Setiap mahasiswa diwajibkan membahas satu kasus yang berkaitan dengan etika bisnis pada profesi akuntan. Kasus yang dibahas harus kasus nyata, bukan kasus pada latihan-latihan setelah pembahasan setelah selesainya suatu Bab dalam buku-buku text. Jadi, kasus yang dibahas harus benar-benar sudah terjadi.
Tidak diperkenankan membahas kasus yang sama. Setiap mahasiswa membahas kasus yang berbeda-beda. Untuk itulah segera searching internet atau hunting di perpustakaan untuk mencari kasus yang menarik yang akan Saudara gunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah ini.
Daftarkan segera kasus yang akan Saudara angkat, dan publikasikan disini. Siapa cepat dapat. Artinya, bila seseorang telah mendaftar kasus tertentu disini, maka yang lainnya harus membahas kasus lain.
Setelah mendaftar, siapkan papernya, dan publikasikan disini pula, paling lambat 15 Mei 2009.
Jelasnya:
1. Daftarkan dulu topiknya (atau judulnya)
2. Posting disini papernya (tentang kasus tersebut)
3. Siapkan power pointnya untuk presentasi (power point dikirim melalui email ke agung.praptapa@gmail.com.
Kapan presentasinya? Setelah MID Test.
Agung P
PW GAS
1 year ago
Nama : Lulu Lugina Kurniawan
ReplyDeleteNIM : C4C009007
Kasus: PT KAI
Nama : Siti Nur LB
ReplyDeleteNIM : C4COO8O1O
Kasus: PT. GREAT RIVER
Nama: Hijroh Rokhayati
ReplyDeleteNIM: P2CD08016
KAsus: PT. LIPPO, Tbk
Nama : Bramadhani Tribuana
ReplyDeleteNIM : C4C009001
Kasus : Audit pada 37 Bank bermasalah terkait BLBI
Nama : Uswatun Hasanah
ReplyDeleteNIM : P2CD08008
Kasus : KAP Drs Tahrir Hidayat
Nama: Amin Zuhdi
ReplyDeleteNIM: P2CD08001
Kasus: Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral
Nama : Enie Kussetiyaningsih
ReplyDeleteNIM : P2CD08002
Kasus : Mulyana W Kusuma
Nama: Sukma Andhina
ReplyDeleteNIM: C4C009002
Kasus: PT. Muzatek Jaya - KAP Petrus Mitra Winata
Nama : Harmasti Riftiana
ReplyDeleteNIM : C4C009011
Kasus : KAP Eddy Pianto vs KAP Hadi Sutanto
Nama : Dendra Kurnianto
ReplyDeleteNIM : C4C008008
Kasus : kasus KIMIA FARMA
Nama : Dermawan Sugiarto
ReplyDeleteNIM : C4C008007
Kasus : LION AIR
Nama : Mario Eduardo W W
ReplyDeleteNIM : C4C008002
Kasus : Depnakertrans
Nama: Mochamad Novelsyah
ReplyDeleteNIM: C4C009006
Kasus: Suap Dolog Kabupaten Ngada
Nama: Mochamad Novelsyah
ReplyDeleteNIM: C4C009006
Kasus: Auditor Internal Bea Cukai dan PT Katsushiro Indonesia
Menggantikan Kasus Suap Dolog Kabupaten Ngada
untuk teman-teman yang akan mengambil kasus suap Dolog di Kabupaten Ngada silahkan..
Nama : Nurkhikmah
ReplyDeleteNIM : P2CD08015
Kasus : PT. AGIS
Nama : Nurkhikmah
ReplyDeleteNIM : P2CD08015
Kasus : PT. AGIS
Nama : Dermawan Sugiarto
ReplyDeleteNIM : C4C008007
Kasus : Maaf Ralat, saya kasus ADAM AIR
Nama : Mario Eduardo W W
ReplyDeleteNIM : C4C008002
Kasus : Fannie Mae
Kasus tersebut menggantikan kasus Depnakertrans yg saya post 27 April 2009
Nama : Alfonsa Dian Sumarna
ReplyDeleteNIM : C4C008003
Kasus : PT. Bakrie & Brothers, Tbk, (KAP Doli, Sudarmaji&Dadang, Bambang)
Nama:Ulfah
ReplyDeleteNIM: C4C009009
Kasus: Indosat
NAMA : ADNAN SUPARDI
ReplyDeleteNIM : C4C009005
KASUS : PT. Pusako Tarinka (KAP YAHYA SANTOSA)
Nama : DERMAWAN SUGIARTO
ReplyDeleteNIM : C4C008007
KASUS : WorldCom
Nama : N. Arif H.
ReplyDeleteNIM : C4C009003
KASUS : Merck
Nama : Prima geradiko
ReplyDeleteNim : C4C008006
Topik : KPMG AOL
Nama : Lulu Lugina Kurniawan
ReplyDeleteNIM : C4C009007
PEMBAHASAN KASUS PT. KERETA API INDONESIA
Kasus PT. KAI bermuara pada perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Komisaris yang merangkap sebagai Ketua Komite Audit dimana Komisaris tersebut menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Dan Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada.
Perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris bersumber pada perbedaan pendapat atas 4 (empat) hal, yaitu :
1. Masalah piutang PPN.
Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp. 95,2 milyar, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor. Manajemen menganggap bahwa pemberian jasa yang dilakukannya tidak kena PPN, namun karena Dirjen Pajak menagih PPN atas jasa tersebut, PT. KAI menagih PPN tersebut kepada pelanggan.
2. Masalah Beban Ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan.
Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi, menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.
3. Masalah persediaan dalam perjalanan.
Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.
4. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYBDS) dan Penyertaan Modal Negara (PMN).
