percaya jumlah consulting service yang besar akan menurunkan independensi auditor. Hasil penelitian juga memberikan dukungan pendapat bahwa independensi terkait dengan kualitas mutu pribadi akuntan public, bukan akuntan publk sebagai suatu organisasi. Independensi melekat pada pribadi akuntan publik. Pengaruh budaya masyarakat atau organisasi terhadap pribadi akuntan public akan mempengaruhi sikap independensinya. Hasil survey menunjukkan bahwa masyarakat sedang mempertanyakan independensi akuntan public karena adanya perangkapan fungsi akuntan public, sebagai pemberi jasa auditing dan non audit.
DAFTAR PUSTAKA
AAA Financial Accounting Standard Committee (2000), “Commentary: SEC Auditor Independence Requirements”. Accounting Horizons Vol. 15 No. 4 December 2001, hal 373-386.
Herwidaytmo,”Aspek Conflict of Interest dalam Profesi Akuntan Publik”’ Makalah Konvensi Nasional Akuntan Publik IV – Tantangan Akuntan Publik Masa Kini, Semarang 10-11 Mei 2002
Noviyani Putri (2002),” Pengaruh Pengalaman dan Pelatihan terhadap struktur Pengetahuan Auditor tentang kekeliruan “ Makalah symposium Nasional Akuntansi 5, Semarang, 5-6 September 2002
Sularso, Sri dan Na’im, Ainun (1999),” Analisis Pengaruh Pengalaman Akuntan pada Pengetahuan dan Penggunaan Intusi dalam mendeteksi Kekeliruan”’ Jurnal Riset Akuntansi Indonesia.
Widagdo, Ridwan dkk (2002),”Analisis Pengaruh Atribut-atribut Kualitas Audit Terhadap Kepuasan Klien” Makalah Simposium Nasional Akuntansi 5, Semarang, 5-6 September 2002.
Nama : Agus Widyarto
ReplyDeleteNIM : C4C009010
Etika Bisnis di dalam perusahaan
Pengertian etika berbeda dengan etiket. Etiket berasal dari bahasa Prancis etiquette yang berarti tata cara pergaulan yang baik antara sesama menusia. Sementara itu etika, berasal dari bahasa Latin, berarti falsafah moral dan merupakan cara hidup yang benar dilihat dari sudut budaya, susila, dan agama. Etika merupakan filsafat / pemikiran kritis dan rasional mengenal nilai dan norma moral yg menentukan dan terwujud dalam sikap dan pada perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok.(sebuah ilmu : pengejawantahan secara kritis ajaran moral yang dipakai).
Beberapa alasan mengapa Etika Bisnis Diperlukan di dalam perusahaan, yaitu :
1. Para Pelaku Bisnis dituntut Profesional
2. Persaingan semakin tinggi
3. Kepuasan konsumen faktor utama
4. Perusahaan dapat dipercaya dalam jangka panjang
5. Mencegah jangan sampai dikenakan sanksi-sanksi pemerintah pada akhirnya
mengambil keputusan.
Adapun Sikap Bisnis Ditunjukan Dalam Hal :
1. Intergrity : Bertindak jujur & benar
2. Manner : Tidak Egois
3. Personality : Kepribadian
4. Aparance : Penampilan
5. Consideration : Memahami sudut pandang lain dalam berfikir selama berbicara.
Kegiatan Bisnis Dapat di Kelompokan Dalam 3 Bidang :
1.Kegiatan Perdagangan : jual-beli
2.Bisnis dalam arti kegiatan industri
3.Bisnis dalam arti kegiatan jasa-jasa.
Mempraktikkan bisnis dengan etiket berarti mempraktikkan tata cara bisnis yang sopan dan santun sehingga kehidupan bisnis menyenangkan karena saling menghormati. Etiket berbisnis diterapkan pada sikap kehidupan berkantor, sikap menghadapi rekan-rekan bisnis, dan sikap di mana kita tergabung dalam organisasi. Itu berupa senyum sebagai apresiasi yang tulus dan terima kasih, tidak menyalah gunakan kedudukan, kekayaan, tidak lekas tersinggung, kontrol diri, toleran, dan tidak memotong pembicaraan orang lain. Dengan kata lain, etiket bisnis itu memelihara suasana yang menyenangkan, menimbulkan rasa saling menghargai, meningkatkan efisiensi kerja, dan meningkatkan citra pribadi dan perusahaan. Berbisnis dengan etika bisnis adalah menerapkan aturan-aturan umum mengenai etika pada perilaku bisnis. Etika bisnis menyangkut moral, kontak sosial, hak-hak dan kewajiban, prinsip-prinsip dan aturan-aturan. Jika aturan secara umum mengenai etika mengatakan bahwa berlaku tidak jujur adalah tidak bermoral dan beretika, maka setiap insan bisnis yang tidak berlaku jujur dengan pegawainya, pelanggan, kreditur, pemegang usaha maupun pesaing dan masyarakat, maka ia dikatakan tidak etis dan tidak bermoral.
Dalam sistem perekonomian pasar bebas, perusahaan diarahkan untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin, sejalan dengan prinsip efisiensi. Namun, dalam mencapai tujuan tersebut pelaku bisnis kerap menghalalkan berbagai cara tanpa peduli apakah tindakannya melanggar etika dalam berbisnis atau tidak. Hal ini terjadi akibat manajemen dan karyawan yang cenderung mencari keuntungan semata sehingga terjadi penyimpangan norma-norma etis, meski perusahaan-perusahaan tersebut memiliki code of conduct dalam berbisnis yang harus dipatuhi seluruh organ di dalam organisasi. Penerapan kaidah good corporate governace di perusahaan swasta, BUMN, dan instansi pemerintah juga masih lemah. Banyak perusahaan melakukan pelanggaran, terutama dalam pelaporan kinerja keuangan perusahaan. Prinsip keterbukaan informasi tentang kinerja keuangan bagi perusahaan terdaftar di BEJ, misalnya seringkali dilanggar dan jelas merugikan para pemangku kepentingan (stakeholders), terutama pemegang saham dan masyarakat luas lainnya.
Berbagai kasus insider trading dan banyaknya perusahaan publik yang di suspend perdagangan sahamnya oleh otoritas bursa menunjukkan contoh praktik buruk dalam berbisnis. Belum lagi masalah kerusakan lingkungan yang terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam dengan alasan mengejar keuntungan setinggi-tingginya tanpa memperhitungkan daya dukung ekosistem lingkungan Bisa dibayangkan, dampak nyata akibat ketidak pedulian pelaku bisnis terhadap etika berbisnis adalah budaya korupsi yang semakin serius dan merusak tatanan sosial budaya masyarakat. Jika ini berlanjut, bagaimana mungkin investor asing tertarik menanamkan modalnya di negeri kita. Situasi ini menimbulkan pertanyaan tentang mengapa kesemua ini terjadi.
Pelanggaran etik bisnis di perusahaan memang banyak, tetapi upaya untuk menegakan etik perlu digalakkan. Misalkan, perusahaan tidak perlu berbuat curang untuk meraih kemenangan. Hubungan yang tidak transparan dapat menimbulkan hubungan istimewa atau kolusi dan memberikan peluang untuk korupsi. Banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan pelanggaran, terutama dalam kinerja keuangan perusahaan karena tidak lagi membudayakan etika bisnis agar orientasi strategik yang dipilih semakin baik.
Dari mana upaya penegakkan etika bisnis dimulai, Etika bisnis paling gampang diterapkan di perusahaan sendiri. Pemimpin perusahaan memulai langkah ini karena mereka menjadi panutan bagi karyawannya. Selain itu, etika bisnis harus dilaksanakan secara transparan. Pemimpin perusahaan seyogyanya bisa memisahkan perusahaan dengan milik sendiri. Dalam operasinya, perusahaan mengikuti aturan berdagang yang diatur oleh tata cara undang-undang. Etika bisnis tidak akan dilanggar jika ada aturan dan sangsi. Oleh karena itu bila ada yang melanggar aturan diberikan sangsi untuk memberi pelajaran kepada yang bersangkutan.
Mengurangi praktik pelanggaran etika dalam berbisnis merupakan tanggung jawab kita semua. Sebagai pengusaha, tujuan memaksimalkan profit harus diimbangi peningkatan peran dan tanggung jawab terhadap masyarakat. Perusahaan turut melakukan pemberdayaan kualitas hidup masyarakat melalui program corporate social responsibility (CSR).
Etika bisnis adalah acuan bagi perusahaan dalam melaksanakan kegiatan usaha, termasuk dalam berinteraksi dengan stakeholders, termasuk tentunya karyawan. Etika bisnis sebaik apa pun yang dicanangkan perusahaan dan dituangkan dalam pedoman perilaku, tidak akan berjalan tanpa kepatuhan karyawan dalam menaati norma-norma kepatutan dalam menjalankan aktivitas perusahaan. Hal ini disebabkan substansi materi etika bisnis lebih sering menyangkut kaidah dan norma yang cenderung abstrak dengan standar acuan tergantung persepsi individu dan institusi dalam menilai etis atau tidaknya suatu tindakan bisnis. Misalnya, etiskah mengiklankan sesuatu obat dengan menyembunyikan informasi tentang indikasi pemakaian. Atau membahas moral hazard pada kasus kebangkrutan perusahaan sekelas Enron di Amerika Serikat. Intinya adalah bagaimana kita mengontrol diri kita sendiri untuk dapat menjalani bisnis dengan baik dengan cara peka dan toleransi. Dengan kata lain, etika bisnis untuk mengontrol bisnis agar tidak tamak. Bahwa itu bukan bagianku.
Nama : Indra Nurmanto
ReplyDeleteNIM : C4C009004
PENTINGNYA MENGEMBANGKAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN
PENDAHULUAN
Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyataan atau sekedar omongan belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.
Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya kasus Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990) adalah serupa.
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya kepemimpinan para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.
Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umumnya diwujudkan dalam bentuk buku saku atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.
PEMBAHASAN
Etika pada dasarnya adalah standar atau moral yang menyangkut benar-salah, baik -buruk. Dalam kerangka konsep etika bisnis terdapat pengertian tentang etika perusahaan, etika kerja dan etika perorangan, yang menyangkut hubungan-hubungan sosial antara perusahaan, karyawan dan lingkungannya. Etika perusahaan menyangkut hubungan perusahaan dan karyawan sebagai satu kesatuan dengan lingkungannya (misalnya dengan perusahaan lain atau masyarakat setempat), etika kerja terkait antara perusahaan dengan karyawannya, dan etika perorangan mengatur hubungan antar karyawan.
Perilaku etis yang telah berkembang dalam perusahaan menimbulkan situasi saling percaya antara perusahaan dan stakeholders, yang memungkinkan perusahaan meningkatkan keuntungan jangka panjang. Perilaku etis akan mencegah pelanggan, pegawai dan pemasok bertindak oportunis, serta tumbuhnya saling percaya.
Budaya perusahaan memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku etis, karena budaya perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma yang membimbing tindakan karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya perilaku, dan sebaliknya dapat pula mendorong terciptanya perilaku yang tidak etis.
Kebijakan perusahaan untuk memberikan perhatian serius pada etika perusahaan akan memberikan citra bahwa manajemen mendukung perilaku etis dalam perusahaan. Kebijakan perusahaan biasanya secara formal didokumentasikan dalam bentuk Kode Etik (Code of Conduct). Di tengah iklim keterbukaan dan globalisasi yang membawa keragaman budaya, code of conduct memiliki peran yang semakin penting, sebagai buffer dalam interaksi intensif beragam ras, pemikiran, pendidikan dan agama.
Sebagai persemaian untuk menumbuhkan perilaku etis, perlu dibentuk iklim etika dalam perusahaan. Iklim etika tercipta, jika dalam suatu perusahaan terdapat kumpulan pengertian tentang perilaku apa yang dianggap benar dan tersedia mekanisme yang memungkinkan permasalahan mengenai etika dapat diatasi.
Terdapat tiga faktor utama yang memungkinkan terciptanya iklim etika dalam perusahaan. Pertama, terciptanya budaya perusahaan secara baik. Kedua, terbangunnya suatu kondisi organisasi berdasarkan saling percaya (trust-based organization). Dan ketiga, terbentuknya manajemen hubungan antar pegawai (employee relationship management).
Iklim etika dalam perusahaan dipengaruhi oleh adanya interaksi beberapa faktor, yaitu faktor kepentingan diri sendiri, keuntungan perusahaan, pelaksanaan efisiensi dan kepentingan kelompok.
Penciptaan iklim etika mutlak diperlukan, meskipun memerlukan waktu, biaya dan ketekunan manajemen. Dalam iklim etika, kepentingan stakeholders terakomodasi secara baik karena dilandasi rasa saling percaya.
Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Journal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :
• Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession
• Morality is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds
• Law refers to formal codes that permit or forbid certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.
Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika kita :
1. Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh karena itu dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
2. Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Dari pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memberikan cara menjawab permasalahan etika dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :
• Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?
• Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?
• Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?
Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini?
Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen.
Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :
• Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
• Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
• Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
• Akan meningkatkan keunggulan bersaing.
Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan.
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni dengan cara :
• Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
• Memperkuat sistem pengawasan
• Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
Ketentuan tersebut seharusnya diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah terulangnya kasus Enron dan Worldcom.
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :
• Treat others as you would like them to treat you
• An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.
KESIMPULAN
Memahami etika perusahaan sebagai ilmu tidaklah sulit, namun menerimanya sebagai suatu nilai dan kemudian mengimplementasikannya dalam pekerjaan sehari-hari merupakan sesuatu yang tidak mudah. Terdapat proses internalisasi dalam diri individu dan kelompok di satu sisi, serta proses teknis maupun administratif di sisi yang lain.
Proses internalisasi, individu maupun kelompok, sangat penting karena mereka akan bertindak baik sebagai obyek (yang akan diatur) maupun sebagai subyek.(yang akan mengatur). Proses internalisasi akan meliputi lima tahap yaitu awareness, understanding, assessment, acceptance dan implementation. Kelima tahap ini harus dilalui secara berurutan, meskipun waktu yang dibutuhkan pada masing-masing tahap selalu sama.
Proses teknis dan administratif meliputi beberapa langkah. Pertama, menyediakan dan menyelenggarakan pelatihan yang ekstensif tentang analisis dan resolusi dilema etika dalam bisnis. Kedua, memasukkan penasihat etika untuk membantu manajemen dalam memastikan pesan etika secara tepat. Ketiga, secara berkala mengkomunikaskan informasi dari manajemen tingkat atas sampai kepada semua karyawan bahwa etika bisnis penting untuk menjamin keputusan bisnis yang baik. Keempat, pentingnya dibentuk komite etika dan/atau dewan pengawas etika yang bertugas meninjau aktivitas organisasi dan menyediakan rekomendasi yang proaktif untuk aktivitas mendatang dan proses pengambilan keputusan. Terakhir, dalam rangka pengendalian, perlu bekerjasama dengan konsultan etika atau auditor untuk melakukan check dan recheck keseluruhan pelaksanaan etika bisnis dalam perusahaan dan melakukan penyempurnaan jika diperlukan.
Penciptaan etika bisnis secara terus menerus perlu dilakukan. Suatu model peningkatan siklus lingkaran dibuat berdasarkan tiga unsur penting yaitu unsur peningkatan diri, pengembangan rencana peningkatan, dan implementasi rencana peningkatan. Dinamika peningkatan ini seharusnya bukan merupakan reaksi atas tekanan sosial tetapi merupakan tindakan proaktif perusahaan.
Membangun iklim etika memang tidak mudah karena memerlukan penciptaan prasyarat-prasyarat khusus seperti budaya, saling percaya dan hubungan karyawan dalam perusahaan. Namun dengan terbangunnya iklim etika maka citra dan reputasi perusahaan akan terangkat bangun dan peluang untuk melakukan kerjasama-kerjasama dengan pihak luar terbuka luas.
Akhirnya segala sistem, peraturan dan nama besar, muaranya kembali kepada etika sang pelaku. Sistem bisa ditembus, peraturan dapat diakali, dan nama besar dapat di’jual’, jika para pelakunya tidak berpegangan pada etika. Maka di atas semua peraturan dan sistem, etika bisnislah yang menjadi tumpuan agar semua sistem dan peraturan itu dapat berjalan secara ‘wajar’.
DAFTAR PUSTAKA
Purnamasari, Vena. 2006. Sifat Machiavellian dan Pertimbangan Etis: Anteseden Independensidan Perilaku Etis Auditor. Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.
Rahmawati. 1997. Hubungan antara Profesionalisme Internal Auditor dengan Kinerja Tugas, Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi, Keinginan Untuk Pindah, Tesis S2, Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Ludigdo, Unti. 2006. Strukturasi Praktik Etika di Kantor Akuntan Publik: Sebuah Studi Interpretif. Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.
Peran Auditor Internal Dalam Program Anti Korupsi dan Good Corporate Governance
ReplyDeleteOleh : Dermawan Sugiarto / C4C008007
PENDAHULUAN
Audit internal telah berkembang dari semula profesi yang hanya memfokuskan diri pada masalah teknis akuntansi, menjadi profesi yang memiliki orientasi memberikan jasa bernilai tambah bagi manajemen. Audit internal telah berubah menjadi disiplin yang berbeda, dengan pusat perhatian yang lebih luas.
Perkembangan audit internal dapat dikatakan bersumber dari meningkatnya kompleksitas operasi perusahaan dan pemerintahan. Pertumbuhan perusahaan menyebabkan keterbatasan kemampuan manajer untuk mengawasi masalah operasional sehingga menjadikan audit internal sebuah fungsi yang makin penting.
Audit internal modern menyediakan jasa-jasa yang mencakup pemeriksaan dan penilaian atas pengendalian intern, kinerja, risiko, dan tata kelola perusahaan publik maupun privat. Aspek keuangan hanyalah salah satu aspek saja dalam lingkup pekerjaan audit internal. Audit internal mencoba membangun kerja sama yang produktif dengan manajemen perusahaan melalui aktivitas-aktivitas yang memberikan nilai tambah bagi perusahaan.Untuk dapat memberikan nilai tambah tersebut, kriteria-kriteria yang harus dimiliki internal auditor tidak boleh dikompromikan. Auditor internal harus obyektif, bebas dari bias, memiliki perilaku yang mencerminkan integritas dan profesionalismenya.
Suatu fraud control plan (program anti kecurangan/korupsi) akan effektif apabila menjadi bagian dari rencana strategis suatu organisasi. Dengan menjadi bagian dari rencana strategis organisasi, maka perencanaan, proses dan pelaporan setiap kegiatan dan operasional organisasi akan merujuk kepada rencana strategis tersebut.
Best practice dari program anti kecurangan dan korupsi mencakup tiga pilar pendekatan Preventif, Represif, dan Edukatif. Penerapan konsep pendekatan tersebut, menuntut adanya keseimbangan, keserentakan di antara ketiga komponen utama tersebut dengan mempertimbangkan sepenuhnya kondisi internal dan eksternal organisasi dan mengidentifikasikan sub program khusus bagi masing-masing komponen.
Komitmen untuk memerangi korupsi memang sudah dicanangkan beberapa tahun lalu, tapi persepsi atas korupsi di Indonesia hanya mengalami sedikit perbaikan. Korupsi per definisi UU TPK no 31 tahun 1999 pasal 2 adalah “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.” Sementara pasal 3 menyebutkan: “setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Selain itu diperlukan pula Good Corporate Governance (GCG) untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundangan, yang dapat membantu tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan berdasarkan asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Untuk itu, salah satu manfaat dari penerapan GCG, dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas struktur pengelolaan dan pola kerja perusahaan.
Sistem pengendalian internal merupakan bagian dari praktik GCG, juga praktik manajemen, dimana didalamnya mencakup pengawasan yang memadai, etika bisnis, independensi, pengungkapan yang akurat dan tepat waktu, akuntabilitas dari seluruh pihak yang terlibat dalam proses pengelolaan perusahaan, serta mekanisme untuk memastikan adanya tindak lanjut yang seksama jika terjadi pelanggaran dalam perusahaan.
Dengan keberadaan fungsi audit internal yang efektif, dapat tercipta mekanisme pengawasan untuk memastikan bahwa sumber daya yang ada dalam perusahaan telah digunakan secara ekonomis dan efektif, dan pengendalian yang ada dalam perusahaan dapat memberikan kepastian lebih tinggi bahwa informasi yang dihasilkan terpercaya. Audit internal juga dapat menjadi barometer standar perilaku yang berlaku di perusahaan melalui aktivitas pengawasan yang dilakukan secara berkesinambungan, yang mendorong terciptanya iklim kerja yang efisien. Seiring dengan perbaikan dalam proses internal tersebut, keyakinan investor (termasuk kreditur) terhadap proses pengelolaan perusahaan juga akan meningkat.
PEMBAHASAN
a. Program Anti Korupsi
Kerusakan Akibat Adanya Korupsi
Setiap sebab tentu memiliki akibat. Pernyataan tersebut banyak digunakan untuk menyatakan hubungan dari suatu tindakan dengan tindakan lain dalam satu urutan yang membentuk kejadian. Tindakan yang pertama merupakan penyebab dan tindakan berikutnya merupakan akibat. Akibat yang ditimbulkan tersebut dapat menjadi suatu penyebab dari tindakan-tindakan lain dan bahkan dapat pula menjadi bagian dari sebab awal dari akibat itu sendiri. Kondisi tersebut menjadikan hubungan sebab akibat dari suatu kejadian dan keadaan menjadi sedemikian kompleksnya sehingga menimbulkan kesulitan dalam menentukan mana penyebab dan mana akibat.
Keadaan di atas dapat dianalogkan dalam hal pemberantasan korupsi. Begitu kompleknya permasalahan korupsi, sehingga sulit untuk mengidentifikasikan penyebab utama terjadinya korupsi. Apakah korupsi disebabkan karena kurangnya kesejahteraan pegawai atau korupsi mengakibatkan kurangnya kesejahteraan pegawai ?.
Praktek-praktek korupsi yang mem”budaya”, berkepanjangan, dilakukan dalam berbagai bentuk, terjadi di segala bidang kehidupan, memiliki akibat yang harus ditanggung baik oleh individu dalam organisasi, unit organisasi/instansi yang bersangkutan, masyarakat dan dunia usaha, organisasi pemerintahan secara makro yang akhirnya berpengaruh luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
1). Dampak bagi individu dalam organisasi :
Akibat perbuatan korupsi harus ditanggung baik oleh individu pelaku korupsi maupun individu lainnya dalam organisasi :
1. Pelaku secara bertahap mengalami degradasi moral dan menularkannya pada lingkungannya. Pertama kali korupsi yang dilakukannya akan menimbulkan goncangan nurani atau perasaan terombang-ambing antara nilai moral yang dianutnya dengan daya tarik materi yang akan diperolehnya. Namun kecenderungan untuk mengulang perbuatan korupsi karena telah bobol benteng moralnya. Korupsi tersebut diulang dan cenderung membesar, sampai pada tahap pelaku tidak bisa lagi membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Korupsi tidak lagi dilihat sebagai penyimpangan, melainkan hal yang biasa, telah menjadi kebiasaan.
2. Pelaku korupsi menanggung beban rasa bersalah, malu, marah, takut tidak dipercaya, kehidupan yang tidak tenang karena takut ketahuan, risiko terkena tuntutan hukum, hukuman disiplin sampai pemecatan atau habisnya karier, serta cemoohan dari teman sejawat maupun masyarakat, depresi dan masalah kesehatan terkait lainnya.
3. Individu dalam organisasi juga dapat menanggung dampak korupsi, misalnya harus menyediakan “biaya” untuk pengurusan kenaikan pangkat, promosi atau mutasi. Dampak lain adalah suasana saling mencurigai, hilangnya kesempatan yang sama untuk promosi atau mutasi karena prosesnya diwarnai dengan suap kepada pejabat yang berwenang. Di luar, organisasi harus berhadapan dengan persepsi masyarakat yang menganggap semua pegawai organisasi bermental korup, karena organisasinya diketahui terjadi banyak praktek korupsi.
2). Dampak bagi organisasi :
1. Selain berakibat kerugian keuangan, juga mengakibatkan penilaian atas kinerja organisasi dan manajemen menjadi tidak baik.
2. Kinerja organisasi yang buruk dapat disebabkan karena korupsi pada beberapa aspek, pegawai yang melakukan kegiatan bukan untuk kepentingan organisasi dapat mengakibatkan pelaksanaan tugas tidak effisien dan timbulnya biaya tambahan yang sebenarnya tidak perlu, seperti biaya lembur dan biaya listrik. Demikian juga penggunaan barang milik organisasi untuk kepentingan pribadi dapat mengakibatkan tambahan biaya pemeliharaan atau biaya alat tulis kantor sehingga penggunaan anggaran tidak effisien.
3. Korupsi yang dilakukan dengan meninggikan biaya pelaksanaan kegiatan selain mengakibatkan kegiatan/proyek tidak effisien juga dapat mempengaruhi effektivitas pencapaian tujuan kegiatan/proyek, karena cakupan kegiatan/proyek lebih rendah baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas, dari pada yang seharusnya dapat dicapai.
4. Korupsi juga dapat mengakibatkan organisasi kehilangan kepercayaan dari stakeholder. Kehilangan kemampuan bersaing, karena biaya tinggi di internal organisasi.
3). Dampak bagi dunia usaha dan masyarakat :
1. Korupsi menyebabkan biaya investasi dan operasi perusahaan menjadi tinggi karena harus menanggung biaya ekstra untuk berbagai pungutan tidak resmi dan suap. Pungutan-pungutan tersebut berakibat adanya ketidakpastian dalam perencanaan keuangan. Harga pokok dan harga jual produk menjadi tinggi, sehingga mengurangi daya saing. Pada sisi lain, mengurangi kemampuan pengusaha memberikan tingkat upah buruh yang lebih tinggi.
2. Bagi masyarakat sebagai konsumen, harga barang dan jasa kebutuhan hidup sehari-hari menjadi mahal karena biaya-biaya ekstra yang dikeluarkan pengusaha untuk pungutan tidak resmi, akhirnya menjadi beban tanggungan konsumen.
3. Korupsi mengakibatkan berbagai masalah sosial dalam masyarakat, seperti sengketa pertanahan yang disebabkan oleh permainan dan kolusi oknum pejabat terkait dengan sertifikasi, peruntukan dan pembebasan tanah. Kesulitan ekonomi yang menghimpit sebagian besar rakyat yang masih hidup dalam kemiskinan akan memicu terjadinya pelanggaran hukum dan kejahatan serta kerawanan social lainnya.
4. Dampak buruk korupsi terutama diderita oleh kaum miskin, yang paling terpukul oleh penurunan perekonomian, paling tegantung dengan layanan-layanan publik, yang paling tidak mampu membayar biaya ekstra yang berkaitan dengan suap, pemerasan, dan berbagai penyalahgunaan keuntungan ekonomi.
5. Korupsi yang terjadi dalam sektor pertahanan dan keamanan mengurangi dan bahkan menghilangkan kemampuan antisipatif dan responsif aparat pertahanan dan keamanan terhadap kemungkinan terjadinya ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan terhadap ketertiban, keamanan dan pertahanan negara. Korupsi menyebabkan peralatan komunikasi, perhubungan, angkutan dan transportasi serta sistem persenjataan tidak dapat dioperasikan secara optimal, bahkan mungkin gagal dioperasikan dan berkibat terjadinya kecelakaan yang menelan korban nyawa dan harta, karena pemeliharaan dan perbaikan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya karena tidak tersedianya spare parts dan bahan pendukung secara tepat jumlah, kualitas dan waktu. Lebih jauh, korupsi berakibat tidak diterimanya hak-hak personil operasi sebagaimana mestinya, yang dapat mengakibatkan ketidak siapan jasmani dan rohani, dalam arti dapat mengakibatkan demoralisasi bagi personil operasi di lapangan.
Banyaknya pungutan tidak resmi dan persepsi bahwa tidak ada kepastian hukum di Indonesia karena indikasi suap di kalangan penegak hukum, menyebabkan iklim usaha menjadi tidak kondusif bagi pemilik modal asing. Kondisi ini dapat mendorong mereka mengalihkan investasinya ke Negara lain, yang sebenarnya sangat dibutuhkan di Indonesia untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi. Akibat lebih jauhnya adalah hilangnya kesempatan kerja bagi angkatan kerja beserta sektor informal yang terkait.
Pengendalian Intern Oleh Internal Audit
Internal auditing adalah suatu penilaian, yang dilakukan oleh pegawai perusahaan yang terlatih mengenai ketelitian, dapat dipercayainya, efisiensi, dan kegunaan catatan-catatan (akutansi) perusahaan, serta pengendalian intern yang terdapat dalam perusahaan. Tujuannya adalah untuk membantu pimpinan perusahaan (manajemen) dalam melaksanakan tanggungjawabnya dengan memberikan analisa, penilaian, saran, dan komentar mengenai kegiatan yang di audit. Untuk mencapai tujuan tersebut, internal auditor melakukan kegiatan–kegiatan berikut:
– Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan sistem pengendalian manajemen, struktur pengendalian intern, dan pengendalian operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian yang efektif dengan biaya yang tidak terlalu mahal,
– Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedurprosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen
– Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan
– Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam organisasi dapat dipercaya
– Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh manajemen
– Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka meningkatkan efisensi dan efektifitas
Dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya tersebut dapat disimpulkan bahwa internal auditor antara lain memiliki peranan dalam :
a. Pencegahan Kecurangan (Fraud Prevention),
b. Pendeteksian Kecurangan (Fraud Detection), dan
c. Penginvestigasian Kecurangan (Fraud Investigation).
Untuk lebih berhasilnya peran auditor dalam pencegahan dan pendeteksian adanya kecurangan, sebaiknya internal auditor perlu memahami kecurangan dan jenis-jenis kecurangan yang mungkin terjadi dalam perusahaan. G.Jack Bologna, Robert J.Lindquist dan Joseph T.Wells mendifinisikan kecurangan “ Fraud is criminal deception intended to financially benefit the deceiver ( 1993,hal 3 )” yaitu kecurangan adalah penipuan kriminal yang bermaksud untuk memberi manfaat keuangan kepada si penipu. Kriminal disini berarti setiap tindakan kesalahan serius yang dilakukan dengan maksud jahat. Dan dari tindakan jahat tersebut ia memperoleh manfaat dan merugikan korbannya secara financial. Biasanya kecurangan mencakup tiga langkah yaitu (1) tindakan/the act., (2) Penyembunyian/theconcealment dan (3) konversi/the conversion. Misalnya pencurian atas harta persediaan adalah tindakan, kemudian pelaku akan menyembunyikan kecurangan tersebut misalnya dengan membuat bukti transaksi pengeluaran fiktif. Selanjutnya setelah perbuatan pencurian dan penyembunyian dilakukan, pelaku akan melakukan konversi dengan cara memakai sendiri atau menjual persediaan tersebut.
Pencegahan Kecurangan Oleh Internal Auditor
Peran utama dari internal auditor sesuai dengan fungsinya dalam pencegahan kecuarangan adalah berupaya untuk menghilangkan atau mengeleminir sebab- sebab timbulnya kecurangan tersebut. Karena pencegahan terhadap akan terjadinya suatu perbuatan curang akan lebih mudah daripada mengatasi bila telah terjadi kecurangan tersebut. Pada dasarnya kecurangan sering terjadi pada suatu suatu entitas apa bila :
a. Pengendalian intern tidak ada atau lemah atau dilakukan dengan longgar dan tidak efektif.
b. Pegawai dipekerjakan tanpa memikirkan kejujuran dan integritas mereka.
c. Pegawai diatur, dieksploitasi dengan tidak baik, disalahgunakan atau ditempatkan dengan tekanan yang besar untuk mencapai sasaran dan tujuan keuangan yang mengarah tindakan kecurangan.
d. Model manajemen sendiri melakukan kecurangan, tidak efsien dan atau tidak efektif serta tidak taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku..
e. Pegawai yang dipercaya memiliki masalah pribadi yang tidak dapat dipecahkan , biasanya masalah keuangan, kebutuhan kesehatan keluarga, gaya hidup yang berlebihan.
f. Industri dimana perusahaan menjadi bagiannya, memiliki sejarah atau tradisi kecurangan
Pencegahan kecurangan pada umumnya adalah aktivitas yang dilaksanakan manajemen dalam hal penetapan kebijakan, sistem dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan sudah dilakukan dewan komisaris, manajemen, dan personil lain perusahaan untuk dapat memberikan keyakinan memadai dalam mencapai 3 ( tiga ) tujuan pokok yaitu ; keandalan pelaporan keuangan, efektivitas dan efisiensi operasi serta kepatuhan terhadap hukum & peraturan yang berlaku. ( COSO: 1992)
Untuk hal tersebut , kecurangan yang mungkin terjadi harus dicegah antara lain dengan cara –cara berikut :
1) Membangun struktur pengendalian intern yang baik
Dengan semakin berkembangnya suatu perusahaan, maka tugas manajemen untuk mengendalikan jalannya perusahaan menjadi semakin berat. Agar tujuan yang telah ditetapkan top manajemen dapat dicapai, keamanan harta perusahaan terjamin dan kegiatan operasi bisa dijalankan secara efektif dan efisien, manajemen perlu mengadakan struktur pengendalian intern yang baik dan efektif mencegah kecurangan.
Dalam memperkuat pengendalian intern di perusahaan, COSO (The Committee of Sponsoring Organizations of The Treadway Commission) pada bulan September 1992 memperkenalkan suatu rerangka pengendalian yang lebih luas daripada model pengendalian akuntansi yang tradisional dan mencakup menejemen risiko, yaitu pengendalian intern terdiri atas 5 ( lima ) komponen yang saling terkait yaitu :
(1) Lingkungan pengendalian ( control environment ) menetapkan corak suatu organisasi, mempengaruhi kesadaran pengendalian orang-orangnya. Lingkungan pengendalian merupakan dasar untuk semua komponen pengendalian intern, menyediakan disiplin dan struktur.
Lingkungan pengendalian mencakup :
a. Integritas dan nilai etika
b. Komitmen terhadap kompetensi
c. Partisipasi dewan komisaris atau komite audit
d. Filosofi dan gaya operasi manajemen
e. Struktur organisasi
f. Pemberian wewenang dan tanggungjawab
g. Kebijakan dan praktik sumber daya manusia
(2) Penaksiran risiko ( risk assessment ) adalah identifikasi entitas dan analisis terhadap risiko yang relevan untuk mencapai tuuannya, membentuk suatu dasar untuk menenetukan bagaimana risiko harus dikelola.
Risiko dapat timbul atau berubah karena keadaan berikut :
a. Perubahan dalam lingkungan operasi
b. Personel baru
c. Sistem informasi yang baru atau diperbaiki
d. Teknologi baru
e. Lini produk, produk atau aktivitas baru
f. Operasi luar negeri
g. Standar akuntansi baru
(3) Standar Pengedalian ( control activities ) adalah kebijakan dari prosedur yang membantu menjamin bahwa arahan manajemen dilaksanakan. Kebijakan dan prosedur yang dimaksud berkaitan degan:
a. Penelaahan terhadap kinerja
b. Pengolahan informasi
c. Pengendalian fisik
d. Pemisahan tugas
(4) Informasi dan komunikasi ( information and communication ) adalah pengidentifikasian, penangkapan, dan pertukaran informasi dalam suatu bentuk dari waktu yang memungkinkan orang melaksanakan tanggungjawab mereka. Sistem imformasi mencakup sistem akuntansi, terdiri atas metode dan catatan yang dibangun untuk mencatat, mengolah, meringkas, dan melaporkan transaksi entitas dan untuk memelihara akuntabiltas bagi aktiva, utang dan ekuitas. Komunikasi mencakup penyediaan suatu pemahaman tentang peran dan tanggung jawab individual berkaitan dengan pengendalian intern terhadap pelaporan keuangan.
(5) Pemantauan ( monitoring ) adalah proses menentukan mutu kinerja pengendalian intern sepanjang waktu. Pemantauan mencakup penentuan disain dan operasi pengendalian yang tepat waktu dan pengambilan tindakan koreksi.
2) Mengefektifkan aktivitas pengendalian
(1) Review Kinerja
Aktivitas pengendalian ini mencakup review atas kinerja sesungguhnya dibandingkan dengan anggaran, prakiraan, atau kinerja priode sebelumnya, menghubungkan satu rangkaian data yang berbeda operasi atau keuangan satu sama lain, bersama dengan analisis atas hubungan dan tindakan penyelidikan dan perbaikan; dan review atas kinerja fungsional atau aktivitas seseorang manajer kredit atas laporan cabang perusahaan tentang persetujuan dan penagihan pinjaman.
(2) Pengolahan informasi
Berbagai pengendalian dilaksanakan untuk mengecek ketepatan, kelengkapan, dan otorisasi transaksi. Dua pengelompokan luas aktivitas pengendalian sistem informasi adalah pengendalian umum ( general control ) dan pengendalian aplikasi (application control). Pengendalian umum biasanya mencakup pengendalian atas operasi pusat data, pemerosesan dan pemeliharaan perangkat lunak sistem, keamanan akses, pengembangan dan pemeliharaan sistem aplikasi. Pengendalian ini berlaku untuk maiframe, minicomputer dan lingkungan pemakai akhir (end-user ). Pengendalian ini membantu menetapkan bahwa transaksi adalah sah, diotorisasi semestinya, dan diolah secara lengkap dan akurat.
(3) Pengengendalian fisik
Aktivitas pengendalian fisik mencakup keamanan fisik aktiva, penjagaan yang memadai terhadap fasilitas yang terlindungi dari akses terhadap aktiva dan catatan; otorisasi untuk akses ke program komputer dan data files; dan perhitungan secara periodik dan pembandingan dengan jumlah yang tercantum dalam catatan pengendali.
b. Meningkatkan Good Corporate Governance
Meningkatkan kultur organisasi dapat dilakukan dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) yang saling terkait satu sama lain agar dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasikan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah (menurut Saifuddien Hasan, 2000) :
(1) Keadilan ( Fairness )
Melidungi kepentingan pemegang saham minoritas dan steakholders lainnnya dari rekayasa transaksi yang bertentangan dengan peraturan peraturan yang berlaku
(2) Transparansi
Keterbukaan ( disclosure ) bagi steakholder yang terkait untuk melihat dan memahami proses suatu pengambilan keputusan/pengelolaan suatu perusahaan. Dalam hal ini terkait pula kewajiban perusahaan untuk mengungkapkan informasi material kepada pemegang saham /publik dan pemerintah secara benar, akurat, teratur dan tepat waktu.
(3) Akuntabilitas ( Accountability )
Menciptakan sistem pengawasan yang efektif didasarkan atas distribusi dan keseimbangan kekuasaan antar anggota direksi, komisaris, pemegang saham dan pengawas. Di sini menyangkut pula proses pertanggungjawaban para pengurus perusahaan atas keputusan – keputusan yang dibuat dan kinerja yang dicapai.
(4) Tanggung jawab ( Responsibility )
Perusahaan memiliki tanggung jawab untuk mematuhi hukum dan ketentuan/peraturan yang berlaku termasuk tanggap terhadap lingkungan di mana perusahaan berada
(5) Moralitas
Manajemen dan seluruh individu dalam perusahaan wajib menjunjung tinggi moralitas, di dalam prinsip ini terkandung unsurunsur kejujuran, kepekaan sosial dan tanggug jawab individu
(6) Kehandalan ( Reliability )
Pihak manajemen/pengelola perusahaan dituntut untuk memiliki kompetensi dan profesionalisme dalam pengelolaan perusahaan
(7) Komitmen
Pihak manajemen/pengelola perusahaan dituntut untuk memiliki komitmen penuh untuk selalu meningkatkan nilai perusahaan , dan bekerja untuk mengoptimalkan nilai pemegang sahamnnya ( duty of loyalty ) serta menurunkan risiko perusahaan Dalam pedoman GCG yang disusun oleh The National Committee on Coprporate Governance (Maret 2000) telah disarankan dengan jelas bagi perusahaan untuk memenuhi 13 (tiga belas) aspek penting yang harus diperhatikan manajemen perusahaan yaitu : Pemegang Saham, Dewan Komisaris, Direksi, Sistem Audit, Sekretaris Perusahaan, Pihak-pihak yang berkepentingan (steakholders), Keterbukaan,Kerahasiaan, Informasi Orang Dalam, Etika Barusaha dan Anti Korupsi, Donasi, Kepatuhan pada Peraturan Perundangundangan (Proteksi Kesehatan, Keselamatan Kerja , Pelestarian Lingkungan serta Kesempatan Kerja yang sama).
KESIMPULAN
Dalam menjalankan kegiatan usahanya, perusahaan senantiasa menghadapi berbagai resiko yang dinamakan resiko bisnis (bussiness risk). Termasuk diantaranya adalah resiko terjadinya kecurangan (fraud) yang tergolong dalam resiko integritas (Integrity Risk). Menurut ACFE, kecurangan yang terjadi dapat digolongkan ke dalam tiga kategori kecurangan, kecurangan laporan keuangan (Financial Statement Fraud), penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation), dan korupsi (Corruption).
Tanda-tanda awal (symptoms) biasanya muncul dalam kasus kecurangan, walau demikian munculnya symptoms tersebut belum berarti telah terjadi kecurangan. Symptoms ini dikenal dengan nama Red flag, yang seyogyanya dipahami dan digunakan oleh internal auditor dalam melakukan analisis dan evaluasi lebih lanjut untuk mendeteksi adanya kecurangan yang mungkin timbul sebelum dialakuakan investigasi.
Setelah memahami jenis-jenis kecurangan, internal auditor perlu memahami secara tepat struktur pengendalian intern yang baik agar dapat melakukan upaya-upaya untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan. Menurut COSO, struktur pengendalian intern terdiri atas lima komponen, yaitu Lingkungan Pengendalian (Control Environment), Penaksiran Risiko (Risk Assessment), Standar Pengedalian (Control Activities), Informasi Dan Komunikasi (Information And Communication), serta Pemantauan (Monitoring).
Jika struktur internal control sudah ditempatkan dan berjalan dengan baik, peluang adanya kecurangan yang tak terdeteksi akan banyak berkurang. Pemeriksa kecurangan harus mengenal dan memahami dengan baik setiap elemen dalam struktur pengendalian intern agar dapat melakukan evaluasi dan mencari kelemahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Amrizal. 2004. Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan Oleh Internal Auditor. Artikel. Jakarta.
Sudrajat, Handoyo. 2007. Dilema Auditor Internal Dalam Program Anti Korupsi: Integritas Atau Loyalitas?. Round Table Discussion AAI 2007. Jakarta
Hasan Safuddien, Membangun GCG pada Perusahaan, dari Bubble Company menuju Sustainable Company, bahan Konvensi Nasional Akuntan IV tahun 2000
Nama : Prima Geradiko
ReplyDeleteNIM : p2cd08009 & c4c008006
INTEGRITAS SEORANG AKUNTAN
I. Latar Belakang
Berdasarkan teori Agensi yang mendasari atas pekerjaan akuntan publik yang diperlukan oleh pihak estern yaitu investor, pemegang saham, kreditor, dan instansi pemerintah seperti instansi pajak. Di dalam teori Agensi menyebutkan bahwa tidak adanya kepercayaan antara dua belah pihak yang saling borerkepentingan yaitu pemilik dengan manajer disebabkan beda kepentingan dalam satu perusahaan, dengan tidak adanya saling percaya antara dua belah pihak maka diserahkan kepada orang ketiga yaitu auditor / konsultan perpajakan. Sementara dalam melaksanakan kegiatan audit, auditor harus melakukan pekerjaannya berdasarkan misi IAI-KAP di antaranya memelihara integritas, komitmen dan kompetensi anggota dalam pengembangan manajemen bisnis dan publik yang didasari pada etika tanggung jawab dan lingkungan hidup (Majalah Akuntansi, Edisi 47/ Tahun XII/ Juli 2005:24) dan setiap pekerjaan Audit tidak boleh terlepas dari Etika Profesi Akuntan.