BPYBDS sebesar Rp. 674,5 milyar dan PMN sebesar Rp. 70 milyar yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005.
Pertanyaan mendasar yang menjadi fokus perhatian bersama adalah apakah auditor eksternal telah menjalankan tugasnya sesuai standar-standar yang berlaku (PSAK dan SPAP)? Lebih jauh lagi apakah auditor eksternal telah berkomunikasi dengan Komite Audit, dan apakah komunikasi tersebut efektif ?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi mengenai peran dan tanggung jawab Komisaris, beserta organnya Komite Audit dalam proses Good Ccorporate Governance di perusahaan, baik BUMN maupun swasta.
Menurut teori dan best practices dalam Good Corporate Governance, Dewan Komisaris dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya memiliki 3 fungsi, yaitu :
1. Advising. Memberi nasehat bagaimana seharusnya Direksi bersikap. Oleh sebab itu sebaiknya Dewan Komisaris terdiri dari beberapa latar belakang.
2. Protecting. Melindungi perusahaan dari sesuatu yang tidak diharapkan. Misalnya : memberikan argumentasi dan pendapat independen yang kuat atas sesuatu yang dapat merugikan perusahaan dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip GCG.
3. Supervising. Mengawasi pengelolaan perusahaan agar mampu menciptakan value yang optimal bagi stakeholders.
Peran vital yang dijalankan oleh Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris dalam 3 hal tersebut diatas, yaitu advising, supervising dan protecting (dengan cara memberikan analisis bagaimana memproteksi perusahaan). Hal terpenting yang harus dipahami adalah bahwa Komite Audit tidak memiliki suara untuk mengatasnamakan perusahaan sehingga tidak diperkenankan berbicara di luar perusahaan. Karena Komite Audit merupakan tools Dewan Komisaris dengan demikian yang berhak untuk berbicara adalah Dewan Komisaris.
Khusus dalam proses audit, Komite Audit memainkan peranan yang sangat penting dalam :
1. Mereview audit plan
2. Mendiskusikan penunjukan auditor eksternal. Pada saat proses lelang, Komite Audit harus sudah ikut untuk melihat apakah auditor eksternal layak dipilih dan melihat fairness proses pemilihan. Yang akan bicara kepada Direksi adalah Dewan Komisaris, bukan Komite Audit. Jangan sampai Komite Audit over duties (berlebih-lebihan).
3. Mereview transaksi-transaksi besar untuk dilaporkan kepada Dewan Komisaris, kemudian Dewan Komisaris berkomunikasi dengan Direksi.
Kasus PT. KAI menarik untuk dicermati karena kasus ini dapat terjadi di perusahaan lainnya. Apapun permasalahan yang terjadi apabila diantara Direksi dan Komisaris terjadi perbedaan pendapat yang rugi adalah perusahaan, dimana social and political costnya sangat tinggi. Selain itu masing-masing pihak yang sedang berselisih pendapat (yaitu Direksi maupun Komisaris) akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu sehingga akan sangat merugikan perusahaan, yang pada akhirnya akan mengganggu keberlangsungan (sustainability) perusahaan.
Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah karena rumitnya laporan keuangan PT. KAI. Hal ini karena terdapat ratusan stasiun, puluhan depo dan gudang yang seluruhnya memiliki laporan keuangan yang terpisah, sehingga yang berpotensi menyebabkan masalah maupun perbedaan pendapat di kemudian hari. Hal ini ditambah lagi dengan kenyataan bahwa baru sebagian kecil proses akuntansi dilaksanakan dengan komputer. Sebenarnya sistem akuntansi PT. KAI cukup modern untuk penyusunan laporan keuangan dan informasi manajemen, namun karena kedua hal tersebut diatas maka sistem akuntansi tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik.
Keterkaitan antara realisasi anggaran dengan akuntansi juga merupakan masalah yang rumit karena sistem otorisasi anggaran yang kompleks. Kenyataan lain yang turut mendorong terjadinya kasus laporan keuangan PT. Kereta Api adalah bahwa proses akuntansi dan laporan keuangan adalah hanya urusan bagian akuntansi, unit lain kurang terlibat dan tidak memiliki sense of belonging, sehingga hal ini jelas menyulitkan bagi bagian akuntansi.
Selain beberapa hal teknis tersebut diatas, beberapa hal yang diidentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT. Kereta Api adalah :
1. Auditor Internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya Auditor Eksternal.
2. Komite Audit tidak ikut dalam proses penunjukan auditor sehingga tidak terlibat dalam proses audit.
3. Manajemen (termasuk auditor internal) tidak melaporkan kepada Komite Audit dan Komite Audit juga tidak menanyakannya.
4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika Komite Audit mempertanyakannya manajemen merasa tidak yakin.
SOLUSI DAN REKOMENDASI
Dengan pembahasan kasus audit umum PT. Kereta Api Indonesia, beberapa pelajaran berharga dapat dipetik dari kasus tersebut, diantaranya adalah :
Pertama, perselisihan antara Dewan Komisaris dan Direksi sebenarnya dapat diselesaikan dengan cara yang lebih elegan. Apabila Dewan Komisaris merasa Direksi tidak capable memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada pemegang saham untuk mengganti Direksi. Hal ini akan jauh lebih baik dan tentunya mampu menghindarkan perusahaan dari social cost yang tidak perlu. Social cost seringkali timbul karena public judgement yang sudah terlanjur dijatuhkan dan seringkali public judgement ini tidak fair bagi perusahaan.