Kita dapat bercermin dari salah satu kasus yaitu terjadi upaya manipulasi pajak senilai Rp 4,2 miliar di Indonesia. Akibat kasus ini, anak perusahaannya PT Barents Indonesia didenda Rp 2 miliar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.dan MG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York
Orang-orang yang turut bertanggung jawab mengenai upaya manipulasi tersebut, selain dari pelaku utamanya, disebutkan para komisaris, direksi, Bapepam, Penjamin emisi dan tak luput akuntan yang memeriksa. Semua berusaha menolak untuk menerima tanggung jawab dan masing-masing mencari kambing hitam kecuali akuntannya yang bungkam dan tidak mampu memperdengarkan suaranya. Kesalahan yang terbesar yang dilakukan oleh akuntan adalah memberikan jasa yang illegal menurut aturan etika, ia mengetahui masalah tersebut menyembunyikan kewajiban pajak PT tersebut
Dari kasus di atas kurangnya integritas seorang akuntan dalam menyelesaikan suatu masalah yang harus dipecahkan oleh seorang akuntan, Seharusnya seorang akuntan harus bekerja objektif, tidak salah menyajikan sesuatu apapun yang harus dipaparkan oleh seorang akuntan demi kepentingan bersama. (Moenaf H Regaf: 2007:160)
II. Pengertian Integritas
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi anggota dalam menguji semua keputusan yang diambilnya.
Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
Integritas diukur dalam bentuk apa yang benar dan adil. Dalam hal tidak terdapat aturan, standar, panduan khusus atau dalam menghadapi pendapat yang bertentangan, anggota harus menguji keputusan atau perbuatannya dengan bertanya apakah anggota telah melakukan apa yang seorang berintegritas akan lakukan dan apakah anggota telah menjaga integritas dirinya. Integritas mengharuskan anggota untuk menaati baik bentuk maupun jiwa standar teknis dan etika.
Integritas juga mengharuskan anggota untuk mengikuti prinsip obyektivitas dan kehati-hatian profesional.
Berkembangnya profesi akuntan telah banyak diakui oleh berbagai kalangan. Kebutuhan dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat luas akan jasa akuntan inilah yang menjadi pemicu perkembangan tersebut. Namun demikian, masyarakat belum sepenuhnya menaruh kepercayaan terhadap profesi akuntan. Krisis kepercayaan yang menimpa akuntan di Indonesia semakin terlihat jelas seiring dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Masalah utama yang paling sering dipersoalkan dalam masalah ketidakpercayaan ini adalah Etika profesi dari para akuntan tersebut dalam melaksanakan pekerjaannya. Problema ini berkaitan dengan berbagai praktek pelanggaran moral yang dilakukan oleh akuntan sebagaimana laporan Dewan Kehormatan IAI dan pengurus Pusat IAI pada tiap-tiap laporan pertanggung jawaban pengurus (Agoes, 2004:52).
Auditor Independen adalah Auditor yang berpraktek dalam Kantor Akuntan Publik, yang menyediakan berbagai jasa yang diatur dalam Standar Profesional Akuntan Publik (Auditing, Atestasi, Akuntansi dan Review, dan Jasa Konsultasi) (Mulyadi, 2002:52).
Mulyadi (2002:58) untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab professional dengan integritas setinggi mungkin, serta setiap anggota harus mempertahankan objektivitas dan bebas dari pertentangan kepentingan dalam melakukan tanggung jawab professional. Seorang anggota yang berpraktek sebagai akuntan publik harus bersikap independent dalam kenyataan dan penampilan pada waktu melaksanakan audit atau jasa atestasi lainnya. Ada beberapa faktor yang mampu mempengaruhi integritas Auditor Independen antara lain: 1)Faktor Lama bekerja; 2) Faktor Imbalan yang diterima; 3) Faktor Religuitas dan 4) Faktor Emotional Quotient (EQ).
III. Pembahasan
Pada dasarnya seseorang yang bekerja, mengharapkan imbalan yang sesuai dengan pekerjaannya. Karena dengan upah yang sesuai dengan pekerjaannya, maka akan timbul pula rasa gairah kerja yang semakin baik dan ada kecenderungan untuk bekerja secara jujur sebabkan ada rasa timbal balik yang selaras dan tercukupi kebutuhannya
Keberagaman (Religuitas) diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan kegiatan ritual (ibadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan akhir.
Emotional Quotient (EQ) adalah bagaimana seseorang itu pandai mengendalikan perasaan dan emosi pada setiap kondisi yang melingkupinya. EQ lebih penting dari IQ. Bagaimanapun juga seseorang yang cerdas bukanlah hanya cerdas dalam hal intelektualnya saja tetapi intelektualitas tanpa adanya EQ dapat melahirkan sikap yang tidak baik (Goleman 1997).
Ketiga Faktor tersebut dapat berpengaruh langsung & material kepada pelnggaran yang berkaitan dengan integritas seorang auditor, seperti tindakan dan upaya yang illegal dalam mendapatkan suatu tujuan tertentu, contoh :
1. Pembayaran Suap
2. Kontribusi Politik Ilegal
3. Pelanggaran hukum dan peraturan pemerintah tertentu
4. Pelanggaran peraturan perpajakan.
Akuntan publik sebagai profesi seperti halnya profesi lain tidak steril terhadap adanya penyimpangan. Akan ada oknum-oknum yang tidak mematuhi rambu-rambu yang ditetapkan profesi. Sebagai pemakai ekstern, Ditjen Pajak bisa menggunakan laporan keuangan sesuai kepentingannya, misalnya untuk menghitung pajak terhutang wajib pajak (WP) yang bersangkutan. Laporan keuangan itu bisa yang telah diaudit maupun tidak, tergantung kepada WP yang menyampaikannya.
Bagaimana tanggung jawab akuntan publik terhadap laporan keuangan yang diauditnya dan dilampirkan dalam SPT klien, atau bagaimana jika ternyata laporan keuangan itu tidak benar?
Paragraf pertama dari suatu laporan akuntan berbunyi demikian "...Laporan keuangan ini merupakan tanggung jawab manajemen perusahaan. Tanggung jawab kami adalah memberikan pendapat tehadap laporan keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan".
Jadi akuntan publik mempunyai tanggung jawab terhadap opini yang diberikan atas laporan keuangan yang diperiksanya. Ia tidak bisa lari dari tanggung jawab jika laporan keuangan yang dikaitkan dengan pendapatnya itu terdapat penyimpangan. Besarnya tanggung jawab akuntan publik ini harus dilihat baik dari perspektif WP maupun akuntan publik. Artinya apakah ketidakbenaran pendapat akuntan publik itu disebabkan kesalahan WP atau akuntan public .Jika memang kesalahan itu ada di akuntan publik, maka akuntan publik harus dikenakan sanksi. Tetapi jika ternyata kesalahan itu ada pada WP, akuntan publik harus dibebaskan dari tanggung jawab
IV. Kesimpulan
Dalam menjalankan tugasnya, anggota KAP harus mempertahankan integritas dan objektivitas, harus bebas dari benturan kepentingan (Conflict Of Interest) dan tidak boleh membiarkan faktor salah saji material (material misstatement) yang diketahuinya atau mengalihkan (mensubordinasikan) pertimbangannya kepada pihak lain. Pada dasarnya integritas akuntan adalah suatu sikap akuntan yang mampukah ia bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa yang berhubungan langsung dengan kepercayaan public. Jika terjadi konflik sikap yang harus auditor rseorang auditor atau konsultan adalah Pelaporan Tindakan Ilegal Apabila tindakan ilegal mempunyai pengaruh material thd laporan keuangan . keuangan Diusulkan adanya disclosure Apabila manajemen menolak Auditor memberikan pendapat tidak wajar atau menolak pendapat Auditor memberikan Apabila manajemen menolak laporan pendapat ) auditor. (pendapat Auditor mengundurkan diri dari penugasan audit. menolak. pendapat. )
DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Akuntansi Indonesia,1998. Standar profesi akuntan. Bagian penerbitan STIE-YKPN, Yogyakarta
……………………………., 1998. Kode Etik Akuntan Indonesia. Prosiding kongres VIII Ikatan Akuntan Indonesia
……………………………., 2006. Kompartemen Akuntansi Publik. Direktori Kantor Akuntan Publik dan Akuntan Publik, Jakarta, IAI KAP
“Survei faktor-faktor yang mempengaruhi integritas auditor independent di Pekanbaru Riau”; By:Diana Purmalasari Muhammad Sar’I (Mahasiswa Fekonsos UIN Suska Riau)e-mail : regsna11@gmail.com http://regsna11.blogspot.com
Nama : Dendra Kurnianto
ReplyDeleteNIM : C4C008008
Pendeteksian Kecurangan (Fraud) Laporan Keuangan oleh Auditor Eksternal
PENDAHULUAN
Dalam mekanisme pelaporan keuangan, suatu audit dirancang untuk memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan tidak dipengaruhi oleh salah saji (mistatement) yang material dan juga memberikan keyakinan yang memadai atas akuntabilitas manajemen atas aktiva perusahaan. Salah saji itu terdiri dari dua macam yaitu kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud). Fraud diterjemahkan dengan kecurangan sesuai Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 70, demikian pula error dan irregularities masing-masing diterjemahkan sebagai kekeliruan dan ketidakberesan sesuai PSA sebelumnya yaitu PSA No. 32.Menurut standar pengauditan, faktor yang membedakan kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang sengaja atau tidak disengaja (IAI, 2001).
Terjadinya kecurangan– suatu tindakan yang disengaja - yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu pengauditan dapat memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi proses pelaporan keuangan. Adanya kecurangan berakibat serius dan membawa banyak kerugian. Kasus-kasus skandal akuntansi dalam tahuntahun belakangan ini memberikan bukti lebih jauh tentang kegagalan audit yang membawa akibat serius bagi masyarakat bisnis. Kasus seperti itu terjadi pada Enron, Global Crossing, Worldcom di Amerika Serikat yang mengakibatkan kegemparan besar dalam pasar modal. Kasus serupa terjadi di Indonesia seperti PT Telkom dan PT Kimia Farma. Meski beberapa salah saji yang terjadi belum tentu terkait dengan kecurangan, tetapi faktor-faktor risiko yang berkaitan dengan kecurangan oleh manajemen terbukti ada pada kasus-kasus ini.
Menjadi permasalahan yang menimbulkan pertanyaan di sini: Mengapa auditor eksternal gagal dalam mendeteksi Kecurangan dalam laporan keuangan seperti yang dicontohkan di atas? Mestinya bila auditor eksternal yang bertugas pada audit atas perusahaan-perusahaan ini menjalankan audit secara tepat termasuk dalam hal pendeteksian kecurangan maka tidak akan terjadi kasus-kasus yang merugikan ini. Faktor apa saja yang menghalangi auditor eksternal dapat menjalankan tugasnya sehingga kecurangan dapat terdeteksi? Selanjutnya bila faktor tersebut terjawab, bagaimana upaya perbaikan sehingga auditor eksternal mampu memenuhi harapan pengguna laporan keuangan?
PERHATIAN LINGKUNGAN AUDIT TERHADAP KECURANGAN
Perhatian yang semakin besar atas kecurangan oleh para praktisi, akademisi, dan pemerintah beberapa dekade belakangan terjadi terutama oleh karena munculnya dua aspek yang berkaitan dalam lingkungan audit, yaitu expectation gap dan litigation crisis (Nieschwietz et al. 2000). Di Amerika Serikat, pada akhir tahun 1970an, Commisions on Auditors Responsibilities yang ditugaskan oleh AICPA atau sering disebut Komisi Cohen telah mengidentifikasi adanya suatu kesenjangan harapan atau expectation gap berdasarkan survei yang dilakukan mereka. Survei ini mengindikasikan bahwa standar yang diharapkan pengguna jasa auditor eksternal melebihi dari apa yang dipercaya para auditor dapat mereka berikan. Mayoritas masyarakat investor yang disurvei menginginkan agar audit dapat memberikan keyakinan yang absolut (absolute assurance) agar laporan keuangan bebas dari semua jenis salah saji material baik kekeliruan (unintentional misstatements) maupun kecurangan.
Pihak profesi auditor eksternal, di pihak lain, cenderung untuk menekankan keterbatasan kemampuan auditor mendeteksi kecurangan dan tidak menanggapinya sebagai aspek positif (AICPA, 1978). Cara pengauditan yang memverifikasi semua transaksi dan jumlah untuk maksud mendeteksi kecurangan telah bergeser menjadi pengauditan yang bermaksud menentukan kewajaran (fairness) pelaporan keuangan. Pergeseran ini merupakan tanggapan atas semakin banyaknya volume aktivitas bisnis di awal abad 20 (sehingga pendeteksian kecurangan menjadi tidak flexible) dan muncul dan semakin kuat peran pemegang saham. Pemegang saham dan pihak luar lainnya semakin mempercayakan auditor untuk melakukan atestasi informasi yang diberikan manajemen sehingga mengharuskan auditor menggeser tujuan utama audit yaitu untuk memberikan keyakinan untuk informasi keuangan kepada pihak eksternal. Praktik ini sampai sekarang masih berlaku an tidak berbeda jauh dengan di awal abad lalu yaitu fokus utama audit adalah memberikan reasonableness atas laporan keuangan, seperti yang dipegang oleh AICPA.
Aspek masalah kedua adalah krisis litigasi. Di Amerika Serikat, selama tahun-tahun 1970an dan 1980an, auditor eksternal mengalami peningkatan signifikan dalam biaya litigasi, sehingga mengarah pada litigation crisis Kasus kegagalan audit yang berlanjut pada litigasi juga ditemukan pada audit perusahaan di Indonesia. Berbagai kasus sejak kasus Bank Summa pada tahun 1992, dan berbagai kasus lain sesudahnya, meski hampir tidak ada melewati pengadilan, namun telah diganjar dengan berbagai sanksi, baik dari organisasi profesi yaitu IAI, pemerintah melalui menteri keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Berbagai kasus ini juga dapat digolongkan sebagai terkena risiko litigasi (Mayangsari dan Sudibyo 2006).
PERKEMBANGAN STANDAR-STANDAR PENGAUDITAN YANG MENGATUR PENDETEKSIAN KECURANGAN OLEH AUDITOR EKSTERNAL
Pada tahun 1980an dibentuk lagi komisi khusus yang bertugas untuk memberi rekomendasi atas upaya meningkatkan proses mendeteksi dan mengatasi pelaporan keuangan yang mengandung kecurangan. Komisi yang bernama National Commission on Fraudulent Financial Reporting atau sering disebut Komisi Treadway ini di tahun 1987 menghasilkan rekomendasi penting yang terbagi tiga bagian berdasarkan pihak-pihak yang dituju, yaitu rekomendasi-rekomendasi kepada perusahaan publik, kepada pihak akuntan publik independen dan kepada Securities and Exchange Commission (SEC) dan pihak lainnya. Salah satu rekomendasi penting Komisi Treadway kepada pihak akuntan publik independen adalah perlunya perubahan standar pengauditan yang mengakui secara lebih baik tanggung jawab auditor untuk mendeteksi kecurangan atas laporan keuangan.
Sebagai tanggapan atas adanya expectation gap, AICPA pada tahun 1988 telah mengeluarkan standar pengauditan yang sering disebut the expectation gap auditing standards, yang terdiri sembilan standar. Salah satunya yaitu SAS No. 53, The Auditor’s Responsibility to Detect and Report Errors and Irregularities, yang menjelaskan bahwa tanggung jawab auditor eksternal adalah untuk mendeteksi salah saji material. Hal ini dicapai dengan mendiskusikan karakteristik klien yang disebut red flag – yang meningkatkan risiko salah saji material dan harus meningkatkan sikap skeptisisme oleh auditor. Namun standar ini belum tegas atau eksplisit menggunakan istilah fraud atau kecurangan tetapi irregularities atau ketidakberesan. Menurut PSA No. 32 yang mengadopsi SAS No.53, ketidakberesan adalah salah saji atau hilangnya jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan yang disengaja. Lebih lanjut ketidakberesan mencakup kecurangan dalam pelaporan keuangan yang menyesatkan, yang seringkali disebut kecurangan manajemen dan penyalahgunaan aktiva, yang seringkali disebut sebagai unsur penggelapan.
Dalam perkembangannya, AICPA Expectation Gap Roundtable tahun 1992 memunculkan pertanyaan apakah SAS No. 53 telah secara efektif mampu mempersempit kesenjangan persepsi. Tahun 1997, ASB mengeluarkan SAS No. 82, Consideration of Fraud in Financial Statement Audit, untuk menggantikan SAS No. 53. Sesuai dengan judulnya standar secara eksplisit menunjuk pada kecurangan, dan di dalamnya mendeskripsikan kecurangan dan karakteristiknya, meminta agar dilakukan penilaian risiko kecurangan secara spesifik untuk tiap penugasan audit, dan memberikan pedoman kapan auditor mengidentifikasi faktor risiko kecurangan. Selain itu diberikan juga pedoman untuk pengevaluasian hasil, persyaratan untuk dokumentasi serta komunikasi mengenai kecurangan baik internal maupun eksternal.
Setelah terjadinya gelombang skandal akuntansi besar-besaran seperti kasus Enron di tahun 2001, perhatian publik memicu tindakan drastis oleh pemerintah dan kongres Amerika Serikat dengan mengeluarkan Undang-undang Sarbanes-Oxley di tahun 2002. AICPA demikian pula menanggapi dengan merasa perlu untuk mengubah kembali SAS No. 82 menjadi SAS No.99 di tahun 2002. Terbitnya SAS No. 99 merupakan upaya terobosan baru untuk mengatasi kelemahan SAS No. 82. Walaupun standar baru ini tidak mengubah tanggung jawab pendeteksian kecurangan oleh auditor yang berlaku sebelumnya, tetapi standar ini memperkenalkan konsep, persyaratan dan panduan baru yang membantu auditor memenuhi tanggung jawabnya.
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN PENDETEKSIAN KECURANGAN
Pendeteksian kecurangan bukan merupakan tugas yang mudah dilaksanakan oleh auditor eksternal (selanjutnya disebut auditor). Atas literatur yang tersedia, dapat dipetakan empat faktor yang teridentifikasi yang menjadikan pendeteksian kecurangan menjadi sulit dilakukan sehingga auditor gagal dalam usaha mendeteksi. Faktor-faktor penyebab tersebut diuraikan seperti dijelaskan di bawah ini.
Karakteristik Terjadinya Kecurangan
Terjadinya kecurangan sebenarnya berbeda dengan kekeliruan. Menurut Loebbecke et al. (1989), kecurangan lebih sulit untuk dideteksi karena biasanya melibatkan penyembunyian (concealment). Penyembunyian itu terkait dengan catatan akuntansi dan dokumen yang berhubungan, dan hal ini juga berhubungan dengan tanggapan pelaku kecurangan atas permintaan auditor dalam melaksanakan audit. Jika auditor meminta bukti transaksi yang mengandung kecurangan, dia akan menipu dengan memberi informasi palsu atau tidak lengkap.
Johnson et al. (1991) menyebutkan ada tiga taktik yang digunakan manajer untuk mengelabui auditor.
Taktik pertama adalah membuat deskripsi yang menyesatkan (seperti mengatakan perusahaan yang sedang menurun sebagai perusahaan yang bertumbuh) agar menyebabkan auditor menghasilkan ekspektasi yang tidak benar sehingga gagal mengenali ketidakkonsistenan. Taktik kedua adalah menciptakan bingkai (frame) sehingga menimbulkan hipotesis tidak adanya ketidakberesan (nonirregularities hypothesis) untuk evaluasi ketidakkonsisten yang terdeteksi. Taktik ketiga yaitu menghindari untuk memperlihatkan ketidakpantasan dengan membuat serentetan manipulasi kecil (secara individual tidak material) atas akun-akun tertentu dalam laporan keuangan sehingga membentuk rasionalisasi atas jumlah saldo yang dihasilkan. Dengan ketiga taktik ini, manajemen klien akan berhasil bila auditor menggunakan cara sederhana melalui representasi tunggal dalam menginterpretasikan ketidakkonsistenan yang terdeteksi.
Ketidakmampuan auditor dalam pendeteksian kecurangan ini ada hubungan dengan keahliannya dibentuk oleh pengalaman yang relevan dengan kecurangan. Kecurangan itu sendiri frekuensi terjadinya jarang dan tidak semua auditor pernah mengalami kasus terjadinya kecurangan, sehingga pengalaman auditor berkaitan dengan kecurangan tidak banyak. Loebbecke et al. (1989) yang melakukan survei atas 1.050 partner audit KPMG Peat Marwick menemukan adanya 77 kasus kecurangan yang pernah mereka alami. Jika dihitung dari jumlah audit sepanjang karir mereka maka insiden ditemukannya kecurangan menjadi sangat kecil (sekitar 0,32 persen). Dengan jarangnya mereka menghadapi management fraud sehingga jarang pula yang mempunyai latar belakang yang pantas yang mengarah pada kemampuan mendeteksi kecurangan. Selain itu, tugas pendeteksian kecurangan memerlukan pertimbangan yang melibatkan banyak isyarat (multi-cues judgment) yang secara inheren sulit untuk dilakukan tanpa didukung oleh alat bantu (decision aids), bahkan oleh orang yang pakar sekalipun (Eining et al. 1997).
Standar Pengauditan Mengenai Pendeteksian Kecurangan
SAS No. 53 menjawab tantangan kesenjangan harapan dengan secara signifikan meningkatkan tanggung jawab auditor berkaitan dengan kecurangan. Dalam standar ini ditegaskan auditor harus menilai risiko bahwa kekeliruan dan ketidakberesan kemungkinan menyebabkan laporan keuangan berisi salah saji material. Berdasarkan penilaian ini, auditor harus merancang auditnya untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi pendeteksian kekeliruan dan kecurangan yang material atas laporan keuangan. SAS No. 53 memandang persyaratan (requirement) terhadap kekeliruan sama dengan kecurangan. Walaupun SAS No. 53 ini telah memuat sejumlah faktor-faktor yang dapat mengindikasi adanya salah saji material, namun menurut Loebbecke et al. standar ini tidak secara spesifik memberitahukan cara faktor-faktor ini digunakan untuk membedakan antara kekeliruan dengan ketidakberesan serta bagaimana hasil dari tinjauan atas faktor-faktor tersebut diterjemahkan menjadi kecenderungan (likelihood).