Kedua, Dewan Komisaris merupakan suatu dewan, sehingga akan sangat ideal apabila Dewan Komisaris mempunyai satu orang juru bicara yang mengatasnamakan seluruh Dewan Komisaris sehingga Dewan Komisaris memiliki satu suara. Namun demikian bukan berarti tidak diperkenankan adanya perbedaan pendapat dalam Dewan Komisaris. Perbedaan pendapat diakomodir dengan jelas dalam dissenting opinion yang harus dicatat dalam risalah rapat. Untuk itulah perlunya kebijaksanaan (wisdom) dari anggota Dewan Komisaris untuk memilah-milah informasi apa saja yang merupakan public domain dan informasi yang merupakan private domain. Hal ini terkait dengan pelaksanaan prinsip GCG yaitu transparansi, karena transparansi bukan berarti memberikan seluruh informasi perusahaan kepada semua orang, namun harus tepat sasaran dan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Ketiga, sesuai dengan SA 380, Komunikasi Auditor Eksternal dengan Komite Audit merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses audit suatu perusahaan. Kasus PT. Kereta Api merupakan cerminan bahwa komunikasi yang intens antara Auditor Eksternal dengan Komite Audit sangat diperlukan. Kendala komunikasi yang dihadapi pada kasus PT. Kereta Api salah satunya dipicu oleh adanya pergantian anggota Komite Audit pada saat pelaksanaan audit. Auditor eksternal mengalami hambatan karena terdapat kekosongan beberapa bulan sebelum anggota Komite Audit yang baru diangkat.
Keempat, komunikasi antara Komite Audit dengan Internal Auditor yang belum tercipta dengan baik merupakan salah satu faktor yang turut memiliki andil dalam memicu kasus ini. Sebagaimana diketahui bersama bahwa Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam operasional perusahaan. Sebagai ilustrasi mengenai kurangnya komunikasi antara Komite Audit dan Auditor Internal, sejak Komite Audit aktif September 2005, sampai dengan saat ini belum pernah satu kalipun terjadi komunikasi antara Komite Audit dengan Auditor Internal untuk proses audit tahun buku 2006.
Kelima, terkait dengan prinsip konsistensi yang harus diterapkan dalam akuntansi, perlu ditekankan bahwa pelaksanaan prinsip konsistensi dengan tetap berpegang pada pengetahuan dan prinsip akuntansi yang berlaku. Dengan demikian bukan berarti kebijakan akuntansi yang telah dilakukan tahun lalu akan dianggap konsisten apabila tahun ini tetap dilakukan.
Keenam, beberapa hal teknis yang pelru dipertimbangkan untuk dikembangkan adalah PSAK yang khusus mengatur mengenai PSO (Public Service Obligation), IMO (Infrastructure Maintenance and Operation), TAC (Track Access Charges) dan BPYBDS serta komputerisasi akuntansi dan penyederhanaan chart of account atau penyederhanaan sistem akuntansi.
Nama : Ulfah
ReplyDeleteNim : C4C009009
Kasus : PT Destiny marine safety (KAP Nikmat Siahaan)
Menggantikan kasus indosat
Tugas Terstruktur Etika Bisnis
ReplyDeleteProgram Pasca Sarjana dan Pendidikan Profesi Akuntansi
Skandal Keuangan WorldCom Guncang Bursa Global
Oleh : Dermawan Sugiarto
NIM : C4C008007
PENDAHULUAN
Bursa-bursa saham utama di dunia, termasuk di Jakarta anjlok tajam pada Juni 2002, menyusul terbongkarnya skandal akuntansi di WorldCom, perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Amerika Serikat (AS), enam pekan setelah terbongkarnya kasus Enron. Worldcom terlibat rekayasa akuntansi atau manipulasi laporan keuangan milyaran dollar AS. Dalam pembukuannya Worldcom mengumumkan laba sebesar US$ 3.9 milyar antara Januari 2001 sampai Maret 2002.
Dampak dari kasus tersebut, bursa saham di Wall Street tekoreksi seperti indeks Dow Jones di New York Stock Exchange (NYSE) yang anjlok sebesar 155 poin atau 1,67 persen dan Nasdaq sebesar 26,35 poin atau 2,49 persen.
Anjloknya bursa utama di Wall Street tersebut, membawa sentimen negatif ke bursa-bursa saham global. Beberapa bursa global yang anjlok tajam antara lain FTSE London sebesar 3,1 persen, DAX Jerman tergelincir sebesar 4,2 persen.
Sementara Nikkei 225 Jepang anjlok sebesar 4,02 persen, Hang Seng Hong Kong sebesar 2,39 persen, Seoul Composite sebesar 7,15 persen dan Strait Times Singapura sebesar 2,15 persen. Bursa Australia pun tak luput dari penurunan sebesar 1,48 persen dan NZSE Selandia Baru turun 1,64 persen.
Bursa kawasan regional yang terkena dampak WorldCom antara lain Kuala Lumpur Stock Exchange Malaysia yang turun 1,70 persen, SET Thailand anjlok 4,35 persen dan Taiwan Weighted anjlok 3,63 persen. Begitu pula dengan bursa Karachi Pakistan turun 0,08 persen dan BSE India sebesar 1,04 persen. Sedangkan Indeks Harga Saham Bursa Efek Jakarta (BEJ) anjlok 13,459 persen ke posisi 516,959. Bahkan IHSG BEJ sempat menyentuh level psikologis 500 sebelum akhirnya rebound (pulih) ke posisi 516-an.
Skandal ini telah menenggelamkan kepercayaan investor terhadap Korporasi AS dan menyebabkan harga saham dunia menurun serentak di akhir Juni 2002. Banyak investor lari dari pasar saham karena mereka telah kehilangan kepercayaan, sehingga mereka mengurungkan niat untuk membeli saham.
PELANGGARAN KODE ETIK AKUNTAN PUBLIK DI BALIK SKANDAL WORLDCOM
WorldCom merupakan perusahaan telekomunikasi yang menyediakan berbagai macam produk di seluruh dunia seperti data, Internet, komunikasi telepon, layanan telekonfrens melalui video, sampai penjualan kartu telepon prabayar untuk sambungan internasional. Perusahaan dengan kode saham Wcom di bursa Nasdaq ini memiliki 73.000 pegawai yang tersebar di seluruh dunia. Sebanyak 8.300 di antaranya adalah pegawai yang tinggal di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.
WorldCom sendiri adalah salah satu pionir di balik booming telekomunikasi di AS, yang menjadi besar karena mengakuisisi banyak perusahaan kecil-kecil. Akuisisi itu membuat WorldCom yang hanya berskala kecil melejit menjadi perusahaan besar berskala dunia. Namun, pada saat yang sama, WorldCom terbebani utang 30 milyar dollar AS.
Ketidakpercayaan para investor tersebut bermula dari pengakuan manajemen WorldCom yang menyatakan akan membukukan kerugian pada 2001 dan kuartal I 2002, karena ada kesalahan pelaporan akuntansi atas pengeluaran perusahaan sebesar US$ 3,9 miliar (hampir Rp 38 triliun). Pengeluaran yang dilakukan tersebut berasal dari tranfer dana sebesar US$ 3,055 miliar pada 2000 dan US$ 797 juta pada kuartal I 2002. Seharusnya dana sebesar US$ 3,9 miliar tersebut dibukukan sebagai pengeluaran. Namun oleh auditor yang ditunjuk WorldCom justru dibukukan sebagai pendapatan. Adalah KAP Arthur Andersen yang berada di balik manipulasi laporan keuangan Worldcom. Arthur Andersen diduga mengetahui proses pembukuan atas biaya operasional ke dalam pos investasi serta menyetujui laporan keuangan palsu WorldCom. Sehingga perusahaan telekomunikasi tersebut mengalami kelebihan pendapatan (overstated) yang seharusnya justru merugi.
Creative accounting bukan merupakan suatu hal baru, dan untuk melakukannya membutuhkan biaya yang relative mahal. Creative accounting ini dipicu oleh adanya tekanan bahwa badan usaha merasa harus berada dalam posisi profit untuk menarik investor dan sumber daya. Tetapi hal ini lebih mengarah pada penipuan atau kecurangan pada praktik akuntansi. Apakah ini berarti bahwa creative accounting merupakan hal ilegal yang dapat dibenarkan.
Dalam kasus WorldCom, yang terjadi adalah Worldcom telah menerapkan trik lama yaitu dengan mengkapitalisasikan biaya secara tidak benar. Langkah-langkah yang dilakukan Worldcom dalam menyamarkan biayanya, yaitu :
a) Perusahaan mengeluarkan sejumlah biaya yang didalamnya termasuk biaya gaji dan upah pekerja.
b) Biaya-biaya tersebut tidak dimasukkan dalam income statement seperti yang seharusnya. Dengan begitu net income Worldcom menjadi lebih besar.
c) Biaya-biaya tersebut dimasukkan dalam komponen balance sheet sebagai asset (dikapitalisasi).
Worldcom kemudian “mendepresiasikan” biayanya yang telah dimasukkan dalam komponen balance sheet, yang berarti mengurangi net income selama periode waktu. Dalam income statement tersebut hanya sebagian kecil biaya yang dimasukkan, sehingga cash flow, profit margin dan net income telah dimanipulasi. Padahal inilah yang menajadi tolak ukur untuk menilai saham perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa accounting rules memiliki grey area, yang bisa dimanfaatkan oleh perusahaan yang tidak jujur. Sehingga sampai saat ini masih ada pertentangan antara penggunaan rules based atau principal based.
Pada tahun 2001 hingga awal 2002, WorldCom memasukan US$ 3,9 milyar dollar AS yang merupakan biaya operasi normal ke dalam pos investasi. Hal ini memungkinkan perusahaan tersebut menekan biaya selama bertahun-tahun. Dengan hilangnya pos biaya operasional ini, maka pos keuntungan menjadi lebih besar karena biaya yang seharusnya mengurangi keuntungan sudah diperkecil. Dengan keuntungan yang terlihat besar, maka akan menunjukkan bahwa kinerja WorldCom sangat bagus.
Akibat skandal akuntansi yang terjadi, harga saham WorldCom ambruk dari ketinggian 60 dollar AS per lembar saham tahun 1999 menjadi hanya sekitar 83 sen akhir Juni 2002, dan sekarang hanya berkisar 10 sen.
Skandal WorldCom meledak, 25 Juni, ketika perusahaan mengatakan hal sebenarnya bahwa perusahaan tidak pernah mencetak laba 1,4 milyar dollar untuk tahun 2001, dan juga tidak pernah mencetak laba 130 juta dollar, selama tiga bulan pertama tahun 2002. WorldCom mengatakan CFO Scott Sullivan sembrono, karena membukukan pengeluaran dalam pos investasi. Tujuannya agar perusahaan terlihat lebih sehat, padahal tidak.
Atas kasus tersebut, Securities Exchange Comission (SEC), Badan Pengawas Pasar Modal AS, telah melakukan investigasi dan menduga ada indikasi pelanggaran akuntasi yang dilakukan WorldCom. SEC mengatakan, kasus keuangan WorldCom belum pernah terjadi sebelumnya.
PROFESI AKUNTAN DAN KEJAHATAN KORPORASI
Masyarakat pada umumnya mengira bahwa akuntansi sekadar pembukuan yang mencatat pemasukan dan pengeluaran uang. Setelah terjadi kasus-kasus skandal korporasi besar di Amerika Serikat, yang melibatkan perusahaan raksasa, seperti Worldcom, masyarakat dunia terperanjat karena skandal-skandal perusahaan besar yang menipu masyarakat justru terjadi di negara yang selama ini dianggap sebagai barometer berbagai aturan dan standar mengenai bursa saham, profesi akuntan, dan transparansi dalam laporan keuangan.