Perubahan SAS No. 53 menjadi SAS No. 82 berusaha mengatasi kelemahan di atas. SAS No. 82 meminta penilaian risiko kecurangan dilakukan secara eksplisit dan terpisah. Auditor juga diminta untuk mendokumentasikan penilaian risiko kecurangan secara terpisah, SAS No. 82 memang cukup berhasil mengarahkan auditor untuk memperhatikan kecurangan. Namun SAS No. 82 ini, tidak cukup untuk mendorong auditor untuk mengubah sifat auditnya sebagai tanggapan atas perubahan risiko kecurangan yang dipersepsikan, sehingga mereka tidak memilih prosedur audit yang berbeda. Hasil ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas SAS No. 82 dalam membantu meningkatkan pendeteksian kecurangan. Dengan kata lain, dengan standar ini auditor memang melakukan upaya lebih, tetapi mereka tetap mempertahankan strategi audit yang konstan yang kemungkinan tidak efektif untuk mendeteksi kecurangan. The Panel of Audit Effectiveness (PAE) berpendapat serupa yaitu proses penilaian risiko dan tanggapannya menurut SAS No. 82 ini tidak efektif karena hal ini tidak “mengarahkan prosedur audit secara spesifik terhadap pendeteksian kecurangan”.
Perubahan SAS No. 82 menjadi SAS No. 99 banyak menyerap rekomendasi yang diberikan PAE, sehingga merupakan upaya perbaikan yang signifikan dalam standar pengauditan. SAS No. 99 ini dirancang untuk memperluas prosedur audit yang berkenaan dengan kecurangan material pada laporan keuangan. Standar baru ini mempertimbangkan kecurangan secara menyatu dalam proses audit dan secara terus-menerus dimutakhirkan sampai selesainya audit. SAS No. 99 ini mengingatkan auditor untuk mengatasi kecenderungan alami mereka seperti terlalu percaya pada representasi klien dan bias dan pendekatan audit mereka dengan sikap skeptis dan pikiran yang mempertanyakan. Hal yang penting juga adalah auditor harus menyesampingkan hubungan masa lalu dan tidak menganggap klien jujur. Auditor menurut standar baru ini perlu memperluas lingkup informasi yang mereka gunakan untuk menilai risiko salah saji material karena kecurangan, diluar faktor-faktor risiko kecurangan yang terdapat pada SAS No. 82. Harapan perbaikan dengan berlakunya SAS No. 99 ini amat diharapkan seiring dengan diterapkannya cara-cara baru oleh para auditor dalam penugasan.
LINGKUNGAN PEKERJAAN AUDIT YANG MENGURANGI KUALITAS AUDIT
Lingkungan pekerjaan audit merupakan hal penting yang mempengaruhi kualitas audit termasuk juga dalam kualitas pendeteksian kecurangan. Tekanan-tekanan yang muncul dari lingkungan pekerjaan ini harus dengan tepat dikelola agar tidak berakibat buruk bagi kualitas audit. Tekanan-tekanan lingkungan pekerjaaan itu dapat dibagi menjadi atas beberapa hal yang diterangkan di bawah yaitu tekanan kompetisi atas fee, tekanan waktu dan relasi hubungan auditor-auditee.
Tekanan Kompetisi atas Fee Audit
Kompetisi yang semakin tajam di antara kantor akuntan publik untuk memperebut klien memang tidak terhindarkan lagi dalam bisnis jasa akuntansi. Namun hal ini mempunyai implikasi yang perlu menjadi perhatian oleh pihak profesi akuntan publik yaitu kompetisi yang semakin tajam akan mengakibatkan penekanan untuk penurunan fee audit. Tekanan ini akan mengakibatkan KAP mengurangi pekerjaan audit untuk mempertahankan marjin labanya (AICPA 1978) dan mengarah pada perubahan baik atas kejadian kecurangan maupun pendeteksian kecurangan. Untuk menjaga agar marjin laba tetap menguntungkan, maka biaya harus ditekan dan efisiensi diutamakan. Di pihak lain pendeteksian kecurangan yang ekstensif memakan biaya besar dan tidak efisien. Melaksanakan pendeteksian kecurangan mungkin efektif untuk kasus audit yang mengandung kecurangan, namun tidak akan efisien pada kasus pengauditan pada klien yang tidak terjadi kecurangan. Banyak manajemen KAP keberatan atas pelaksanaan pendeteksian kecurangan yang terlalu ekstensif dilatarbelakangi oleh hal ini. Tekanan kompetisi jelas membawa konsekuensi bagi kualitas pekerjaan auditor eksternal.
Tekanan Waktu
Tekanan waktu (time pressure) adalah ciri lingkungan yang biasa dihadapi auditor. Adanya tenggat waktu penyelesaian audit membuat auditor mempunyai masa sibuk yang menuntut agar dapat bekerja cepat. Para peneliti dan praktisi banyak berpendapat bahwa tekanan ini dapat memperburuk kualitas pekerjaan audit. Salah satu efek dari tekanan waktu atas kinerja auditor dalam pendeteksian kecurangan, adalah bahwa pengauditan dilaksanakan dalam suatu lingkungan multi tugas dimana di bawah tekanan waktu, beberapa tugas akan lebih diprioritaskan dibandingkan tugas lainnya. Auditor yang berada di bawah tekanan waktu yang lebih akan kurang sensitif terhadap isyarat kecurangan sehingga kurang mungkin untuk dapat mendeteksi kecurangan. Walaupun begitu, tekanan waktu tidak mempengaruhi kinerja auditor yang berkaitan dengan pengumpulan bukti atas frekuensi dan jumlah salah saji. Hasil ini konsisten dengan penelitian-penelitian dalam bidang psikologi yang memprediksi bahwa terdapat pengurangan dalam perhatian bila seseorang diperhadapkan dengan tekanan waktu, dan menunjukkan bahwa tekanan waktu akan menyebabkan auditor gagal untuk menghadirkan sinyal-sinyal kecurangan dalam bukti audit.
Hubungan Auditor-Auditee
Beberapa pihak berpendapat bahwa komunikasi memainkan peranan penting dalam mendeteksi kecurangan. Adanya peran komunikasi dalam pendeteksian kecurangan, yaitu (1) komunikasi dengan personel klien penting dalam mendeteksi kecurangan (2) kemungkinan menerima komunikasi sensitif dari personel klien sangat tergantung dari kuatnya hubungan antara auditor dengan orang yang mengetahui adanya tindakan perbuatan salah itu, dan (3) kemauan mengkomunikasi itu dipengaruhi oleh pemahaman orang yang mengetahui tindakan salah atas siapa yang memperoleh keuntungan dari tindakan salah itu–apakah pelakunya atau organisasi atau keduanya. Hal yang terakhir ini relevan dalam upaya melaporkan kecurangan manajemen, karena kecurangan sering melibatkan (paling tidak) keuntungan jangka pendek bagi pelakunya, perusahaan dan orang yang mengetahuinya.
Meningkatnya komunikasi ini juga akan menambah kredibilitas terhadap laporan keuangan. Komunikasi ini juga tampaknya lebih efektif dalam menemukan kecurangan dibandingkan menggunakan metode dokumenter. Namun dalam praktek di lapangan, banyak hal yang menghambat komunikasi yang baik ini. Salah satu sebabnya adalah tekanan kompetisi yang menekankan efisiensi dan mengarahkan perhatian pada usaha mengejar pendapatan. Auditor lebih dituntut untuk mencapai efisiensi audit yang maksimum, dan meluangkan waktu untuk membangun hubungan dengan klien tidak dianggap sebagai aktivitas yang sesuai. Selain itu banyaknya perputaran para partner yang pindah dan masuk tidak memungkinkan menjalin hubungan baik dengan manajemen puncak klien. Klien juga banyak yang berpindah auditor, dan seringkali menjalin hubungan untuk pertama kali ini juga menimbulkan masalah serius.
UPAYA PERBAIKAN DALAM PENDETEKSIAN KECURANGAN
Identifikasi atas faktor-faktor penyebab yang diuraikan sebelumnya menjadi dasar untuk kita memahami kesulitan dan hambatan auditor menjalankan tugasnya dalam mendeteksi kecurangan. Berikut analisis atas masing-masing faktor tersebut. Faktor pertama yaitu karakteristik terjadinya kecurangan dan kemampuan auditor menghadapinya merupakan faktor tersulit diatasi. Pelatihan dan pengalaman audit saja tidak cukup bagi auditor untuk dapat membongkar pengelabuan atau penyembunyian yang disengaja melalui praktik kecurangan. Auditor berpengalaman terbaik adalah auditor yang sering menghadapi dan menemukan kecurangan, dan ini sedikit sekali ditemukan. Oleh karena upaya untuk memperbaiki kemampuan auditor tidak bisa bertumpu pada pelatihan dan pengalaman audit yang biasa. Perlu ada alat bantu (decision aids) yang memadai untuk membantu auditor memperbaiki kemampuan deteksinya.
Faktor kedua yaitu kurangnya standar pengauditan yang memberikan arahan yang tepat merupakan faktor yang relatif mampu ditanggulangi. Sudah ada upaya perbaikan dengan keluarnya standar pengauditan baru di Amerika Serikat yaitu SAS No. 99. Seperti dikemukakan di depan, terbitnya dan diterapkannya standar baru ini membawa harapan baru bagi perbaikan upaya dan peningkatan keahlian auditor. Berbagai cara dalam standar ini menggariskan perlu upaya peningkatan skeptisisme profesional sehingga meningkatkan kewaspadaan auditor atas kemungkinan kecurangan.
Faktor ketiga yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaan audit yang mengurangi kualitas audit merupakan faktor yang relatif dapat terkendalikan dan mampu diperbaiki. Lingkungan pekerjaan auditor harus diciptakan untuk mampu menghasilkan kualitas audit yang tinggi. Tiga aspek utama dalam lingkungan pekerjaan audit yaitu tekanan kompetisi atas fee audit, tekanan waktu dan hubungan auditor-auditee, dapat diatasi sepenuhnya oleh manajemen kantor akuntan publik (KAP). Ketiga aspek ini pada intinya berujung pada penekanan biaya atau efisiensi. Terdapat trade-off di sini di mana penekanan efisiensi yang berlebihan akan mengorbankan efektivitas audit.
Meskipun demikian, bila hanya bertumpu pada kesadaran internal manajemen, upaya perbaikan belumlah cukup. Perlu adanya insentif dan disinsentif secara institusional yang mendorong manajemen mempertimbangkan trade-off dan memperbaiki kualitas audit. Sebagai contoh pemberian sanksi atau penalti bagi kegagalan audit merupakan suatu cara untuk mendorong auditor memperhatikan kualitas auditnya. Selain mekanisme pengawasan baik dari organisasi profesi maupun pemerintah melalui otoritas pasar modal menjaga agar kegagalan dapat dicegah dan ditemukan. Mekanisme tata kelola organisasi (corporate governance) oleh auditee yang dijalankan dengan efektif melalui komite audit juga akan mampu memantau dan memperhatikan proses pengauditan yang sesuai harapan.
Terakhir faktor keempat yaitu metode dan prosedur audit dalam pendeteksian kecurangan merupakan faktor yang relatif dapat dan telah diperbaiki. Diterapkan pendekatan yang lebih bersifat holistik melalui metode yang berbasis risiko bisnis dan strategik dapat menjadi acuan sebagai metode yang baik. Meski banyak perdebatan tentang motivasi dan kemanfaatan metode baru ini, namun upayanya yang berusaha mengatasi kelemahan metode audit tradisional perlu diberikan dukungan. Beberapa KAP telah mengimplementasikan metode atau pendekatan baru ini, dan riset-riset terus berjalan untuk membuktikan manfaatnya.
KESIMPULAN
Dari uraian permasalahan-permasalahan diatas dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1) Pertimbangan atas kecurangan dalam pelaporan keuangan yang semakin meningkat belakangan ini timbul dari adanya upaya mempersempit kesenjangan harapan antara pengguna dengan pihak penyedia jasa pengauditan. Disamping untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat atas profesi akuntan publik dan mengurangi biaya-biaya litigasi, 2) pendeteksian kecurangan dalam audit laporan keuangan oleh auditor perlu dilandasi dengan pemahaman atas sifat, frekuensi dan kemampuan pendeteksian oleh auditor. Sifat terjadinya kecurangan yang melibatkan penyembunyian dan frekuensinya jarang dihadapi auditor, seharusnya tidak membuat auditor berpuas diri dengan pengauditan yang ada sekarang. Permasalahan bahwa terdapat keterbatasan auditor dalam pelaksanaan pendeteksian kecurangan merupakan tantangan yang perlu dihadapi pihak profesi dan akademisi, 3) sejauh ini standar pengauditan mengenai pendeteksian kecurangan telah terus-menerus diupayakan untuk memperbaiki praktek pengauditan yang berjalan. Patokan yang selalu diacu adalah efektivitas dari standar ini dalam mengarahkan keberhasilan pendeteksian kecurangan.
Beberapa standar terdahulu kurang memberikan pedoman dalam memberikan arah pendeteksian kecurangan. Standar terbaru diharapkan membawa harapan baru dengan mengatasi kelemahankelemahan sebelumnya. Perlu lebih banyak risetriset empiris yang mendukung validitas atas efektivitas standar baru ini, khusus untuk di Indonesia, mengingat kegunaannya, ada baiknya Ikatan Akuntan Indonesia segera mengadopsi SAS No. 99 untuk menggantikan PSA No. 70 agar praktik pendeteksian kecurangan yang terbaru dapat diarahkan penerapannya., 4) permasalahan yang terdapat pada lingkungan pekerjaan audit bila tidak ditangani dengan baik akan berakibat buruk pada kualitas audit. Adanya tekanan kompetisi, tekanan waktu dan tekanan hubungan dengan klien demikian juga dapat berdampak pada keberhasilan pendeteksian kecurangan. Pihak KAP perlu terus-menerus menyadari masalah ini dan konsekuensinya serta menjaga agar tekanan-tekanan dalam lingkungan ini tidak bertambah buruk. Hal yang masih banyak dikerjakan ke masa depan adalah mencari dan memperbaiki metode dan prosedur yang paling tepat dalam melakukan pendeteksian kecurangan. Metode dan prosedur tradisional tidaklah memadai dalam usaha pendeteksian kecurangan, sehingga riset-riset mendatang perlu menjawab tantangan ini
DAFTAR PUSTAKA
American Institute of Certified Public Accountants
(AICPA). 1978. The Commission on Auditors
Responsibilities: Report, Conclusions,
and Recommendations. New York: AICPA.
______. 1988. Statement on Auditing Standards
(SAS) No. 53: The Auditors Responsibilities
to Detect and Report Errors and Irregularities.
New York: AICPA.
______. 1997. Statement on Auditing Standards
(SAS) No. 82: Consideration of Fraud in
Financial Statement Audit. New York:
AICPA
______. 2002. Statement on Auditing Standards
(SAS) No. 99: Consideration of Fraud in
Financial Statement Audit. New York:
AICPA.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). 2002.
Siaran Pers Badan Pengawas Pasar Modal,
27 Desember.
Herawaty, Arleen dan Yulius Kurnia Susanto. 2008. “Profesionalisme, Pengetahuan Akuntan Publik Dalam Mendeteksi Kekeliruan, Etika Profesi dan Pertimbangan Tingkat Materialitas”. The 2nd National Conference UKWMS. Surabaya
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). 1993. Pernyataan
Standar Auditing (PSA) No. 32: Tanggung
Jawab Auditor untuk Mendeteksi dan
Melaporkan Kekeliruan dan Ketidakberesan.
Jakarta: IAI.
Mayangsari, S dan B. Sudibyo. 2006. “An Empirical
Analysis of Auditor Litigation”. Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia, 9 (1): 65-86.
Nieschwietz, R.J., J.J. Schultz dan M.F. Zimbelman.
2000. “Empirical Research on External
Auditors’ Detection of Financial Statement
Fraud”. Journal of Accounting Literature,
Suraida, Ida. 2005. “Pengaruh Etika, Kompetensi, Pengalaman Audit dan Risiko Audit terhadap Skeptisisme Profesional Auditor dan Ketepatan Pemberian Opini Akuntan Publik”. Sosiohumaniora, Vol. 7, No. 3: 186 – 202.
Nama : Nofita Erny .D
ReplyDeleteNIM : C4C009008
PROFESIONALISME AKUNTAN PUBLIK
Pendahuluan
Informasi keuangan merupakan salah satu informasi yang digunakan untuk pengambilan keputusan ekonomis dalam suatu perusahaan. Agar informasi tersebut dapat dipercaya maka laporan keuangan harus diaudit. Semakin kompleks transaksi yang terjadi di perusahaan, maka aturan standar akuntansi yang harus diikuti untuk membuat laporan keuangan juga semakin kompleks. Untuk memastikan kesesuaian laporan keuangan yang disusun oleh manajemen dengan standar akuntansi yang ada, maka laporan keuangan perlu diaudit. Dalam perusahaan publik, pemilik tidak bisa secara langsung melakukan verifikasi terhadap kualitas informasi dalam laporan keuangan, untuk itu diperlukan auditor untuk melakukan verifikasi terhadap informasi keuangan yang disajikan oleh manajemen.
Pihak yang bisa melakukan audit atas laporan keuangan adalah akuntan publik. Dalam melaksanakan audit menurut ketentuan yang ada pada standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Profesi Akuntan Publik. Standar auditing yang ada meliputi :
1. Standar umum bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan auditor dan mutu pekerjaannya;
2. Standar pekerjaan lapangan berkaitan dengan kriteria dan ukuran mutu kinerja akuntan publik dalam melakukan pekerjaan lapangan;
3. Standar pelaporan berkaitan dengan kriteria dan ukuran mutu kinerja akuntan publik dalam melakukan pelaporan.
Sudah sejak lama peran dan posisi profesi akuntansi menjadi sasaran kritik masyarakat pada umumnya dan dunia usaha pada khususnya. Pada masa yang lalu, yang menjadi sasaran utama adalah profesi akuntan publik berhubung dengan keterlibatannya dalam mekanisme pengendalian sosial yang syarat dengan konflik-konflik kepentingan ekonomi dan politik. Posisi para akuntan akan selalu berada diujung tanduk dan akan mencapai titik hadir pada masa depresi serta resesi ekonomi, terutama kalau kejadiannya juga dipacu oleh skandal korporasi. Keprihatinan mereka akan memuncak pada masa-masa sulit tersebut karena semua telinga akan tertutup bagi para auditor.
Semakin meluasnya kebutuhan jasa profesional akuntan publik sebagai pihak yang dianggap independen, menuntut profesi akuntan publik untuk meningkatkan kinerjanya agar dapat menghasilkan produk audit yang dapat diandalkan bagi pihak yang membutuhkan. Untuk dapat meningkatkan sikap profesionalisme dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan, hendaknya para akuntan publik memiliki pengetahuan audit yang memadai serta dilengkapi dengan pemahaman mengenai kode etik profesi.
Pembahasan
Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan indepedensi. Kompetensi berkaitan dengan pendidikan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam bidang auditing dan akuntansi. Dalam melaksanakan audit, akuntan publik harus bertindak sebagai seorang yang ahli di bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya diperluas melalui pengalaman dalam praktik audit. Selain itu, akuntan publik harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Asisten yunior untuk mencapai kompetensinya harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapatkan supervisi memadai dan riview atas pekerjaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman. Akuntan publik harus secara terus menerus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya. Akuntan publik harus mempelajari, memahami dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan umum. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun dan berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik. Sikap mental independen tersebut meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance). Tudingan pelanggaran independen dalam penampilan sering terjadi. Setidaknya terdapat dua hal penyebab pelanggaran ini yaitu: pertama, kantor akuntan publik melakukan multi service pada klien yang sama dan kedua, tidak ada batasan lamanya kantor akuntan publik yang sama melakukan audit pada klien yang sama. Terdapat empat hal yang menggangu independensi akuntan publik, yaitu:
1. Akuntan publik memiliki mutual atau conflicting interest dengan klien,
2. Mengaudit pekerjaan akuntan publik sendiri,
3. Berfungsi sebagai manajemen atau karyawan dari klien,
4. Bertindak sebagai penasihat (advocate) dari klien.
Akuntan publik akan terganggu independensi jika memiliki hubungan bisnis, keuangan dan manajemen atau karyawan dengan kliennya. Mutual interest terjadi jika akuntan publik berhubungan dengan audit committee yang ada di perusahaan, sedangkan conflict intetrest jika akuntan publik berhubungan dengan manajemen.
Akuntan publik memiliki posisi yang strategis baik dimata manajemen maupun dimata pemakai laporan keuangan. Manajemen atau klien akan puas jika audit yang dilakukan oleh akuntan publik memiliki kualitas yang baik. Terdapat 7 kualitas audit yang berpengaruh signifikan terhadap kepuasan klien, yaitu (Widagdo.dkk 2002) :
1. Atribut pengalaman melakukan audit,
2. Atribut memahami industri klien,
3. Atribut responsif terhadap kebutuhan klien,
4. Atribut pemeriksaan sesuai dengan standar umum audit,
5. Atribut komitmen kuat terhadap kualitas audit,
6. Atribut keterlibatan pimpinan audit terhadap pemeriksaan
7. Atribut melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat.
Manajemen memiliki harapan atas kualitas pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan publik. Klien akan puas dengan pekerjaan akuntan publik jika akuntan publik memiliki pengalaman melakukan audit, responsif, melakukan pekerjaan dengan tepat dan sebagainya. Di sisi lain pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan yang besar terhadap hasil pekerjaan akuntan publik. Pemerintah ternyata juga menaruh harapan besar terhadap akuntan publik.
Dalam pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan. Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat apakah suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak. Seorang akuntan publik yang profesional harus memenuhi tanggung jawabnya terhadap masyarakat, klien termasuk rekan seprofesi untuk berperilaku semestinya.
Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa audit profesional meningkat jika profesi menetapkan standar kerja dan perilaku yang dapat mengimplementasikan praktik bisnis yang efektif dan tetap mengupayakan profesionalisme yang tinggi. Konsep profesionalisme modern dalam melakukan suatu pekerjaan seperti dikemukakan oleh Lekatompessy (2003), berkaitan dengan dua aspek penting, yaitu aspek struktural dan aspek sikap. Aspek struktural karakteristiknya merupakan bagian dari pembentukan tempat pelatihan, pembentukan asosiasi profesional dan pembentukan kode etik. Sedangkan aspek sikap berkaitan dengan pembentukan jiwa profesionalisme.
Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik, yang merupakan seperangkat prinsip–prinsip moral yang mengatur tentang perilaku profesional. Tanpa etika, profesi akuntan tidak akan ada karena fungsi akuntan adalah sebagai penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku bisnis. Etika profesi merupakan karakteristik suatu profesi yang membedakan suatu profesi dengan profesi lain, yang berfungsi untuk mengatur tingkah laku para anggotanya. Dalam hal etika, sebuah profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk aturan khusus. Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut, yang biasa disebut sebagai kode etik.
Alasan yang melatarbelakangi timbulnya kode etik bagi suatu bidang jabatan adalah kebutuhan untuk meraih keprcayaan masyarakat terhadap kualitas bidang jabatan tersebut tanpa melihat kepada individu pelaksananya. Bagi akuntan publik, diperlukan suatu keyakinan dari para klien dan berbagai pihak yang berkepentingan dengan laporan keuangan terhadap kualitas jasa audit dan jasa-jasa lainnya.
Kode etik harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi yang memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat dan merupakan alat kepercayaan bagi masyarakat luas. Setiap profesional wajib mentaati etika profesinya terkait dengan pelayanan yang diberikan apabila menyangkut kepentingan masyarakat luas. Kode etik IAPI dan aturan etika Kompartemen Akuntan Publik, standar profesi akuntan publik (SPAP) dan standar pengendalian mutu auditing merupakan acuan yang baik untuk mutu auditing. Semakin tinggi akuntan publik menaati kode etik maka semakin baik pula pertimbangan tingkat materialitas.
Banyak tuntutan atau harapan dari masyarakat dan pihak-pihak yang dilayani agar akuntan publik dapat mengemban tanggungjawab secara efektif dan profesional. Para akuntan menjalankan tanggungjawab profesinya dengan bijaksana, penuh martabat dan kehormatan. Dan dalam menjalankan tugasnya seorang akuntan hendaknya memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena apabila melanggar akan mengakibatkan diberi sanksi peringatan dan pembekuan atau dicabutnya izin akuntan publik oleh menteri keuangan.
Kesimpulan
Profesionalisme menjadi syarat utama bagi orang yang bekerja sebagai akuntan publik. Gambaran seseorang yang profesional dalam profesi dicerminkan dalam lima dimensi profesionalisme, yaitu:
1. Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki serta keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan.
2. Kewajiban sosial adalah suatu pandangan tentang pentingnya peranan profesi serta manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun kalangan profesional lainnya karena adanya pekerjaan tersebut.
3. Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan bahwa seorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien dan mereka yang bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional.
4. Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai apakah suatu pekerjaan yang dilakukan profesional atau tidak adalah rekan sesama profesi, bukan pihak luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan tersebut.
5. Hubungan dengan sesama profesi adalah dengan menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam melaksanakan pekerjaan.
Pengalaman akuntan publik akan terus meningkat seiring dengan makin lamanya audit dilakukan serta kompleksitas transaksi keuangan perusahaan yang diaudit. Lamanya audit yang pernah dilakukan oleh seorang auditor serta kompleksitas transaksi keuangan yang dihadapi akan menambah dan memperluas pengetahuannya di bidang akuntansi dan auditing yang pernah diterimanya saat pendidikan formal dan pelatihan. Ide untuk membatasi penugasan audit pada satu partner atau kantor akuntan publik dan selanjutnya melakukan pergantian partner audit atau kantor akuntan publik akan membawa perbaikan pada kompetensi akuntan publik secara keseluruhan. Seorang partner audit atau kantor akuntan publik akan memperoleh pengalaman baru atas suatu perusahaan akibat dari adanya aturan pergantian partner audit atau kantor akuntan publik ini.
Pengetahuan yang memadai dibutuhkan untuk meningkatkan profesionalisme akuntan publik dalam mendeteksi kekeliruan dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi dalam setiap pelaksanaan proses audit atas laporan keuangan sehingga dapat dihasilkan laporan keuangan auditan yang berkualitas. Sebagai seorang akuntan publik harus bisa menjadi sumber tambahan informasi bagi pertimbangan tingkat materialitas dalam melaksanakan audit atas laporan keuangan klien, sehingga dapat meningkatkan prestasi dan kualitas audit serta dapat menambah pengetahuan serta pengalaman akuntan publik tersebut dan meningkatkan rasa kepatuhan terhadap etika profesi.
Daftar pustaka
Hiro Tugiman ; Sepintas Audit Internal dan Komite udit dalam Organisasi ; (http://www.internalauditing.or.id/)
Yulius Jogi Christiawan, Kompetensi dan Indepedensi Akuntan Publik : Refleksi Hasil Penelitian Empiris, Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 4, No. 2, Nopember 2002: 79 – 92.
Sofyan S. Harahap, Pentingnya Unsur Etika dalam Professi Akuntan dan Bagaimana di Indonesia?, Ekonomi Islam Online.
Nama : Nurkhikmah
ReplyDeleteNIM : P2CD08015
Profesionalisme Akuntan Publik dan Peer Review
Pendahuluan
Hampir seluruh sektor terutama yang bersentuhan dengan masalah keuangan, Investasi dan masyarakat terutama yang berbadan hukum akan terkait dengan Akuntan Publik. Manajemen sangat membutuhkan jasa profesi Akuntan Publik baik untuk keperluan Pinjaman Bank, Pajak, pasar modal, perbankan,dan lain sebagainya.
Manajemen dalam menyajikan laporan keuangan mempunyai tujuan tertentu, maka diperlukan jasa profesional untuk menilai kewajaran informasi keuangan yang disajikan manajemen. Jasa profesional inilah yang dilakukan oleh auditor independen. Tetapi bagaimana kalau jasa yang diberikan auditor itu tidak profesional dan tidak secara konsisten menerapkan kualitas dalam perencanaan dan pekerjaan lapangan dan pelaporan? Kemungkinan terbesarnya adalah auditor tidak menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan auditnya, tidak sepenuhnya mematuhi etika profesionalitasnya, yang pada ujungnya menyebabkan tidak dapat menemukan error dan irregularities serta akhirnya memberikan pendapat yang misleading tentang laporan Keuangan yang diauditnya.
I. Etika Profesional
Etika profesional diperlukan setiap profesi karena kebutuhan profesi tersebut akan kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan, siapapun orangnya. Masyarakat akan menghargai profesi yang menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan anggota profesinya, karena masyarakat merasa terjamin akan memperoleh jasa yang dapat diandalkan. Begitu juga terhadap profesi akuntan publik, kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit akan menjadi lebih tinggi jika profesi akuntan publik menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan audit.
Bagi profesi akuntan, etika profesional semacam ini dikenal dengan nama Kode Etik Akuntan Indonesia. Anggota IAI yang berpraktik sebagai akuntan publik bertanggung jawab mematuhi pasal-pasal yang tercantum dalam Kode Etik Akuntan Indonesia, termasuk juga semua orang yang bekerja dalam praktik profesi akuntan publik, seperti karyawan, partner, dan staf.
II.Standar Auditing
Standar Auditing adalah suatu ukuran pelaksanaan tindakan yang merupakan pedoman umum bagi auditor dalam melaksanakan audit. Atau dapat juga disebut sebagai ukuran baku atas mutu jasa auditing. Standar auditing terdiri dari 10 standar dan semua Pernyataan Standar Auditing yang berlaku. Sepuluh standar itu terbagi atas Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan, dan Standar Pelaporan. Standar Umum mengatur syarat-syarat diri auditor, Standar Pekerjaan Lapangan mengatur mutu pelaksanaan auditing, dan Standar Pelaporan memberikan panduan auditor dalam mengkomunikasikan hasil auditnya melalui laporan audit kepada pemakai laporan keuangan. Standar Auditing dan beberapa standar serta pernyataan lainnya dikodifikasi dalam buku Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) sejak Agustus 1994.
a. Standar Umum
1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor.
2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
b. Standar Pekerjaan Lapangan
1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
2. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
3. Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
c. Standar Pelaporan
1. Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
2. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang di dalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
4. Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam semua hal yang nama auditor dikaitkan dengan laporan keuangan, laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan auditor, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikulnya.
Pengawasan kepatuhan dan penilaian pelaksanaan kode etik serta SPAP oleh akuntan publik dilaksanakan oleh Badan Pengawas Profesi di tingkat Kompartemen Akuntan Publik dan Dewan Pertimbangan Profesi di tingkat IAI. Badan Pengawas Profesi --yang sekarang bernama Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP) dan berfungsi sebagai lembaga peradilan tingkat I ini-- beranggotakan kalangan akuntan publik di Kompartemen Akuntan Publik yang diusulkan dan diangkat oleh Rapat Anggota Kompartemen. Sedang Dewan Pertimbangan Profesi yang sekarang bernama Majelis Kehormatan beranggotakan tokoh-tokoh profesi yang dihormati dari berbagai kalangan akuntan, pejabat Pemerintah, kalangan pemakai jasa akuntan, dan tokoh masyarakat. Majelis ini diangkat oleh Kongres IAI dan bertanggung jawab kepada kongres tersebut.
Fungsi dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik ini secara garis besar adalah mengawasi kepatuhan dan melakukan penilaian pelaksanaan Kode Etik Akuntan Indonesia dan SPAP oleh akuntan publik. Badan ini juga menangani pengaduan dari masyarakat menyangkut pelanggaran akuntan publik terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia atau SPAP. Kemudian jika menemukan pelanggaran Kode Etik Akuntan Indonesia SPAP, Badan ini berwenang untuk menetapkan sanksi kepada akuntan publik yang melanggar. Selain itu Badan ini juga dapat mengajukan usul dan saran mengenai pengembangan kode etik akuntan kepada Komite Kode Etik.
Tetapi jika terdapat akuntan publik yang mengajukan banding atas keputusan sanksi yang dijatuhkan, maka kasus ini kemudian ditangani oleh lembaga banding, yaitu Majelis Kehormatan IAI. Majelis ini berwewenang untuk menangani semua kasus pelanggaran kode etik atau SPAP pada tingkat banding dan menetapkan sanksi yang bersifat final.
Majelis ini dapat mengenakan sanksi berupa pemberhentian keanggotaan sementara atau tetap. Tetapi Majelis ini bertindak atas dasar pengaduan tertulis mengenai pelanggaran kode etik oleh anggota IAI atau atas permintaan pengurus IAI.
Selin itu dalam rangka pengendalian mutu kantor akuntan publik, IAI menyusun Sistem Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik, berupa pernyataan Standar Pengendalian Mutu. Dalam sistem tersebut, pekerjaan seorang akuntan publik dapat direview oleh akuntan publik lain atau institusi yang berwenang, yaitu BPKP sejak tahun 1983. Hal ini disebut juga peer review. Dalam review ini setiap anggota IAI tidak boleh menghalangi atau menghindari pelaksanaan review dari anggota lainnya yang ditunjuk IAI atau instansi yang ditunjuk untuk itu, yaitu BPKP.
Tujuan dari peer review ini adalah untuk melaksanakan tugas Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai Departemen Keuangan sebagai pembina profesi akuntan dan juga untuk menjawab kecurigan masyarakat berkaitan dengan kualitas pekerjaan auditor Lembaga/Instansi tersebut.
Peer review ini dilakukan dengan memeriksa kertas kerja yang dibuat auditor ketika mengaudit Lembaga/Instansi tersebut untuk melihat bagaimana pelaksanaan SPAP dipatuhi. Menurut Standar Auditing Seksi 339 Kertas Kerja paragraf 03, kertas kerja adalah catatan-catatan yang diselenggarakan oleh auditor mengenai prosedur audit yang ditempuhnya, pengujian yang dilakukannya, informasi yang diperolehnya, dan kesimpulan yang dibuatnya sehubungan dengan auditnya. Kertas Kerja ini dapat dikelompokkan ke dalam 5 tipe, yaitu (1) Program Audit, (2) Working Trial Balance, (3) Ringkasan Jurnal Adjustment, (4) Lead Schedule atau Top Schedule, dan (5) Supporting Schedule.
Jadi peer review ini dilakukan BPKP dengan memeriksa kertas kerja yang dibuat auditor dalam mengaudit Lembaga/Instansi tersebut, bukan melakukan audit lagi terhadap Lembaga/Instansi tersebut. Dengan memeriksa kertas kerja, maka BPKP dapat melihat kualitas pekerjaan auditor, karena tujuan pembuatan kertas kerja ini adalah untuk mendukung pendapat auditor atas laporan keuangan auditan, menguatkan kesimpulan-kesimpulan auditor dan kompetensi auditnya, mengkoordinasi dan mengorganisasi semua tahap audit, serta memberikan pedoman dalam audit berikutnya.
Kemudian Standar Auditing Seksi 339 Kertas Kerja paragraf 05 menyatakan bahwa kertas kerja harus cukup memperlihatkan bahwa catatan akuntansi cocok dengan laporan keuangan atau informasi lain yang dilaporkan serta standar auditing yang dapat diterapkan dan dilaksanakan oleh auditor. Kertas kerja ini biasanya harus berisi dokumentasi yang memperlihatkan:
a. Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan pertama, yaitu pemeriksaan telah direncanakan dan disupervisi dengan baik.
b. Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan kedua, yaitu pemahaman memadai atas struktur pengendalian intern telah diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang telah dilakukan.
c. Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan ketiga, yaitu bukti audit telah diperoleh, prosedur audit telah diterapkan, dan pengujian telah dilaksanakan, yang memberikan bukti kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan
PENUTUP
Secara Profesional seorang Akuntan Publik harus bersikap profesional .Tidak hanya dapat dipertanggung jawabkan secara moral tetapi juga dapat teruji. Standar, mekanisme dan Hukum dibuat bukan untuk dilanggar dan dicari cacatnya. Sehingga setiap temuan pelanggaran terhadap standar yang ada harus ditindak lanjuti oleh departemen yang berwenang dalam hal ini departemen keuangan.
Profesionalisme harus dijunjung Tinggi dengan memperhatikan etika profesi sehingga perbaikan di satu lini akan membawa perbaikan di lini lainnya. Sehingga terwujudnya ketahanan ekonomi dan Good Corporate Governance bukan KKN atau kejahatan ekonomi lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Jhon Pieris,SH.,MS dan Dr.Nizam Jim Wiryawan SH.,MM., Etika Bisnis dan Good Corporate Governance, Jakarta:Pelangi Cendekia 2007
Agam Fatchurrochman , Melanggar Standar atau Kejahatan Profesi? Hasil Peer Review BPKP atas Kertas Kerja Auditor Lembaga/Instansi Bermasalah, Diskusi KAP Bermasalah Majalah Media Akuntansi-IAI, Jakarta, 2 Mei 2001
Rahmawati Hanny Y., S.E., M.Si., Ak. Auditing dan Profesi Akuntan Publik,2007
Nama : Bramadhani Tribuana
ReplyDeleteNIM : C4C009001
Paper : KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR VERSUS ERROR DAN IRREGULARITIES
KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR VERSUS ERROR DAN IRREGULARITIES
I. PENDAHULUAN
Konflik kepentingan antara manajemen dengan pemilik dan atau stakeholder adalah hal yang mendasari dibutuhkannya seorang profesional (auditor) untuk menengahi perbedaan kepentingan. Manajemen dipercaya dan diberi wewenang untuk mengelola sumber daya yang diinvestasikan ke dalam perusahaan oleh pemilik. Manajemen bertugas menjalankan kegiatan bisnis perusahaan. Konsekuensi dari hal ini adalah pihak manajemen harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan wewenang tersebut secara periodik kepada pemilik. Pertanggungjawaban periodik ini umumnya menggunakan media laporan keuangan. Untuk itu manajemen harus merancang dan mengimplementasikan suatu sistem akuntansi yang digunakan untuk menyusun laporan keuangan secara periodik yang akurat dan dapat diandalkan. Selain pemilik, masih terdapat pihak lain yang memerlukan informasi yang berasal dari laporan keuangan. Pihak lain tersebut antara lain adalah pemberi pinjaman, calon kreditor atau investor, pemerintah, analis keuangan dan sebagainya.
Karena adanya konflik kepentingan antara manajemen dengan pemakai laporan keuangan maka laporan keuangan harus diaudit oleh pihak ketiga yang independen. Pihak yang bisa melakukan audit atas laporan keuangan adalah akuntan publik. Akuntan publik akan melaksanakan audit menurut ketentuan yang ada pada standar auditing yang ditetapkan oleh Ikatan Profesi Akuntan Publik.
Standar Auditing adalah suatu ukuran pelaksanaan tindakan yang merupakan pedoman umum bagi auditor dalam melaksanakan audit. Atau dapat juga disebut sebagai ukuran baku atas mutu jasa auditing. Standar auditing terdiri dari 10 standar dan semua Pernyataan Standar Auditing yang berlaku. Sepuluh standar itu terbagi atas Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan, dan Standar Pelaporan. Standar Umum mengatur syarat-syarat diri auditor, Standar Pekerjaan Lapangan mengatur mutu pelaksanaan auditing, dan Standar Pelaporan memberikan panduan auditor dalam mengkomunikasikan hasil auditnya melalui laporan audit kepada pemakai laporan keuangan. Standar Auditing dan beberapa standar serta pernyataan lainnya dikodifikasi dalam buku Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) sejak Agustus 1994.
Standar Auditing
A.Standar Umum
1.Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor.
2.Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
3.Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
B.Standar Pekerjaan Lapangan
1.Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
2.Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
3.Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
C.Standar Pelaporan
1.Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
2.Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang di dalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
3.Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
4.Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan.
II. POKOK BAHASAN
Error dan Irregularities
Dalam audit, akuntan publik menilai apakah penyusunan laporan keuangan yang dilakukan manajemen sudah sesuai dengan ketentuan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Sebagai hasil auditnya, akuntan publik memberikan pendapat akuntan atas kewajaran laporan keuangan. Pendapat akuntan publik ini disajikan dalam “Laporan Auditor Independen”. Untuk itu auditor harus menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan auditnya, serta mematuhi etika profesionalitasnya, karena jika tidak maka nantinya akan menyebabkan auditor tidak dapat menemukan error dan irregularities dan akhirnya memberikan pendapat yang misleading tentang laporan keuangan yang diauditnya.
Dengan demikian maka auditor memiliki posisi yang strategis baik dimata manajemen maupun dimata pemakai laporan keuangan. Kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keuangan auditan dan jasa yang diberikan akuntan publik akhirnya mengharuskan akuntan publik memperhatikan kualitas audit yang dilakukannya
Skandal audit yang selama ini terjadi baik didalam negeri maupun di luar negeri, membuat masyarakat bertanya-tanya akan kualitas audit yang seharusnya di agung-agung kan oleh auditor. Informasi keuangan yang telah di audit tersebut dapat mengandung kekeliruan (error), yaitu salah saji dalam laporan keuangan yang tidak disengaja. Bahkan mungkin saja terdapat ketidakberesan (irregularities), yaitu salah saji dalam laporan keuangan yang disengaja, atau berbagai pelanggaran dan penyimpangan yang dicoba ditutupi dengan rekayasa akuntansi.
Berikut beberapa kasus error yang tidak bisa terdeteksi oleh akuntan publik yang menyebabkan perusahaan didenda oleh Bapepam.
Tabel 1
Kasus Keuangan dan Manajerial Emiten yang Pernah Didenda Bapepam
(Periode 2000-2002)
Nama Emiten - Jenis Pelanggaran - Denda(Juta Rp)
PT Asuransi Ramayana
Penyalahgunaan dana oleh direksi
11.197
PT Asia Inti Selera
Pinjaman pada pihak istimewa
500
PT Jaya Pari Steel
Penjualan assets perusahaan
500
PT Myohdotcom
Transaksi material dan perubahan kegiatan usaha
358
PT Bumi Resources
Laporan atas transaksi material
100
PT Semen Cibinong
Deposito $246,7 juta di bank asing tidak jelas
$ 250
PT Manly Utama
Perubahan penggunaan dana IPO tanpa laporan resmi ke Bapepam
357
PT Daya Guna Samodera
Menyembunyikan informasi material
256
PT Bintuni Minaraya
Menyembunyikan informasi material
250
PT Super Mitory
Transaksi mengandung benturan kepentingan
500
PT Bakrie Finance Corp.
Tidak hati-hati dalam pengakuan pendapatan bunga
500
Kasus Keuangan dan Manajerial Emiten yang Pernah Didenda Bapepam
(Periode 2000-2002)
Sedangkan berikut ini adalah beberapa skandal audit yang terjadi di luar negeri:
Tabel 2
Skandal Kejahatan Korporasi di Amerika Serikat
Nama Perusahaan - Tuduhan
Enron Corp
Manipulasi pembukuan
Tyco International
Penggelapan pajak
Adelphia Communication
Penipuan sekuritas
Global Crossing
penipuan sekuritas
Xerox Corporation
Manipulasi pembukuan
WorldCom
Manipulasi pembukuan
Walt Disney Company
Manipulasi pembukuan
ImClone System Inc.
Insider trading
Kompetensi dan Independensi
Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi. Good quality audits require both competence (expertise) and independence. These qualities have direct effects on actual audit quality, as well as potential interactive effects. In addition, financial statement users’ perception of audit quality are a function of their perceptions of both auditor indepndence and expertise.(AAA Financial Accounting Standard Committee 2000).
Kompetensi berkaitan dengan pendidikan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam bidang auditing dan akuntansi. Dalam melaksanakan audit, akuntan publik harus bertindak sebagai seorang yang ahli di bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya diperluas melalui pengalaman dalam praktik audit. Selain itu, akuntan publik harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Asisten yunior untuk mencapai kompetensinya harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapatkan supervisi memadai dan review atas pekerjaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman. Akuntan publik harus secara terus menerus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya. Akuntan publik harus mempelajari, memahami dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan umum. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Auditor berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik. Sikap mental independen tersebut meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance). Tudingan pelanggaran independen dalam penampilan sering terjadi. Setidaknya terdapat dua hal penyebab pelanggaran ini yaitu: pertama, kantor akuntan publik melakukan multi service pada klien yang sama dan kedua, tidak ada batasan lamanya kantor akuntan publik yang sama melakukan audit pada klien yang sama.
Ada empat hal yang menggangu independensi akuntan publik, yaitu: (1) akuntan publik memiliki mutual atau conflicting interest dengan klien, (2) mengaudit pekerjaan akuntan publik sendiri, (3) berfungsi sebagai manajemen atau karyawan dari klien dan (4) bertindak sebagai penasihat (advocate) dari klien. Akuntan publik akan terganggu independensi jika memiliki hubungan bisnis, keuangan dan manajemen atau karyawan dengan kliennya. Mutual interest terjadi jika akuntan publik berhubungan dengan audit committee yang ada di perusahaan, sedangkan conflict interest jika akuntan publik berhubungan dengan manajemen.
III. KESIMPULAN
Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi. Kompetensi berkaitan dengan pendidikan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam bidang auditing dan akuntansi. Sedangkan independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi, tidak memihak kepentingan siapapun serta jujur kepada semua pihak yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik.
Kurangnya kompetensi dan independensi dari auditor secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas audit yang dilakukan, menyebabkan kemungkinan besar adanya error atau irregularities yang tidak dapat terdeteksi oleh auditor. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Ross D. Fuerman yaitu adanya perbedaan kualitas antara auditor pada KAP Arthur Andersen dengan KAP Big Four lainnya, dimana kualitas auditor KAP Arthur Andersen lebih rendah dibandingkan auditor pada KAP besar lainnya. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SEC (PwC) mengenai permasalahan independensi auditor pada tahun 2000 disebutkan bahwa telah terjadi pelanggaran atas independensi auditor di KAP-KAP di Amerika Serikat, dimana terdapat lebih dari 8000 pelanggaran, dan didalam pelanggaran tersebut empat dari lima kasus adalah rekan atau keluarga berinvestasi di perusahaan klien, dan lima dari delapan KAP berinvestasi di perusahaan klien.
Untuk itu seharusnya pihak-pihak yang terkait seperti IAI dan Pemerintah serta pihak lain yang berkepentingan turut berperan serta dalam memperhatikan kompetensi dan independensi auditor agar kualitas audit dapat terjaga dengan baik.
Sumber:
1.Kompetensi Dan Independensi Akuntan Publik : Refleksi Hasil Penelitian Empiris - Yulius Jogi Christiawan, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra
2.Differentiating Between Arthur Andersen and the Surviving Big Four on the Basis of Auditor Quality: An Empirical Investigation of the Decision to Criminally Prosecute Arthur Andersen - Ross D. Fuerman, J.D., CPA, CFE, Ph.D. (Accounting) Associate Professor, Suffolk University Frank Sawyer School of Management Department of Accounting
3.Melanggar Standar atau Kejahatan Profesi? Hasil Peer Review BPKP atas Kertas Kerja Auditor Bank-Bank Bermasalah
Diskusi KAP Bermasalah Majalah Media Akuntansi-IAI, Jakarta, 2 Mei 2001 – Agam Fatchurrochman Ketua Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch
4.Persepsi Masyarakat Terhadap Independensi Dalam Penampilan Akuntan Publik Di Indonesia – Dyah Nirmala Arum Janie Fakultas Ekonomi Universitas Semarang.
5.Konsentrasi Kantor Akuntan Publik (KAP) di Indonesia Sebelum dan Sesudah Diterbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 423/KMK.06/2002. Bramadhani Tribuana – skripsi Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi Univ. Jenderal Soedirman
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteNAMA : SUKMA ANDHINA
ReplyDeleteNIM : C4C009002
ETIKA DALAM PERSAINGAN AKUNTAN DAN REGULASINYA DEMI MEMPERTAHANKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT
PENDAHULUAN
Perubahan dan perkembangan iklim dunia usaha secara global pada saat ini telah mengakibatkan terjadinya perkembangan pada perubahan strategi usaha, praktek bisnis antar negara serta jumlah investasi yang mengakibatkan transaksi yang terjadi menjadi semakin kompleks dan rumit. Hal ini akan mengakibatkan bertambahnya kebutuhan terhadap pelayanan jasa yang dilakukan oleh para auditor. Peningkatan kebutuhan jasa auditor ini terlihat dari meningkatnya jumlah Kantor Akuntan Publik ( KAP ) yang sekarang beroperasi di Indonesia.
Di sisi lain, Pemerintah, yang dalam hal ini adalah Depkeu dan Bapepam, juga telah mengeluarkan peraturan rotasi audit yang memperketat independensi seorang auditor. Selain itu juga dituntut adanya review mutu terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh auditor agar bekerja sesuai dengan kode etik dan standar yang telah ditetapkan. Proses ini dilakukan oleh Badan Review Mutu ( BRM ) yang bertugas melakukan pengawasan pekerjaan-pekerjaan para anggota IAI – KAP.Di luar semua kondisi tersebut, persaingan yang semakin ketat dalam dunia profesi auditor ini terus terjadi. Persaingan yang tajam ini dapat terjadi akibat bertambahnya jumlah KAP yang beroperasi dengan keanekaragaman jasa yang ditawarkan juga semakin bertambah. Namun, di sisi lain jumlah perusahaan cenderung tidak mengalami penambahan yang cukup signifikan. Regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah yang semakin lama semakin diperketat juga menjadi satu tantangan tersendiri bagi para auditor untuk semakin meningkatkan persaingan dengan lebih profesional.
PEMBAHASAN
Merujuk pada klasifikasi profesi secara umum, maka salah satu ciri yang membedakan profesi-profesi yang ada adalah etika profesional yang dijadikan sebagai standar pekerjaan bagi para anggotanya. Etika profesional diperlukan oleh setiap profesi khususnya bagi profesi yang membutuhkan kepercayaan dari masyarakat, seperi profesi auditor. Masyarakat akan menghargai profesi yang menerapkan standar mutu yang tinggi dalam pelaksanaan pekerjaannya. Berbicara mengenai etika, kita dapat merujuk pada pernyataan seorang filsuf sekaligus ahli matematika Yunani yang tidak lain adalah murid Aristoteles, yaitu Socrates. Menurut Socrates yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang akan dicapai. Dari teori etika, profesi pemeriksa (auditor) diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan. Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi. Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity), bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam menjalankan profesi (due care).
Kepercayaan yang besar pemakai laporan keuangan auditan dan jasa yang diberikan akuntan publik akhirnya mengharuskan akuntan publik memperhatikan mutu auditnya. Pertanyaan masyarakat tentang mutu audit yang dilakukan akuntan publik bertambah besar setelah terjadi banyak kasus yang melibatkan akuntan publik baik di dalam maupun di luar negeri. Kasus di dalam negeri terlihat dari akan diambilnya tindakan oleh Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) terhadap 10 Kantor Akuntan Publik yang melakukan pelanggaran, menyusul keberatan pemerintah atas sanksi berupa peringatan plus yang telah diberikan. Sepuluh Kantor Akuntan Publik tersebut diindikasikan melakukan pelanggaran berat saat mengaudit bank-bank yang dilikuidasi pada tahun 1998 (Winarto 2002). Selain itu terdapat kasus keuangan dan manajerial perusahaan publik yang tidak terdeteksi oleh akuntan public yang menyebabkan perusahaan didenda oleh Bapepam (INVESTOR, Edisi 60, 7- 20 Agustus 2002). Kasus yang terjadi di luar negeri yang melibatkan perusahaan besar dan kantor akuntan publik besar juga menambah kasus yang mengarah pada mutu akuntan publik (Sunarsip Kompas 15 Juli 2002).
Adanya harapan yang besar baik dari manajemen maupun pemakai laporan keuangan serta adanya kasus-kasus yang melibatkan kantor akuntan publik tersebut di atas menuntut akuntan publik untuk meningkatkan dan mengendalikan mutu audit yang dilakukan. Pengendalian mutu audit terdiri dari dua unsur yaitu: aktivitas pengendalian dan mutu audit sebagai obyek yang dikendalikan. Aktivitas pengendalian merupakan suatu proses yang sedikitnya memiliki empat langkah yaitu:
(1) penetapan tujuan dan standar,
(2) mengukur kinerja aktual,
(3) membandingkan hasil pengukuran dengan tujuan atau standar,
(4) mengambil tindakan korektif yang dipandang perlu (Schermerhorn, 2002).
Sedangkan mutu Akuntan Publik ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi (AAA Financial Accounting Standard Committee 2000). Dalam hal ini Standar Profesional Akuntan Publik telah mengatur pengendalian mutu audit dalam Standar Pengendalian Mutu (IAI 2001).
Kompetensi berkaitan dengan pendidikan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan public dalam bidang auditing dan akuntansi. Dalam melaksanakan audit, akuntan publik harus bertindak sebagai seorang yang ahli di bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya diperluas melalui pengalaman dalam praktik audit. Selain itu, akuntan publik harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Asisten yunior untuk mencapai kompetensinya harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapatkan supervisi memadai dan riview atas pekerjaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman. Akuntan publik harus secara terus menerus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya. Akuntan publik harus mempelajari, memahami dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan umum. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Auditor berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik. Sikap mental independen tersebut meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance). Tudingan pelanggaran independen dalam penampilan sering terjadi. Setidaknya terdapat dua hal penyebab pelanggaran ini yaitu: pertama, kantor akuntan publik melakukan multi service pada klien yang sama dan kedua, tidak ada batasan lamanya kantor akuntan publik yang sama melakukan audit pada klien yang sama.
Mutu audit yang pada akhirnya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan tidak hanya berlaku bagi akuntan publik saja tetapi juga akuntan pemerintah.
Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik (Stanbury, 2003).
Dimensi akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas hukum dan kejujuran, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas kebijakan, dan akuntabilitas finansial. Akuntabilitas manajerial merupakan bagian terpenting untuk menciptakan kredibilitas manajemen pemerintah daerah. Tidak dipenuhinya prinsip pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang luas. Jika masyarakat menilai pemerintah daerah tidak accountable, masyarakat dapat menuntut pergantian pemerintahan, penggantian pejabat, dan sebagainya. Rendahnya tingkat akuntabilitas juga meningkatkan risiko berinvestasi dan mengurangi kemampuan untuk berkompetisi serta melakukan efisiensi.
Governmental Accounting Standards Board (GASB, 1999) dalam Concepts Statement No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan dasar pelaporan keuangan di pemerintahan yang didasari oleh adanya hak masyarakat untuk mengetahui dan menerima penjelasan atas pengumpulan sumber daya dan penggunaannya. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas memungkinkan masyarakat untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktivitas yang dilakukan. Concepts Statement No. 1 menekankan pula bahwa laporan keuangan pemerintah harus dapat membantu pemakai dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik dengan membandingkan kinerja keuangan aktual dengan yang dianggarkan, menilai kondisi keuangan dan hasil-hasil operasi, membantu menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan masalah keuangan dan ketentuan lainnya, serta membantu dalam mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas.
Untuk mewujudkan akuntan publik yang beretika diperlukan regulasi terhadap profesi auditor semakin lama semakin ketat. Salah satunya yang terjadi saat ini, yaitu penyusunan RUU – AP yang sedang dalam proses dan masih menuai respon pro maupun kontra dari berbagai pihak.
Menurut Panitia Antar Departemen Penyusunan RUU – AP, penyusunan RUU ini dilakukan dengan meninjau dari berbagai hal. Adapun tinjauan dalam penyusunan RUU – AP ini adalah sebagai berikut:
1. Tinjauan Filosofis
a. Untuk melindungi kepentingan publik;
b. Mendukung perekonomian yang sehat, efisien, transparan dengan akuntabilitas yang tinggi;
c. Memelihara integritas profesi akuntan publik / auditor;
d. Melindungi kepentingan profesi auditor sesuai dengan standar dan kode etik.
2. Tinjauan Yuridis
a. Memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi publik, regulator dan profesi auditor / akuntan publik;
b. Menegaskan keberadaan jasa Akuntan Publik yang telah diakui dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia;
c. Mengatur profesi Akuntan Publik dengan peraturan perundang-undangan setingkat Undang-undang yang merupakan praktek lazim di negara lain;
3. Tinjauan Sosiologis
a. Adanya tuntutan masyarakat terhadap integritas dan profesionalisme Akuntan Publik;
b. Adanya perkembangan lingkungan sosial, seperti tekhnologi dan liberalisasi perdagangan jasa yang mempengaruhi profesi Akuntan Publik
Adapun tujuan dari penyusunan RUU – AP ini sendiri, yaitu:
Untuk melindungi kepentingan masyarakat ( public interest );
1. Menunjang perkembangan perekonomian nasional yang sehat, efisien, transparan dan akuntabel;
2. Memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi publik, regulator dan profesi Akuntan Publik dalam melaksanakan hak dan kewajibannya;
3. Menjaga kualitas jasa Akuntan Publik / auditor.
Jika ditinjau lebih lanjut, secara garis besar RUU – AP ini membahas mengenai hal-hal sebagai berikut:
1. Lingkup jasa Akuntan Publik / Auditor yang meliputi jasa atestasi dan jasa non - atestasi;
2. Perijinan Akuntan Publik yang berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang serta Kantor Akuntan Publik yang merupakan wadah bagi Akuntan Publik dalam menjalankan jasanya ;
3. Tugas dan Kewenangan Regulator Profesi Akuntan Publik yang dalam hal ini dilaksanakan oleh Menteri Keuangan;
4. Asosiasi Profesi yang oleh Menkeu diakui hanya ada satu saja di Indonesia dengan alasan efisiensi, yaitu IAPI;
5. Hak, kewajiban dan Larangan bagi Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik;
6. Independensi dan benturan kepentingan dalam profesi Akuntan Publik;
7. Kerjasama Kantor Akuntan Publik ( KAP ) dengan Kantor Akuntan Publik Asing ( KAPA ) dan organisasi audit asing;
8. Masa kadaluarsa tuntutan, yaitu setelah 10 tahun;
9. Sanksi Administratif yang dapat berupa sangsi peringatan, pembekuan izin, pencabutan izin serta denda;
10. Komite Pertimbangan Profesi Akuntan Publik yang bertugas memberi pertimbangan kepada Menteri Keuangan mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh Akuntan Publik terhadap SPAP, mengenai Standar Akuntansi Keuangan dan SPAP serta hal lain yang diperlukan oleh Menteri terkait dengan profesi Akuntan Publik;
11. Ketentuan Pidana yang merupakan lex specialist dari ketentuan KUHP.
KESIMPULAN
Jadi, baik akuntan eksternal maupun akuntan pemerintah tetap harus mematuhi etika yang telah dibuat dengan kesadaran penuh menjujung tinggi integritas profesi. Mengingat keberadaan kode etik yang tidak memiliki sanksi dan memaksa, kemudian pelaksanaannya hanya mendasarkan kesadaran moral belaka. Selanjutnya menurut Muladi (1982: 72), upaya penanggulangan kejahatan/pelanggaran di lingkungan profesional dapat dilakukan secara non penal dan secara penal.
Dengan semakin ketatnya regulasi terhadap profesi Akuntan Publik, maka semakin berat pula tantangan bagi para Auditor untuk dapat bekerja dengan daya saing yang tinggi. Dengan demikian, yang dapat dilakukan oleh para Auditor masa depan dalam menghadapi persaingan di tengah regulasi yang semakin ketat adalah bekerja dengan lebih profesional, beretika, bermartabat dan menjadikan SPAP sebagai rambu-rambu dalam melaksanakan profesi audit. Hal ini perlu dilakukan dengan alas an:
1. Regulasi penting untuk melindungi masyarakat pengguna jasa Auditor;
2. Profesi Auditor dimanapun dan kapanpun selalu dipenuhi dengan regulasi;
3. Kompetensi dan integritas adalah cara yang tepat untuk mengatasi persaingan dan regulasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Upaya Pencegahan terhadap Kejahatan di Lingkungan Profesional – Kristiyadi.
2. Profesionalisme, Pengetahuan Akuntan Publik dalam Mendeteksi Kekeliruan, Etika Profesi dan Pertimbangan Tingkat Materialitas. – Arleen Herawaty dan Yulius Kurnia Susanto.
3. Kompetensi dan Independensi Akuntan Publik: Refleksi Hasil Peneltian Empiris – Yulius Jogi Christiawan.
4. Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance – Mardiasmo
5. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Perusahaan terhadap Audit Delay dan Timeliness – Sistya Rachmawati.
6. Ethics and Accounting in the Public Sector – John C Burton, Robert J Sack
7. Evaluating and Improving Governance in Organizations – IFAC
8. Regulasi Ketat Sebagai Tantangan Profesionalisme Auditor Masa Depan
9. Sejarah Etika
Nama: N. Arif H.
ReplyDeleteNIM : C4C009003
Paper: PERANAN ETIKA BISNIS DAN MORALITAS AGAMA DALAM IMPLEMENTASI GCG
PERANAN ETIKA BISNIS DAN MORALITAS AGAMA DALAM IMPLEMENTASI GCG
PENDAHULUAN
Pada saat ini Good Corporate Governance (GCG) merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, namun diberbagai perusahaan ternyata masih sebatas retorika saja. Hal ini dimungkinkan karena banyak perusahaan yang menganggap implementasi GCG sebagai suatu beban dan bukan merupakan suatu kebutuhan. Selain itu, belum adanya sanksi yang tegas dari Pihak regulator (Pemerintah) bagi perusahaan yang tidak menerapkan GCG, menyebabkan perusahaan enggan dan merasa tidak perlu GCG. Di beberapa Negara maju, GCG saat ini sudah dianggap sebagai suatu asset perusahaan yang banyak mendatangkan beberapa manfaat, misalnya GCG dapat meningkatkan nilai tambah (value added) bagi pemegang saham dan mempermudah akses ke pasar modal domestik maupun global (internasional) serta memperoleh citra (image) yang positif dari publik.
PENGERTIAN TENTANG GCG
Pengertian GCG menurut Bank Dunia (World Bank) adalah kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar secara keseluruhan. Lembaga Corporate Governance di Malaysia yaitu Finance Committee on Corporate Governance (FCCG) mendifinisikan corporate governance sebagai proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan aktivitas perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan.
Berdasarkan Pasal 1 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN, disebutkan bahwa Corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika.Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, secara singkat GCG dapat diartikan sebagai seperangkat sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) bagi stakeholders.
PRINSIP-PRINSIP GCG
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang beranggotakan beberapa negara antara lain, Amerika Serikat, Negara-negara Eropa (Austria, Belgia, Denmark, Irlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Italia, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Swedia, Swis, Turki, Inggris) serta Negara-negara Asia Pasific (Australia, Jepang, Korea, Selandia Baru) pada April 1998 telah mengembangkan The OECD Principles of Corporate Governance. Prinsip-prinsip corporate governance yang dikembangkan oleh OECD meliputi 5 (lima) hal yaitu :
1. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham (The Rights of shareholders).
2. Perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham (The Equitable Treatment of Shareholders);
3. Peranan Stakeholders yang terkait dengan perusahaan (The Role of Stakeholders).
4. Keterbukaan dan Transparansi (Disclosure and Transparency).
5. Akuntabilitas Dewan Komisaris / Direksi (The Responsibilities of The Board).
Prinsip-prinsip GCG sesuai pasal 3 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN sebagai berikut :
1. Transparansi (transparency) : keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi materil yang relevan mengenai perusahaan.
2. Pengungkapan (disclosure) : penyajian informasi kepada stakeholders, baik diminta maupun tidak diminta, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kinerja operasional, keuangan, dan resiko usaha perusahaan.
3. Kemandirian (independence) : suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
4. Akuntabilitas (accountability) : kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Manajemen perusa-haan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif dan ekonomis.
5. Pertanggungjawaban (responsibility) : kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
6. Kewajaran (fairness) : keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PERANAN ETIKA BISNIS DALAM PENERAPAN GCG
1. Code of Corporate and Business Conduct
Kode Etik dalam tingkah laku berbisnis di perusahaan (Code of Corporate and Business Conduct)” merupakan implementasi salah satu prinsip Good Corporate Governance (GCG). Kode etik tersebut menuntut karyawan & pimpinan perusahaan untuk melakukan praktek-praktek etik bisnis yang terbaik di dalam semua hal yang dilaksanakan atas nama perusahaan. Apabila prinsip tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan (corporate culture), maka seluruh karyawan & pimpinan perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi “mana yang boleh” dan “mana yang tidak boleh” dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran atas Kode Etik merupakan hal yang serius, bahkan dapat termasuk kategori pelanggaran hukum.