Lalu, masyarakat di mana-mana bertanya faktor apa gerangan yang mendorong dan menyebabkan terjadinya skandal-skandal itu, yang melibatkan secara kasatmata profesi akuntan khususnya mereka yang memeriksa laporan keuangan perusahaan yang dilakukan Kantor Akuntan Publik (KAP) atau yang dikenal pula dengan istilah Independent Auditor. Tidak tanggung-tanggung, dalam kasus kejahatan korporasi itu melibatkan Kantor Akuntan Publik global yang termasuk dalam kelompok lima besar, yaitu Arthur Andersen.
Meskipun yang diekspos di media massa global hanya perusahaan besar sekelas Worldcom, sebetulnya ada sejejer lagi nama perusahaan lain dengan kemungkinan terjadi praktek manipulasi dalam bidang akuntansi, sehingga laporan keuangannya menyesatkan dan tentu akibatnya merugikan publik.
Laporan keuangan yang manipulatif, misalnya dengan cara menggelembungkan pendapatan, mengakibatkan harga saham menjadi tinggi sekali, jauh di atas harga yang sebenarnya. Hal ini mengakibatkan para pembeli saham yang baru pasti merugi, dan sebaliknya, para pemegang saham yang sudah ada akan menjual saham mereka dan akan meraih keuntungan yang luar biasa.
Kejahatan korporasi di Amerika ini terjadi di tengah-tengah ekonomi Amerika yang lesu setelah terjadinya tragedi 11 September yang menimbulkan luka yang dalam bagi perekonomian Amerika. Akibatnya, bursa saham di Amerika--termasuk Wall Street--mengalami guncangan karena mereka kehilangan kepercayaan terhadap laporan-laporan keuangan dari perusahaan-perusahaan yang memperdagangkan saham mereka di bursa saham. Hal ini pula yang semakin mendorong anjloknya indeks Dow Jones dan Nasdaq.
Kejahatan korporasi di Amerika ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat bisnis dunia, termasuk Indonesia, tentang integritas, kredibilitas, dan profesionalisme para pemimpin perusahaan di Amerika dan Kantor Akuntan Publik global yang termasuk dalam kelompok lima besar. Untungnya, berkat tekanan pers dan publik serta kepentingan nasional Amerika sendiri, Kongres Amerika Serikat segera mensponsori suatu Rancangan Undang-Undang tentang Reformasi Perusahaan dan Profesi Akuntansi.
RUU ini disponsori oleh Paul Sarbanes, anggota Senat, dan Michael Oxley, anggota Kongres, dan karenanya dikenal dengan Sarbanes-Oxley Act 2002, yang mulai diberlakukan akhir Juli 2002. RUU ini bertujuan untuk semakin memperkecil ruang bagi terjadinya kecurangan-kecurangan yang dilakukan perusahaan dengan bantuan Kantor Akuntan Publik. Dengan demikian, diharapkan dapat memperbaiki praktek good corporate governance.
Dalam RUU ini, misalnya, diatur perlunya pembentukan suatu badan pengawas atau oversight board yang akan mengawasi para pelaku pasar modal. Demikian pula, oversight board dibentuk untuk mengawasi Kantor Akuntan Publik (Independent Auditor) yang selama ini seakan-akan bebas melaksanakan praktek audit tanpa ada pihak yang mengawasi.
Dalam RUU ini juga ditentukan bahwa Kantor Akuntan Publik dilarang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bukan termasuk pekerjaan auditing seperti merancang sistem informasi, jasa penilai, penasihat investasi.
Lalu, bagaimana kita di Indonesia menanggapi hal ini, khususnya bagi profesi akuntan menjelang perhelatan akbar Kongres Ikatan Akuntan Indonesia yang digelar pada 25-27 September 2002 di Jakarta. Secara jujur harus diakui, sebagaimana lembaga-lembaga profesi lainnya, profesi akuntan Indonesia masih rawan terhadap berbagai praktek yang menyimpang dari kode etik dan standar akuntansi.
Kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan perlu dipulihkan, dan hal itu sepenuhnya tergantung pada praktek profesional yang dijalankan oleh para akuntan, terutama mereka yang membuka praktek sebagai Kantor Akuntan Publik. Jangan sampai terjadi bahwa para akuntan sekadar memenuhi permintaan kliennya dengan imbalan bayaran yang lumayan sehingga sekadar bertindak sebagai juru masak atau tukang jahit.
Kongres yang akan datang seharusnya menjadi forum untuk melakukan pembenahan profesi secara total dan seraya memutakhirkan profesi ini dengan berbagai aturan dan standar yang berkembang di dunia internasional, termasuk materi yang dimuat dalam Sarbanes-Oxley Act 2002 sebagaimana dikutip di atas.
Jangan sampai terjadi kejahatan korporasi dan praktek akuntansi yang menyimpang, seperti terjadi di Amerika Serikat, dijadikan alibi untuk meneruskan dan membenarkan tindakan-tindakan manipulasi oleh para pelaku bisnis dan profesi akuntan dengan dalih "wong di Amerika saja terjadi praktek seperti itu". Yang harus kita tiru adalah hal yang baik yang datang dari mana pun. Adapun yang jelek, meskipun datangnya dari Amerika, jangan diambil.
KESIMPULAN
Skandal keuangan WorldCom telah merededikasi fokus akuntan profesional pada peranan mereka yang diharapkan sebagai pelayan kepentingan publik. Reputasi dan masa depan dari profesi tersebut telah rusak, dan pengabdian ulang dan kesuksesannya bergantung pada rededikasi ini.