2. Nilai Etika Perusahaan
Kepatuhan pada Kode Etik ini merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan dan memajukan reputasi perusahaan sebagai karyawan & pimpinan perusahaan yang bertanggung jawab, dimana pada akhirnya akan memaksimalkan nilai pemegang saham (shareholder value). Beberapa nilai-nilai etika perusahaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip GCG, yaitu kejujuran, tanggung jawab, saling percaya, keterbukaan dan kerjasama. Kode Etik yang efektif seharusnya bukan sekedar buku atau dokumen yang tersimpan saja. Namun Kode Etik tersebut hendaknya dapat dimengerti oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dan akhirnya dapat dilaksanakan dalam bentuk tindakan (action). Beberapa contoh pelaksanaan kode etik yang harus dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain masalah informasi rahasia dan benturan kepentingan (conflict of interest).
a. Informasi rahasia
Seluruh karyawan harus dapat menjaga informasi rahasia mengenai perusahaan dan dilarang untuk menyebarkan informasi rahasia kepada pihak lain yang tidak berhak. Informasi rahasia dapat dilindungi oleh hukum apabila informasi tersebut berharga untuk pihak lain dan pemiliknya melakukan tindakan yang diperlukan untuk melindunginya. Beberapa kode etik yang perlu dilakukan oleh karyawan yaitu harus selalu melindungi informasi rahasia perusahaan dan termasuk Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) serta harus memberi respek terhadap hak yang sama dari pihak lain. Selain itu karyawan juga harus melakukan perlindungan dengan seksama atas kerahasiaan informasi rahasia yang diterima dari pihak lain. Adanya kode etik tersebut diharapkan dapat terjaga hubungan yang baik dengan pemegang saham (share holder), atas dasar integritas (kejujuran) dan transparansi (keterbukaan), dan menjauhkan diri dari memaparkan informasi rahasia. Selain itu dapat terjaga keseimbangan dari kepentingan perusahaan dan pemegang sahamnya dengan kepentingan yang layak dari karyawan, pelanggan, pemasok maupun pemerintah dan masyarakat pada umumnya.
b. Conflict of interrest
Seluruh karyawan & pimpinan perusahaan harus dapat menjaga kondisi yang bebas dari suatu benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perusahaan. Suatu benturan kepentingan dapat timbul bila karyawan & pimpinan perusahaan memiliki, secara langsung maupun tidak langsung kepentingan pribadi didalam mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut seharusnya diambil secara obyektif, bebas dari keragu-raguan dan demi kepentingan terbaik dari perusahaan. Beberapa kode etik yang perlu dipatuhi oleh seluruh karyawan & pimpinan perusahaan, antara lain menghindarkan diri dari situasi (kondisi) yang dapat mengakibatkan suatu benturan kepentingan. Selain itu setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang merasa bahwa dirinya mungkin terlibat dalam benturan kepentingan harus segera melaporkan semua hal yang bersangkutan secara detail kepada pimpinannya (atasannya) yang lebih tinggi. Terdapat 8 (delapan) hal yang termasuk kategori situasi benturan kepentingan (conflict of interest) tertentu, sebagai berikut :
1. Segala konsultasi atau hubungan lain yang signifikan dengan, atau berkeinginan mengambil andil di dalam aktivitas pemasok, pelanggan atau pesaing (competitor).
2. Segala kepentingan pribadi yang berhubungan dengan kepentingan perusahaan.
3. Segala hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan keluarga (family), atau dengan perusahaan yang dikontrol oleh personal tersebut.
4. Segala posisi dimana karyawan & pimpinan perusahaan mempunyai pengaruh atau kontrol terhadap evaluasi hasil pekerjaan atau kompensasi dari personal yang masih ada hubungan keluarga.
5. Segala penggunaan pribadi maupun berbagi atas informasi rahasia perusahaan demi suatu keuntungan pribadi, seperti anjuran untuk membeli atau menjual barang milik perusahaan atau produk, yang didasarkan atas informasi rahasia tersebut.
6. Segala penjualan pada atau pembelian dari perusahaan yang menguntungkan pribadi.
7. Segala penerimaan dari keuntungan, dari seseorang / organisasi / pihak ketiga yang berhubungan dengan perusahaan.
8. Segala aktivitas yang terkait dengan insider trading atas perusahaan yang telah go public, yang merugikan pihak lain.
c. Sanksi
Setiap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar ketentuan dalam Kode Etik tersebut perlu dikenakan sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan / peraturan yang berlaku di perusahaan, misalnya tindakan disipliner termasuk sanksi pemecatan (Pemutusan Hubungan Kerja). Beberapa tindakan karyawan & pimpinan perusahaan yang termasuk kategori pelanggaran terhadap kode etik, antara lain mendapatkan, memakai atau menyalahgunakan asset milik perusahaan untuk kepentingan / keuntungan pribadi, secara fisik mengubah atau merusak asset milik perusahaan tanpa izin yang sesuai dan menghilangkan asset milik perusahaan .Untuk melakukan pengujian atas Kepatuhan terhadap Kode Etik tersebut perlu dilakukan semacam audit kepatuhan (compliance audit) oleh pihak yang independent, misalnya Internal Auditor, sehingga dapat diketahui adanya pelanggaran berikut sanksi yang akan dikenakan terhadap karyawan & pimpinan perusahaan yang melanggar kode etik.Akhirnya diharpkan para karyawan maupun pimpinan perusahaan mematuhi Code of Corporate & Business Conduct yang telah ditetapkan oleh perusahaan sebagai penerapan GCG.
GERAKAN MORAL BERSIH TRANSPARAN & PROFESIONAL (BTP) SEBAGAI IMPLEMENTASI GCG
1. Konsep BTP
Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan oleh perusahaan dalam menerapkan Good Corporate Governance (GCG), adalah melalui Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP). Gerakan Moral BTP di Perusahaan perlu dilakukan dengan penuh kesadaran serta konsisten, sehingga diharapkan dapat mendorong kemajuan perusahaan dengan langkah yang memenuhi etika bisnis. Nilai dasar (basic value) yang terkandung dalam istilah Bersih-Transparan-Profesional, sebagai berikut :
a. Dalam istilah “Bersih (Clean)”, terkandung nilai integritas (integrity), kredibilitas (credibility), jujur (honest), anti Korupsi, Kolusi & Nepotisme (KKN).Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat berperilaku jujur, menjunjung tinggi integritas dan kredibilitas serta mempunyai sikap anti KKN.
b. Dalam istilah “Transparan (transparency)”, terkandung nilai akuntabilitas (accountability), bertanggungjawab (responsibility), keterbukaan serta auditable. Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat berperilaku penuh rasa tanggung jawab, terbuka, serta dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada pihak-pihak berwenang.
c. Dalam istilah “Profesional (Professionalism)”, terkandung nilai kepatuhan (compliance), kapabilitas (capability) serta kemampuan (competency). Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat bekerja dengan trampil, teliti, akurat dan tepat waktu. Selain itu juga perlu memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) serta berani mengambil risiko untuk mencapai keunggulan kompetitif (competitive advantage) Perusahaan. Hal yang tidak kalah penting, adalah adanya kepatuhan seluruh pelaku dalam perusahaan terhadap segala peraturan perundang-undangan dan peraturan perusahaan yang berlaku.
2. Tujuan Gerakan BTP
Gerakan moral BTP di perusahaan dilakukan dengan tujuan agar :
a. Terwujudnya Good Corporate Governance secara konsisten dan berkesinambungan di perusahaan.
b. Terbentuknya budaya baru perusahaan (new corporate culture) yang mendukung peningkatan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
c. Terbangunnya citra perusahaan (corporate image) yang baik, dimata stake holders, masyarakat dan pihak luar perusahaan lainnya.
d. Terhindarnya praktik-praktek KKN yang sangat merugikan perusahaan.
3. Pedoman Perilaku
Dalam pedoman Perilaku Etika Perusahaan (code of corporate conduct/Ethics), yang ditetapkan oleh Direksi, terkandung nilai-nilai etika / moral yang menjadi acuan dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Berikut ini diberikan beberapa contoh perilaku yang terkait dengan Gerakan Moral BTP, sebagai berikut :
a. Gerakan Moral “Bersih”.
1) Tidak melakukan suatu perbuatan tercela .
Segenap karyawan dan pimpinan perusahaan diharapkan dapat perbuatan-perbuatan yang melanggar etika / moral, hukum, ketentuan-ketentuan perusahaan maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Tidak melakukan praktek Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN).
Korupsi berarti menyelewengkan atau menggelapkan asset perusahaan untuk keuntungan pribadi atau pihak lain dan merugikan perusahaan / negara. Kolusi berarti bekerja sama dengan pihak lain, baik secara pribadi atau bersama-sama, untuk mengambil keuntungan dengan melakukan perbuatan yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian. Nepotisme berarti perbuatan yang hanya memberikan keuntungan pada keluarga, teman-teman, kerabat dan seterusnya, yang dapat merugikan perusahaan.
3) Tidak menerima pemberian apapun.
Tidak menerima uang, hadiah dan atau pemberian dalam bentuk apa saja dari siapapun juga yang diketahui atau patut diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan yang dapat menyebabkan penyimpangan pelaksanaan tugas dan/atau pengambilan keputusan.
4) Selalu bersikap Jujur.
Jujur berarti tindakan yang dilakukan sesuai dengan perkataan dan hati nuraninya atau satunya kata dan tindakan (tidak munafik).
b. Gerakan Moral “Transparan”.
Transparan berarti segala kegiatan yang dilaksanakan, informasi yang dimiliki, dapat diketahui dan diawasi oleh pihak lain yang berwenang. Tidak ada sesuatu hal yang ditutup-tutupi (disembunyikan) dan tidak ada yang dirahasiakan. Transparan sangat menuntut kejelasan siapa dan berbuat apa serta bagaimana melaksanakannya.
c. Gerakan Moral “Profesional”.
Bersikap profesional berarti memiliki tekad bekerja secara sungguh-sungguh untuk memberikan hasil kerja (kinerja) terbaik dengan mengerahkan segenap kompetensi yang dimiliki secara optimal.
1. Memberikan hasil (output) yang terbaik.
Bekerja secara profesional ditunjukkan dengan ketekunan, ketelitian, kerja keras, disiplin tinggi, serta berusaha memberikan hasil (output) yang terbaik bagi perusahaan,
2. Memiliki visi yang jelas dan kompetensi yang memadai.
Profesionalisme menuntut segenap karyawan dan pimpinan perusahaan memiliki visi yang jelas dan kompetensi yang memadai. Visi yang jelas akan lebih fokus terhadap apa yang dicita-citakan dan kompetensi yang memadai akan mengoptimalkan pekerjaan sehingga dapat memberikan hasil terbaik kepada perusahaan serta dapat memacu kinerjanya.
3. Dapat bekerjasama dalam kelompok (teamwork).
Kesuksesan perusahaan tidak hanya ditentukan oleh kesuksesan individual melainkan lebih ditentukan oleh hasil kerja kelompok.
4. Memiliki sikap Kreatif dan Inovatif.
Profesionalisme dapat berkembang secara optimal pada individu yang memiliki sikap kreatif dan inovatif. Yaitu terletak pada mereka yang selalu berusaha mencari cara baru dalam mengatasi berbagai masalah dalam perusahaan (problem solving).
Beberapa perusahaan yang secara formal telah menjalankan Gerakan Moral Bersih Transparan dan professional, antara lain PT. Pos Indonesia, PT. Krakatau Steel dan PT. Ratelindo. Sebenarnya cukup banyak perusahaan yang telah mempraktekkan bersih Transparan dan Profesional (BTP), hanya saja belum diformalkan dalam suatu keputusan manajemen perusahaan. Beberapa waktu yang lalu Kamar Dagang dan Industri (KADIN) bekerjasama dengan pihak-pihak terkait telah mencanangkan program Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional di kalangan perusahaan yang bergabung dengan KADIN. Selain itu KADIN juga telah menyusun Modul Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP) dan modul Good Coorporate Governance (GCG) serta modul Kampanye Nasional Anti Suap. Semoga semakin banyak perusahaan yang sadar akan pentingnya Gerakan BTP tersebut sebagai salah satu implementasi GCG di perusahaan.
DIMENSI MORAL DALAM GCG
1. Konsep Moralitas
GCG adalah suatu proses dan struktur yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan untuk meningkatkan nilai perusahaan (corporate value) dalam jangka panjang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders berlandaskan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moral dan etika bisnis. Konsep GCG telah muncul di Amerika Serikat sejak tahun 1980-an dan mengalami perkembangan cukup pesat akhir abad 20. Beberapa waktu yang lalu muncul dua skandal kebangkrutan perusahaan di Amerika Serikat yang menghebohkan kalangan dunia usaha. yaitu kasus Enron dan Worldcom. Hal tersebut mengingatkan kepada kita bahwa praktek bisnis yang melanggar etika (unethical business practices) ternyata terjadi di negara yang sangat mengagungkan prinsip GCG. Skandal tersebut terjadi karena diabaikannya aspek moral yang terkandung dalam prinsip GCG, terutama prinsip keterbukaan (transparency) & pengungkapan (disclosure) serta prinsip akuntabilitas (accountability) dalam pengelolaan perusahaan. Hal tersebut dapat terjadi karena dalam penerapan GCG hanya mengandalkan kepercayaan terhadap manusia sebagai pelaku bisnis dengan mengesampingkan aspek dimensi moral yang bersumber dari ajaran agama. Pada hal sebagus apapun sistem yang berlaku di perusahaan, apabila karyawan dan/ atau manajemen berperilaku menyimpang dan melanggar etika bisnis maka dapat terjadi praktek kecurangan (fraud) yang sangat merugikan perusahaan yang berakhir dengan kebangkrutan.
2. GCG & ajaran agama
Konsep tentang GCG secara universal sangat erat kaitannya dengan ajaran agama-agama yang ada. Prinsip-prinsip GCG ternyata selaras, khususnya dengan ajaran agama Islam. Dimensi moral dari implementasi GCG antara lain terletak pada prinsip akuntabilitas (accountability), prinsip pertanggungjawaban (responsibility), prinsip keterbukaan (transparency) dan prinsip kewajaran (fairness).
Ary Ginanjar Agustian, penulis buku best seller Emotional Spiritual Quotient (ESQ), dalam bukunya yang berjudul “Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan (2003 : 51-52)”, menyatakan bahwa GCG, sebenarnya adalah sebuah upaya perusahaan untuk mendekati garis orbit menuju pusat spiritual, seperti transparency (keterbukaan), responsibilities (bertanggungjawab), accountabilities (kepercayaan), fairness (keadilan) dan social awarness (kepedulian sosial). Sikap kejujuran, bertanggungjawab, bisa dipercaya dan diandalkan serta kepekaan terhadap lingkungan social, itulah yang menjadi tujuan GCG. Jika dibandingkan dengan sikap Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu, seperti honest (siddiq), accountable (amanah), cooperative (tablig), smart (fathonah), atau dengan kata lain : jujur dan benar, bisa dipercaya, bertanggungjawab, memiliki kecerdasan serta peduli terhadap lingkungan / sosial. Menurut Ary Ginanjar, perbedaan signifikan terletak pada jenis drive atau motivasinya. Motivasi demi kepemilikan materi dan pemuas ambisi seringkali menjadi dua motif utama sesorang menerapkan GCG. Hasil yang akan diraih apabila GCG bermotif hanya untuk pemuasan materi, akan berujung pada berbagai skandal, seperti Enron Gate, World Com Gate, Arthur Andersen Gate, juga skandal Global Crossing dan Tyco. Pada akhirnya, skandal tersebut berakhir dan bermuara pada kehancuran.
Menurut Umer M. Chapra, dalam Islam and Economic Chalenge (2002) yang dipublikasikan melalui Islamic economic series no. 17 oleh The International Institution of Islamic Thougt , menyatakan bahwa dalam sistem ekonomi islam yang telah diterapkan pada beberapa negara muslim antara lain menggunakan prinsip syariah yang lebih menekankan pada aspek harmoni. Prinsip syariah erat sekali hubungannya dengan prinsip GCG, karena lebih menekankan pada bagi hasil (profit sharing) yang berarti lebih menonjolkan aspek win-win solution, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam berbisnis.
Burhanuddin Abdullah,Gubernur Bank Indonesia, pada acara 2nd Islamic Financial Services Board (IFSB) International Summit di Doha, Qatar, tanggal 24 – 25 Mei 2005 yang lalu, telah menyampaikan pandangan bahwa penerapan GCG di lembaga keuangan Islam perlu dilakukan melalui berbagai pendekatan yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku secara spesifik di suatu negara maupun nilai-nilai GCG yang berlaku umum di dalam menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Menurut Burhanudin, Penerapan GCG dapat berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain atau satu negara dengan negara lain mengingat standar dan prinsip-prinsip GCG sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan standar etika yang ada pada negara tersebut, seperti budaya, ketentuan hukum, business practices, dan kebijakan-kebijakan pemerintah serta nilai-nilai lainnya. Topik yang diangkat dalam pertemuan tersebut adalah upaya pengembangan dan peningkatan efektifitas good corporate governance pada industri jasa keuangan Islam. Pada kesempatan tersebut, Madzlan Mohammad Hussein, Project Manager IFSB, menyatakan bahwa saat ini sedang merumuskan ketentuan tentang GCG untuk lembaga keuangan Islam. Diperkirakan pada tahun 2005 konsep GCG sudah selesai dan bisa diterapkan pada lembaga keuangan Islam, terutama yang menjadi anggota IFSB.
Selain itu dalam Forum IFSB tersebut telah disepakati bahwa pemahaman terhadap nilai-nilai GCG yang bernilai Islami oleh industri jasa keuangan Islam akan berdampak pada tercapainya 3 tujuan penerapan GCG yaitu:
a. Semakin meningkatnya kepercayaan publik kepada lembaga keuangan Islam.
b. Pertumbuhan industri jasa keuangan Islam dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan akan senantiasa terpelihara.
c. Keberhasilan industri jasa keuangan Islam dalam menerapkan GCG akan menempatkan lembaga keuangan Islam pada level of playing field yang sejajar dengan lembaga keuangan internasional lainnya.
Lembaga keuangan Islam di Indonesia baik yang bergerak di bidang perbankan, asuransi, reksa dana dan lainnya perlu menjalankan prinsip GCG dalam praktek bisnis sehari-hari. Peranan Dewan Syariah Nasional (DSN) sangat penting agar pelaksanaan GCG di lembaga keuangan Islam dapat berjalan dengan lancar. Dalam hal ini, DSN perlu melakukan sosialisasi akan pentingnya prinsip GCG untuk meningkatkan kinerja bisnis di lembaga keuangan Islam. Selain itu DSN perlu melakukan kerja sama dengan pihak Komite Nasional mengenai Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) serta Lembaga yang memiliki concern terhadap implementasi GCG di perusahaan, misalnya Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dan The Indonesian Intitute for Corporate Governance (IICG). KNKCG atau National Committee for Corporate Governance didirikan oleh Pemerintah pada tanggal 19 Agustus 1999. KNKCG telah memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang corporate governance di Indonesia serta telah menyusun draft Pedoman GCG (Code for Good Corporate Governance) yang dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan dalam menerapkan GCG.
FCGI yang didirikan pada tanggal 8 Februari 2000 oleh 5 (lima) asosiasi bisnis dan profesi, yaitu Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), Ikatan Eksekutif Keuangan Indonesia / the Indonesian Financial Executives Association (IFEA), Ikatan Akuntan Indonesia – Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM), Perkumpulan Indonesia Belanda / the Indonesian Netherlands Association ( INA), dan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) memiliki tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan mensosialisasikan prinsip dan aturan mengenai Corporate Governance kepada dunia bisnis di Indonesia dengan mengacu kepada international best practices sehingga mereka dapat memperoleh manfaat dalam melaksanakan prinsip dan aturan yang sesuai dengan prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
IICG merupakan organisasi independen yang didirikan pada tanggal 2 Juni 2000 bertujuan untuk memasyarakatkan konsep, praktek, dan manfaat Corporate Governance kepada dunia usaha khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Kehadiran IICG dimaksudkan sebagai wadah pusat pengkajian dan pengembangan masalah Tata Kelola Korporasi di Indonesia.
Adanya kerjasama yang erat antara DSN, lembaga keuangan Islam serta Lembaga yang concern terhadap Implementasi GCG tersebut, diharapkan agar keberadaan lembaga keuangan Islam di Indonesia dapat memberikan manfaat kepada masyarakat (publik), sehingga Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat segera terwujud.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Etika bisnis memegang peranan sangat penting dalam rangka implementasi GCG. Code of Corporate and Business Conduct merupakan pedoman bagi seluruh karyawan & pimpinan perusahaan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Agar mudah dipelajari dan dijadikan referensi, maka Code of Corporate and Business Conduct tersebut dapat diterbitkan dalam suatu “buku saku” dan dibagikan kepada seluruh karyawan & pimpinan perusahaan.
2. Gerakan Moral Bersih Transparan dan Profesional (BTP) mengandung nilai-nilai moral dan prinsip dasar dari GCG yang bersifat universal. Gerakan ini perlu ditetapkan dengan Surat Keputusan Direksi (Top Management) sehingga memiliki landasan yang kuat dalam kegiatan operasional di perusahaan.
3. Implementasi GCG di perusahaan, termasuk lembaga keuangan Islam ternyata sangat sesuai dan dianjurkan dalam ajaran agama, terutama ditinjau dari dimensi moral dalam prinsip-prinsip GCG tersebut. Oleh karena itu seharusnya para ulama maupun rohaniawan turut mendukung implementasi GCG di berbagai perusahaan, sehingga aspek moral ikut berperan dalam mewujudkan GCG.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Burhanuddin : 2nd Islamic Financial Services Board (IFSB) International Summit , Doha, Qatar, 24 – 25 Mei 2005
Agustian, Ary Ginanjar : Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan , Arga, Jakarta, 2004.
Chapra, Umar M. : “Islam and Economic Chalenge” , Islamic economic series no. 17 , The International Institution of Islamic Thougt, 2002
Fujinuma, Tsuguoki, “Enhancing Corporate Governance –IFAC’s Initiatives and the Role of the Accountancy Profession”, makalah Konvensi Nasional Akuntansi IV, 2000.
Hardjapamekas, Erry Riyana : “Dimensi Perubahan dalam Implementasi Good Corporate Governance”, Makalah Seminar Nasional Akuntan Indonesia & Rapat Anggota Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik & Akuntan Manajemen, Surabaya, 19-21 April 2001.
Herwidayatmo : “Implementasi Good Corporate Governance untuk Perusahaan Publik Indonesia”, Majalah Usahawan No. 10 Th XXIX, Oktober 2000.
Keputusan Menteri BUMN No Kep-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan praktik GCG pada BUMN.
Raka, Gede, “Manajemen Perubahan untuk penerapan Good Corporate Governance”, anggota panel ahli dari The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG) , Makalah Seminar Nasional Akuntan Indonesia & Rapat Anggota Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik & Akuntan Manajemen, Surabaya, 19-21 April 2001.
Tjager, I Nyoman dkk : Corporate Governance: Tantangan dan Kesempatan bagi Komunitas Bisnis Indonesia, PT Prenhallindo, Jakarta, Cetakan I, 2003.
www.bi.go.id
www.bumn-ri.com
www.fcgi.or.id
www.iicg.org
NAMA : ADNAN SUPARDI
ReplyDeleteNIM : C4C009005
PAPER : ETIKA BISNIS DI NEGARA MAJU
PENDAHULUAN
Arti kata “etika” (berasal dari bahasa Yunani ethos, digunakan sejak 1851) itu sendiri adalah “ciri yang membedakan, semangat, moralitas, atau keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh seseorang, sebuah komunitas, atau sebuah institusi”. Jadi, etika bisnis berisi keyakinan, nilai, dan perilaku yang diyakini akan mewujudkan kondisi usaha yang diinginkan dan sesuai moralitas yang dianut oleh para penguasa usaha tersebut. Etika bisnis berlaku untuk seluruh karyawan, tak terkecuali, terlebih penguasa usaha yang menetapkannya.