Akuntan profesional harus membuat penilaian dan nilai-nilai yang mencakup ekspektasi publik, yang menyertai munculnya akuntabilitas dan kerangka kerja pengelolaan berorientasi stakeholder. Standar dan seksi aturan main yang baru dimunculkan untuk memandu akuntan profesional dan memastikan tidak adanya kepentingan diri sendiri, bias, dan/atau salah paham dalam pemikiran independen profesional atau yang menunjukkan bahwa terdapat kekurangan independensi.
Globalisasi telah mulai mempengaruhi pembentukan aturan dan harmonisasi standar untuk akuntan profesional dan akan terus berlanjut. Ketika mekanisme pengelolaan untuk korporasi telah melampaui juridiksi domestik dan batas-batas negara, stakeholder di seluruh dunia akan menjadi penting dalam penentuan standar kinerja untuk akuntan profesional. Kerja mereka akan melayani pasar modal global dan korporasi global, dan keberhasilan mereka akan membutuhkan respek dari karyawan dan mitra yang berasal dari kumpulan yang lebih luas daripada di masa lalu.
Adanya kemampuan dan pengetahuan mereka, sangat menarik menanti apakah akuntan profesional bisa menangkap peluang untuk memperluas peranan mereka. Hal ini terutama sekali ditujukan untuk membantu pengembangan selanjutnya dari mekanisme itu semua yang akan memberikan dan memastikan panduan etis untuk perusahaan mereka. Mereka tahu bahwa aturan tidak bisa mencakup semua tantangan yang memungkinkan.
Nama : Uswatun Hasanah
ReplyDeleteNIM : P2CD08008
Kasus : Pelanggaran Etika Profesi Akuntan oleh KAP Tahrir Hidayat Tahun 2008
1. Uraian Kasus
Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Tahrir Hidayat bertempat kedudukan di Semarang, merupakan KAP yang dimiliki perorangan yaitu Drs. Tahrir Hidayat sebagai Akuntan Publik (AP). Pelanggaran Etika Profesi Akuntan dilakukan dalam pelaksanaan audit atas laporan keuangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Artha Perwira dan PT. Pura Barutama masing-masing untuk tahun buku 2004. Dalam kasus audit BPR, yang bersangkutan selain sebagai auditor (AP) ternyata menjabat sebagai komisaris pada perusahaan klien. Sedangkan dalam kasus PT Pura Barutama, penulis belum menemukan secara persis, yang bersangkutan terlibat dalam hal apa. Disamping itu, Drs. Tahrir Hidayat juga telah melanggar ketentuan tentang pembatasan penugasan audit umum atas laporan keuangan, yaitu dalam jangka waktu 5 (lima) tahun berturut-turut tahun buku 2001-2005 bagi 2 (dua) klien dan 4 (empat) tahun berturut-turut tahun buku 2001-2004 bagi 10 (sepuluh) klien.
2. Ulasan Kasus
Drs. Tahrir Hidayat telah melakukan pelanggaran terhadap Standar Auditing (SA) - Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dalam pelaksanaan audit atas laporan keuangan Bank Perkreditan Rakyat Artha Perwira yaitu mengenai integritas dan independensi dalam sikap mental dan penampilan. Sebagai komisaris di perusahaan klien sudah pasti ada self-interest didalamnya, sehingga tidak mungkin independen dalam menjalankan tugas sebagai auditor. Karena terlibat conflict of interest, prinsip integritas juga terlanggar. Dilihat dari IFAC Part B, bahwasannya akuntan publik tidak boleh terlibat dalam bisnis klien, ini berarti yang bersangkutan juga telah melanggar etika profesi internasional. Adapun kasus PT Pura Barutama, saya tidak menemukan secara langsung datanya, hanya saja PT Pura Barutama pada tahun 2004 terlibat kasus korupsi sebagai rekanan KPU dalam pengadaan logistik Pemilu 2004. Sehingga saya tidak berani menguraikan pelanggaran etika profesi akuntan oleh Drs. Tahrir Hidayat dalam kasus ini.
Disamping itu, Drs. Tahrir Hidayat juga telah melanggar ketentuan tentang pembatasan penugasan audit umum atas laporan keuangan, yaitu dalam jangka waktu 5 (lima) tahun berturut-turut tahun buku 2001-2005 bagi 2 (dua) klien dan 4 (empat) tahun berturut-turut tahun buku 2001-2004 bagi 10 (sepuluh) klien, padahal rotasi penugasan/klien dimaksudkan untuk mempertahankan independensi dan review auditor atas pelaksanaan audit oleh rekan sejawatnya.
Dari sisi hukum atau regulasi pemerintah, yang bersangkutan dinilai telah melakukan pelanggaran Pasal 6 ayat (4) Keputusan Menteri Keuangan No. 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 359/KMK.06/2003 yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat yang mengakibatkan pengenaan sanksi pembekuan izin. Sehingga sebagai AP, Drs. Tahrir Hidayat sejak 4 Februari 2008 dibekukan ijin AP selama 24 (duapuluh empat) bulan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 83/KM.1/2008 tanggal 4 Februari 2008.
Selama dikenakan sanksi pembekuan izin, Akuntan Publik Drs. Tahrir Hidayat:
1. dilarang memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Keputusan Menteri Keuangan No. 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 359/KMK.06/2003
2. dilarang menjadi Pemimpin dan atau Pemimpin Rekan dan atau Pemimpin Cabang KAP
3. wajib mengikuti Pendidikan Profesi Berkelanjutan (PPL)
4. tetap bertanggungjawab atas jasa-jasa yang telah diberikan
Sehubungan dengan badan usaha KAP Drs. Tahrir Hidayat berbentuk perseorangan padahal ijin Akuntan Publik Drs. Tahrir Hidayat telah dibekukan, maka KAP ini juga dibekukan ijinnya. Hal tersebut tertuang di dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 397/KM.1/2008 tanggal 11 Juni 2008 berdasarkan pasal 17 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan No. 17/PMK.01/2008, izin usaha KAP yang berbentuk usaha perseorangan dibekukan apabila izin AP yang bersangkutan dibekukan.
Selama masa pembekuan izin, KAP Drs. Tahrir Hidayat dilarang memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik, yaitu : (i) meliputi jasa atestasi yang termasuk audit umum atas laporan keuangan, jasa pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif, jasa pemeriksaan atas pelaporan informasi keuangan proforma, review atas laporan keuangan, serta jasa atestasi lainnya sebagaimana tercantum dalam SPAP, dan (ii) dilarang memberikan jasa audit lainnya serta jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, manajemen, kompilasi, perpajakan, dan konsultasi sesuai dengan kompetensi Akuntan Publik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu KAP wajib memelihara Laporan Auditor Independen, kertas kerja pemeriksaan dan dokumen lainnya, dan tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa yang telah diberikan.
(dirangkum dari berbagai sumber)
Nama : Dermawan Sugiarto
ReplyDeleteNIM : C4C008007
Maaf, ada ralat kembali. Sesuai petunjuk dari Pak Agung, saya akan mengganti paper yang sudah saya posting dengan kasus QWEST COMMUNICATIONS
NAMA: NOFITA ERNY D
ReplyDeleteNIM : C4COO9008
KASUS PT MYOH ( KAP HERTANTO DAN REKAN)
Nama : Siti Nur Laelatul Badriyah
ReplyDeleteNIM : C4C008010
KASUS PT. GREAT RIVER INTERNASIONAL, Tbk.
GAMBARAN UMUM PERSEROAN
PT Great River International merupakan perusahaan pakaian jadi berkualitas tinggi dan terkemuka di Indonesia.
Fasilitas Produksi
• Kompleks Great River I (Cibinong): Pakaian dalam wanita, pakaian pria, jeans & celana panjang, woven label.
• Kompleks Great River II (Cikarang):Pakaian dalam pria, pakaian anak-anak
• Kompleks Great River III (Purwakarta):Pakaian dalam wanita
Sejarah Singkat Perseroan (1976-2001)
1976 -Didirikan oleh Sukanta Tanudjaja dan Sunjoto Tanudjaja dengan nama PT Great River Garments Industries, dengan karyawan 150 orang.
1977/78 -Memperoleh lisensi pertama berupa pakaian pria dan pakaian dalam wanita.
1987 -Berturut-turut setiap tahun memperoleh lisensi merek-merek international terkemuka.
1989 - Saham Perseroan tercatat di Bursa Efek Jakarta danBursa Efek Surabaya
1991 -Meraih predikat “Indonesia Best Managed Company” dari majalah Asiamoney.
1991 -Menjalin kerjasama dengan Tomen Co. dari Jepang mendirikan perusahaan patungan PT GT Utama Garments.
1992 -Berganti nama menjadi PT Great River Industries
1992 -Menjalin kerjasama dengan Mitsui Corp.dan Itabashi Co. dari Jepang, mendirikan perusahaan patungan PT Great Iphock International, memproduksi knitwear.
1992 -Menjalin kerjasama dengan Gunze Ltd. dari Jepang, mendirikan perusahaan patungan PT Gunze Indonesia, memproduksi benang jahit.
1993 -Melaksanakan right issue yang pertama.
1993 -Mendirikan anak perusahaan, PT Inti Fasindo Internasional untuk menangani usaha distribusi dan retail.
1994 -Menjalin kerjasama dengan Gunze Ltd. dari Jepang mendirikan perusahaan patungan PT Gunze Sock Indonesia, memproduksi kaus kaki.
1994 -Menjalin kerjasama dengan Toyobo Co.dari Jepang mendirikan perusahaan patungan PT Toyobo Knitting Indonesia, memproduksi knit, dyeing & finishing.
1995 -Menjalin kerjasama dengan van Laack GmbH, dari Jerman mendirikan perusahaan patungan Great River/ van Laack International, memproduksi pakaian pria.
1995 -Lisensi yang ditangani oleh Perseroan mencapai lebih dari 30 merek internasional, terdiri dari pakaian dalam, kemeja, pakaian kasual, pakaian anak-anak, household.
1996 -Melaksanakan right issue yang kedua.
1996 -Berganti nama menjadi PT Great River International.
1997 -Meraih sertifikasi ISO 9002 untuk quality management dan diperbarui tahun 1999.
1997 -Meraih predikat “Indonesia Best Managed Company”dari majalah Asiamoney untuk kedua kali.
2000 -Meraih kualifikasi “Kecelakaan Kerja Nihil” (Zero Accidents) dari Departemen Tenaga Kerja.
2000 -Usaha ekspor Perseroan mencapai 69% dari total nilai penjualan.
2001 -Menyelesaikan restrukturisasi tahap I dengan Termsheet melalui Prakarsa Jakarta.
2001 -Nilai penjualan ditargetkan meningkat 9,6%, dengan usaha ekspor mencapai 65% dari total penjualan.
PEMBAHASAN KASUS
Akuntan Publik (AP) Justinus Aditya Sidharta mulai menjadi auditor Great River sejak 2001. Saat itu perusahaan masih kesulitan membayar utang US$150 Juta kepada Deutsche Bank. Pada 2002, Great River mendapat potongan pokok utang 85 persen dan sisa utang dibayar menggunakan pinjaman dari Bank Danamon. Setahun kemudian Great River menerbitkan obligasi Rp 300 miliar untuk membayar pinjaman tersebut. "Kami hanya tahu kondisi perusahaan pada rentang 2001-2003," kata Justinus.