Istilah yang dipakai beraneka ragam, seperti Etos Kerja, Budaya Kerja, Falsafah Manajemen, Kode Etik, dan lain-lain. Selera dan ruang lingkupnya bisa berbeda, tetapi intinya sama, yaitu pesan-pesan yang menggambarkan kesempurnaan dalam berpikir, berbicara, berpenampilan, dan bertindak.
Perumusan dan penetapan etika bisnis merupakan salah satu dari sekian banyak upaya pemersatu (internal integration) yang diusahakan oleh pemimpin perusahaan untuk meningkatkan daya tahan bisnisnya. Itu dilakukan dengan mengindahkan prinsip-prinsip pengelolaan usaha yang baik (good corporate governance) sekaligus memenuhi kewajibannya sebagai warga masyarakat yang bertanggung jawab (corporate social responsibility).
Dalam penerapannya, etika bisnis tak luput dari kemungkinan terjadinya pelanggaran. Penulis membedakan pelanggaran terhadap etika bisnis ini menjadi dua tipe: yang tidak disengaja dan yang disengaja.
Untuk tipe pelanggaran yang tidak disengaja, ada suatu kisah yang dititipkan oleh seorang bernama Abraham Lincoln, presiden AS yang kedua. Dia bercerita tentang seorang petani yang sedang mendidik anaknya membajak sawah. Sambil menunjuk seekor sapi yang duduk santai di pinggir sawah yang mau dibajak, di petani berkata, “Kamu lihat sapi itu, Nak? Doronglah garu ini menuju ke sapinya.” Petani itu lalu meninggalkan anaknya dan mengerjakan sesuatu di tempat lain. Setelah beberapa lama, si petani kembali. Namun, dia tidak melihat suatu garis yang lurus, yang ia lihat adalah garis yang bengkak-bengkok. “Kamu berfokus pada sapi, kan?” tanyanya. “Iya, Pak, itu yang saya lakukan. Tapi, sapinya bergerak!” jawab sang anak.
Anak itu patuh kepada perintah ayahnya, tetapi ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Dua hal yang menjadi penyebab pelanggaran tak disengaja itu. Pertama, lack of clarity (kurang jelas hasil akhir yang diinginkan oleh pemimpin), dan kedua, lack of supervision (penyeliaan yang diterapkan oleh pemimpin kurang memadai).
Untuk menelaah pelanggaran yang terjadi dengan kesengajaan, ada nasihat menarik dari seorang ahli bedah otak di Jakarta. Dia mengatakan, “Pak Andrew, anak kita kalau mencuri tidak semuanya itu salah. Kita sebagai orang tua harus melihat positifnya dari anak yang mencuri itu. Ada tiga hal baik yang diperagakannya tanpa kita sadari. Pertama, anak yang mencuri itu minimal punya kemauan. Kedua, ia bisa melihat peluang, Dan ketiga, ia berani bertindak atas keyakinannya!” Tentu saja dokter itu tidak bermaksud mendorong anak kita menjadi pencuri. Maksudnya adalah beri arahan kepada anak itu tanpa harus kehilangan ketiga hal tersebut.
ISI
JEPANG merupakan contoh menarik perpaduan harmonis antara modern dan tradisional. ‘’Negeri matahari terbit’’ ini tidak hanya memancarkan sinar kemajuan industri dan teknologi, melainkan juga memiliki keunikan budaya yang tak tenggelam di tengah arus modernisasi. Jangan kaget jika di negeri dengan ekonomi terbesar kedua dunia ini Anda menjumpai segala sesuatunya berbeda secara fundamental. Budaya Jepang —dalam banyak hal bersumber pada spirit Konfusianisme dan Shintoisme— sangat mewarnai kehidupan sosial dan etos bisnis. Jepang memiliki budaya konteks tinggi yang sangat berbeda, khususnya dengan budaya Barat, yang lebih egaliter dan terbuka.
Pilar utama nilai-nilai budaya Jepang dikenal dengan wa (harmoni), kao (reputasi), dan omoiyari (loyalitas). Konsepsi wa mengandung makna mengedepankan semangat teamwork, menjaga hubungan baik, dan menghindari ego individu. Perlu diingat, pengaruh nilai wa dalam pola budaya Jepang terutama udaya bisnis— yaitu ekspresi tidak langsung dalam menyatakan penolakan.Orang Jepang tidak bisa berkata tidak. Dalam menyampaikan pendapat, mereka lebih mengutamakan konteks, tidak menyatakannya secara terbuka. Secara harfiah, kao berarti wajah. Wajah merupakan cermin harga diri, reputasi, dan status sosial. Masyarakat Jepang pada umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung. Membuat orang lain ‘’kehilangan muka’’ merupakan tindakan tabu dan dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan bisnis. Sedangkan omoiyari berarti sikap empati dan loyalitas. Spirit omoiyari menekankan pentingnya membangun hubungan yang kuat berdasarkan kepercayaan dan kepentingan bersama dalam jangka panjang.
BUDAYA DAN IKLIM BISNIS
Memasuki abad ke-20, setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II, Jepang mulai mengadopsi teknologi Barat dan menggenjot industri dalam negerinya. Sejak itu, Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat dan menjadi salah satu negara pengekspor paling sukses. Kini Jepang merupakan negara industri terkemuka, dengan iklim bisnis dan pasar terbuka yang ramah bagi investasi dan perdagangan asing. Meskipun Jepang mengalami proses modernisasi yang cepat, pola budaya dan tradisinya masih kental mewarnai praktek dan hubungan bisnis. Berikut gambaran praktek bisnis di Jepang pada umumnya.
*
Struktur dan hierarki dalam bisnis dan perusahaan Jepang sangat kuat. Hierarki yang kuat juga tercermin dalam negosiasi bisnis. Proses negosiasi biasanya dimulai dari executive level, kemudian dilanjutkan pada middle level. Meskipun demikian, keputusan dibuat secara kolektif.
*
Proses negosiasi bisnis dengan Jepang dikenal alot dan lamban. Namun adanya persaingan bisnis yang ketat dewasa ini mendorong pengambilan keputusan dibuat lebih cepat dan efisien.
*
Dalam budaya bisnis Jepang, senioritas sangat dihormati. Umur dan status biasanya terkait erat. Dalam pertemuan bisnis, posisi tempat duduk didasarkan pada tingkat senioritasnya.
*
Di Jepang, kontrak bisnis tidak otomatis diartikan sebagai kesepakatan akhir. Lebih penting dari itu adalah memelihara relasi dengan baik untuk kepentingan jangka panjang.
ETIKA BISNIS JEPANG: DO’S AND DON’TS
*
Kebiasaan umum di Jepang dalam perkenalan, menyambut, atau memberi salam adalah dengan ‘’membungkuk’’. Menyambut dan memberi salam hendaknya dilakukan dengan sopan dan penghormatan yang wajar. Jika relasi Anda membungkuk, pastikan bahwa Anda membalasnya, membungkuk serendah yang dilakukan oleh relasi Anda. Dalam hal tertentu, cukup dengan berjabat tangan. Dalam perkenalan, jangan menyapa relasi Jepang Anda dengan nama depannya. Orang Jepang lebih suka menggunakan nama belakangnya. Gunakan sebutan Mr, Mrs, atau menambah san pada nama keluarga. Misalnya, Mr. Hiroshima atau Hiroshima-san.
*
Pertukaran kartu nama (business card). Saling tukar kartu nama atau ‘’meishi’’ merupakan kebiasaan yang penting di Jepang. Pembicaraan bisnis selalu diawali dengan pertukaran kartu nama. Pemeo mengatakan, bisnis belum dapat dimulai sampai ada pertukaran kartu nama. Gunakan dua tangan pada waktu menyerahkan kartu, demikian pula sebaliknya ketika menerima. Pertukaran kartu nama dilakukan setelah ritual salam membungkuk usai dilaksanakan. Pada waktu menerima kartu nama dari calon relasi bisnis, tunjukkkan bahwa Anda telah mengamatinya dengan cermat dan saksama sebelum menaruhnya di atas meja atau memasukkannya dalam card case. Jangan memasukkan kartu ke dalam dompet, kantong celana, atau menulis pada kartu yang Anda terima. Tindakan ini dipandang sebagai tindakan tidak respek dan sopan. Kartu hendaknya dicetak dalam dua bahasa, di satu sisi bahasa nasional Anda dan pada sisi sebaliknya dengan bahasa Jepang. Hal ini untuk menunjukkan kemauan kuat Anda untuk berkomunikasi dengan relasi Jepang Anda.
*
Pertukaran cenderamata atau oleh-oleh. Membawa dan memberikan oleh-oleh merupakan bagian warisan budaya bisnis Jepang tempo dulu yang sangat penting. Pada era bisnis Jepang kontemporer, meskipun membawa oleholeh tidak lagi menjadi keharusan, hal itu tetap dihargai sebagai bagian dalam etika bisnis Jepang. Namun, harus diingat, jangan membawa cenderamata terlalu besar, sebab dapat dianggap sebagai “sogokan’’. Cenderamata itu sendiri sebenarnya tidaklah terlalu penting. Yang lebih penting dari itu adalah prosesi dan nuansa yang terjadi di balik tukar-menukar cenderamata itu. Cenderamata harus selalu dibungkus secara cermat. Jangan menggunakan kertas bungkus dengan warna putih polos karena menyimbolkan kematian. Penyerahan cenderamata hendaknya dilakukan pada akhir pertemuan atau kunjungan. Penyerahan dilakukan dengan dua tangan, demikian sebaliknya pada waktu menerima.
*
Ketepatan waktu. Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat dengan budaya tepat waktu yang tinggi. Terlambat dalam suatu pertemuan bisnis dianggap tidak menghargai. Datang lima menit lebih awal merupakan praktek yang umum.
*
Penampilan dan busana. Orang Jepang dikenal sangat konservatif soal pakaian. Mereka sangat menghargai seseorang yang berpakaian pantas sesuai dengan status dan posisinya atau bahasa kerennya, dress to impress. Dalam acara bisnis, jangan mengenakan pakaian casual. Laki-laki sebaiknya memakai business suits warna gelap konservatif. Wanita dianjurkan tidak memakai celana panjang karena dinilai kurang sopan dan memberi kesan ofensif.
*
Jamuan bisnis. Orang Jepang hampir tidak pernah mengundang jamuan di rumah. Jamuan bisnis umumnya diadakan di restoran. Biasanya tuan rumah akan memilih menu dan membayarnya. Perlu dicatat, memberikan tip bukan hal yang lumrah di Jepang.
*
Privasi dan body language. Masyarakat Jepang sangat menghargai privasi dan merasa nyaman dengan sikap tenang. Dalam berbicara atau negosiasi, hindari sikap dan gerakan-gerakan tangan yang berlebihan. Orang Jepang tidak bicara dengan tangan. Menunjuk dianggap tindakan yang tidak sopan. Jangan pula menggunakan isyarat ‘’OK’’ dengan tangan, karena di Jepang berarti uang. Hindari simbol-simbol angka 4 (empat). Masyarakat Jepang mempercayai angka 4 sebagai angka dan nasib buruk (bad luck) karena bunyi bacaan shi punya kesamaan arti dengan kematian.
*
Di “negeri sakura’’, ungkapan gomenasai (maaf) dan arigato (terima kasih) banyak kita dengar di berbagai tempat dan kesempatan. Menyatakan terima kasih secara intens dan berulang kali dianggap perbuatan yang santun. Nah, setelah mengetahui etika bisnis Jepang, sebaiknya Anda mulai mempraktekannya supaya sukses mendulang emas di ‘’negeri samurai’’ itu. Hai, domo, arigato...
KESIMPULAN
Pada dasarnya untuk menciptakan etika bisnis yang ideal perlu diperhatikan hal hal sbb :1. Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang "etis".
2. Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat, bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan, melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi, tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
4. Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong" dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan “kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan berkiprah dalam dunia bisnis.
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi, jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
10. Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut, seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah.
referensi :
http://www.aksesdeplu.com/etika%20bisnis%20jepang.htm
http://fe.elcom.umy.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=216
fe.usu.ac.id/files/Etika%20bisnis%20manajemen-ritha8.pdf
Nama: Amin Zuhdi
ReplyDeleteNIM: P2CD08001
ETIKA BISNIS ISLAM
Pada abad kontemporer ini, dunia Islam telah melewati salah satu masa sejarahnya yang paling kritis tetapi kreatif. Di tengah krisis sistem kontemporer yang bebas nilai, hampa nilai, yakni paham kapitalis dan sosialis, kita menemukan Islam sebagai suatu sistem nilai yang penuh dan lengkap memuat nilai-nilai kehidupan. Selain itu, keunikan pendekatan Islam terletak pada sistem nilai yang mewarnai tingkah laku ekonomi/ kehidupan. Segala aspek kehidupan, termasuk ekonomi tercakup nilai-nilai dasar dalam Islam yang bersumber pada asas tauhid. Bahkan lebih dari sekedar nilai-nilai dasar (seperti keseimbangan, kesatuan, tanggung jawab dan keadilan), Islam telah cukup memuat nilai-nilai instrumental dan norma-norma yang operasional untuk diterapkan dalam pembentukan lembaga-lembaga ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, bukan sekedar retorika dan angan-angan apabila sebuah sistem ekonomi Islam, sesungguhnya dapat, perlu dan semestinya dibangun jika suatu kehidupan yang selamat, sejahtera benar-benar diinginkan untuk terwujud dalam realitas masyarakat. Yaitu masyarakat yang homo-islamicus, dan bukan masyarakat yang homo-economicus sebagaimana faham kapitaslis dan sosialis.
Untuk mencapai cita-cita yang dicanangkan dalam nilai dasar Islam, maka perlu perumusan etika dalam bisnis untuk memandu tingkah laku bisnis masyarakt muslim. Etika ini untuk selanjunya dijadikan landasan praktis yang fungsional sebagai Religious Practical guidance.
Etika dalam rumusan para ahli adalah ilmu yang menyelidiki baik dan buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Etika dipandang sama dengan akhlak, karena keduanya membahas masalah baik dan buruk tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat adalah memperoleh ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat tentang ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat dicapai oleh akal fikiran manusia. Namun, untuk mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini berbeda tentang ide baik dan buruk mempunyai ukuran kriteria yang berbeda. sebagai cabang dari filsafat, maka etika bertitik tolak dari akal fikiran, tidak dari agama. Di sini letak perbedaan dengan akhlak dalam pandangan islam. Ilmu akhlak sebagai pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan buruk berdasarkan ajaran Islam. Ajaran etika islam sesuai dengan fitrah dan akal pikiran yang lurus.
A. NILAI DAN PRINSIP POKOK
Nilai-nilai islam terangkum dalam dua prinsip pokok : Pertama,Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allah mengandung konsekwensi keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah SWT. keyakinan demikian mengantar seorang muslim untuk menyatakan :
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi Allah, Tuhan seru sekalian alam”.
Prinsip ini menghasilkan kesatuan-kesatuan yang beredar dalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planet tatasurya menglilingi matahari. Kesatuan-kesatuan ini antara lain kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan duania dan akhirat.
Kedua, Keseimbangan mengantar manusia meyakini bahwa segala sesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi.
“Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati apakah engkau melihat sedikit ketimpangan”. ( Q.S al-Mulk 67:3)
Prinsip ini menunutut manusia bukan saja hidup seimbang serasi dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnya untuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya
Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggamannya adalah milik Alah SWT. keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil usahanya sendiri tetapi terdapat partsisipasi orang lain. Tauhid yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejar keuntungan material semata, tetapi keberkahan dan keuntungan yang lebih kekal. Oleh karena itu, seorang pengusaha dipandu untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam melarang tidak saja praktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain.
Prinsip keseimbangan mengarahkan umat Islam kepada pencegahan segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atau satu kelompok. Atas dasar ini pula al-Qur’an menolak dengan amat tegas daur sempit yang menjadikan kekayataan hanya berkisar pada orang atau kelompok tertentu :
“Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja dia antara kamu”. ( Q.S. 59:7).
Selanjutnya Umat Islam dilarang melakukan penimbunan dan pemborosan, hal ini tercermin dalam Q.S Al-Taubah : 34 :
Ayat ini dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak-hak miliki perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelundupan dan yang mengambil keuntungan secar berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikan harga yang tidak semestinya
“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (Q.S Al-Araf 7:31).
Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaan barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbnagan akibat kenaikan harga-harga. Dalam rangka memlihara keseimbanagn itu, Islam menegaskan pemerintah untuk mengontrol harga-harga yang tidak wajar dan cenderung spekulatif.
B. ETIKA PRAKTIS DALAM BISNIS
Dari prinsip di atas, maka seorang pelaku bisnis atau wirausaha menurut pandangan Etika Islam ketika berdagang tidak hanya bertujuan mencari keutungan sebesar-besarnya, akan tetapi mencari dan mencapai keberkahan. Keberkahan usaha adalah kemantapan dari usaha itu dengan memperoleh keuntungan yang wajar dan diridhai oleh Allah SWT.
Untuk memperoleh keberkahan dalam jual beli, Islam mengajarkan prinsip-prinsip etis sebagai berikut : Pertama. Jujur dalam takaran dan timbangan, Allah berfirman Q.S. al-Muthafifin 1-2 :
“Celakalah bagi orang yang curang. Apabila mereka menimbang dari orang lain (untuk dirinya, dipenuhkan timbangannya). namun, apabila mereka menimbang (untuk oranng lain ) dikuranginya”.
Kedua, menjual barang yang halal. Dalam salah satu hadits nabi menyatakan bahwa Allah mengharamkan sesuatu barang, maka haram pula harganya (diperjualbelikan). Ketiga, menjual barang yang baik mutunya. Dalam berbagai hadits Rasulullah melarang menjual buah-buahan hingga jelas baiknya. Keempat, jangan menyembunyikan cacat barang. Salah satu sumber hilangnya keberkahan jual beli, jika seseorang menjual barang yang cacat yang disembunyikan cacatnya. Ibnu Umar menurut riwayat Bukhari, memberitakan bahwa seorang lelaki menceritakan kepada Nabi bahwa ia tertipu dalam jual beli. Sabda Nabi ; “ apabila engkau berjual beli, katakanlah : tidak ada tipuan”. Kelima, Jangan main sumpah. Ada kebiasaan pedagang untuk meyakinkan pembelinya dengan jalan main sumpah agar dagangannya laris. Dalam hal ini Rasul memperingatkan :
“sumpah itu melariskan dagangan, tetapi menghapuskan keberkahan”. (H.R. Bukhari)
Keenam, longgar dan bermurah hati. Sabda Rasul:
“Allah mengasihi orang yang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli dan waktu menagih hutang”. (H.R. Bukhari)
Kemudian dalam hadits lain Abu Hurairah memberitakan bahwa Rasulullah bersabda:
“ada seorang pedagang yang mempiutangi orang banyak. Apabila dilihatnya orang yang ditagih itu dalam dalam kesempitan, dia perintahkan kepada pembantu-pembantunya.” Berilah kelonggaran kepadanya, mudah-mudahan Allah memberikan kelapangan kepada kita”. Maka Allah pun memberikan kelapangan kepadanya “ (H.R. Bukhari).
Ketujuh, jangan menyaingi kawan. Rasulullah bersabda :
“janganlah kamu menjual dengan menyaingi dagangan saudaranya”.
Kedelapan, mencatat hutang piutang. Dalam dunia bisnis lazim terjadi pinjam-meminjam. Dalam hubungan ini al-Qur’an mengajarkan pencatatan hutang piutang. Gunanya adalah untuk mengingatkan salah satu pihak yang mungkin suatu waktu lupa atau khilap :
“hai orang-orang yang beriman, kalau kalian berhutang-piutang dengan janji yang ditetapkan waktunya, hendaklah kalian tuliskan. Dan seorang penulis di antara kalian, hendaklah menuliskannya dengan jujur. Janganlah penulis itu enggan menuliskannya, sebagaimana yang diajarkan Allah kepadanya”.
Kesembilan, larangan riba sebagaimana Allah berfirman :
“Allah menghapuskan riba dan menyempurnakan kebaikan shadaqah. Dan Allah tidak suka kepada orang yang tetap membangkang dalam bergelimang dosa”.
Kesepuluh, zakat. Menghitung dan mengeluarkan zakat barang dagangan setiap tahun sebanyak 2,5% sebagai pembersih bagi harta.
Demikianlah prinsip-prinsip etika yang diajarkan Islam untuk diterapkan dalam dunia bisnis dan kewirausahaann yang memungkinkan mencapai keberkahan usaha. Keberkahan dalam usaha berarti memperoleh keuntungan dunia dan akhirat.
C. PENUTUP
Etika merupakan pedoman moral bagi suatu tindakan manusia dan menjadi sumber pemikiran baik buruk tindakan itu. Agama merupakan kepercayaan akan sesuatu kekuatan supranatural yang mengatur dan mengendalikan kehidupan manusia. Praktik ekonomi, bisnis, wirausaha dan lainnya yang bertujuan meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, diperintahkan dan dipandu baik oleh aturan-aturan ekonomi yang bersifat rasional maupun dituntun oleh nilai-nilai agama.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad M. Saefullah, “Perspektif Ekonomi Umat Islam” dalam Indonesia dan masa Depan, Surabaya: Usaha Nasional, 1992.
Prijono Tjiptoherijanto, “Moral Pembangunan dalam Sistem Ekonomi Islam” dalam Islam dan Kemiskinan, Bandung: Pustaka, 1988.
Hamzah Ya’qub, Etika Islam, bandung : Diponegoro, 1988.
http://www.persis.or.id
M. Quraish Shihab, “Ekonomi” dalam Wawasan Islam, Bandung: Mizan, 1996.
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syari’ah, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1987.
Arigatou Gozaimasu ;)
ReplyDelete