Kasus Great River berawal pada sekitar bulan Juli hingga September 2004 PT Bank Mandiri telah membeli obligasi PT Great River International, Ybk sebesar Rp50 miliar dan memberi fasilitas Kredit Investasi; Kredit Modal Kerja; dan Non Cash Loan kepada PT. Great River Internasional senilai lebih dari Rp265 milyar yang diduga mengandung unsur melawan hukum karena obligasi tersebut default dan kreditnya macet.. Obligasi tersebut saat ini berstatus default atau gagal, sedangkan kreditnya macet. Pembelian obligasi dan pemberian kredit itu diduga kuat melawan hukum.
Kronologi Kasus
23 Nopember 2005
Sejak Agustus 2005, Bapepam menyidik akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan Great River tahun buku 2003.
Bapepam telah menemukan adanya:
a.Overstatement atas penyajian akun penjualan dan piutang dalam Laporan Keuangan GRIV per 31 Desember 2003; dan
b.Penambahan aktiva tetap perseroan, khususnya yang terkait dengan penggunaan dana hasil emisi obligasi, yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Ketua Bapepam Fuad Rahmany menyatakan telah menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan perusahaan tekstil tersebut. "Dalam kasus Great River ini, akuntan dengan emitennya terlibat konspirasi," katanya.
Tapi dia tidak bersedia menjelaskan secara detail praktek konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great River itu.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Bapepam pada tanggal 22 Nopember 2005 meningkatkan Pemeriksaan atas kasus GRIV ke tahap Penyidikan. Sehubungan dengan tindakan Penyidikan tersebut, Bapepam telah dan akan berkoordinasi dengan instansi penegak hukum terkait.
29 Maret 2006
ECW Neloe Dirut Bank Mandiri memenuhi panggilan penyidik Kejaksaan Agung untuk diperiksa terkait kredit macet PT Great River Internasional (PT GRI).Yang bersangkutan diperiksa dalam dugaan penyimpangan pembelian obligasi PT GRI oleh Bank Mandiri.
17 Mei 2006
Sunyoto Tanudjaya (ST) bos PT. Great River jadi buron keberadaannya tidak di ketahui hingga saat ini. Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung (Kejagung) mengeluarkan surat perintah penangkapan. Sekarang dia masih buron.
28 November 2006
Menteri Keuangan (Menkeu) RI terhitung sejak tanggal 28 Nopember 2006 telah membekukan izin Akuntan Publik (AP) Justinus Aditya Sidharta selama dua tahun. Sanksi tersebut diberikan karena Justinus terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan Laporan Audit
atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT Great River International Tbk (Great River) tahun 2003.
Selama izinnya dibekukan, Justinus dilarang memberikan jasa atestasi (pernyataan pendapat atau pertimbangan akuntan publik) termasuk audit umum, review, audit kerja dan audit khusus. Dia juga dilarang menjadi Pemimpin Rekan atau Pemimpin Cabang Kantor Akuntan Publik (KAP). Namun yang bersangkutan tetap bertanggungjawab atas jasa-jasa yang telah diberikan serta wajib memenuhi
ketentuan untuk mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL).
Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut atas Surat Keputusan Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BPPAP) Nomor 002/VI/SK-BPPAP/VI/2006 tanggal 15 Juni 2006 yang membekukan Justinus dari keanggotaan Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Publik (IAI-KAP). Hal ini sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2006 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003 yang menyatakan bahwa AP dikenakan sanksi pembekuan izin apabila AP yang bersangkutan mendapat sanksi pembekuan keanggotaan dari IAI dan atau IAI-KAP.
04 Desember 2006
Pengumuman oleh PT Bursa Efek Surabaya bahwa PT. Great River Internasional Tbk memenuhi kriteria delisting dengan menunjuk keterlambatan penyampaian laporan keuangan:
Untuk tanggal yang berakhir pada 31 Desember2004 (audited)
Untuk tanggal yang berakhir pada 30 Juni 2005
Untuk tanggal yang berakhir pada 31 Desember2005 (audited)
Untuk tanggal yang berakhir pada 30 Juni 2006
08 Desember 2006
Kasus Great River semakin mencuat setelah adanya temuan auditor investigasi Aryanto, Amir Jusuf, dan Mawar, yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang, dan aset hingga ratusan miliar rupiah di Great River. Akibatnya, Great River mengalami kesulitan arus kas dan gagal membayar utang.
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melimpahkan kasus penyajian laporan keuangan PT Great River International Tbk. ke Kejaksaan Tinggi. Ketua Bapepam Fuad Rahmany menyatakan telah menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan perusahaan tekstil tersebut. "Dalam kasus Great River ini, akuntan dengan emitennya terlibat konspirasi," katanya.
Tapi dia tidak bersedia menjelaskan secara detail praktek konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great River itu.
Fuad hanya menyatakan tugas akuntan adalah hanya memberikan opini atas laporan perusahaan. Akuntan, kata dia, tidak boleh melakukan segala macam rekayasa dalam tugasnya. "Karena ada sanksi berat untuk (rekayasa) itu," katanya.
Seperti diketahui, sejak Agustus lalu, Bapepam menyidik akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan Great River tahun buku 2003. Bapepam juga sudah menetapkan empat anggota direksi Great River sebagai tersangka, termasuk pemiliknya,SunjotoTanudjaja.
Penyidikan berdasarkan hasil pemeriksaan adanya indikasi penipuan dalam penyajian laporan keuangan. Pasalnya, Bapepam menemukan kelebihan pencatatan atau overstatement penyajian account penjualan dan piutang dalam laporan tersebut. Kelebihan itu berupa penambahan aktiva tetap dan penggunaan dana hasil emisi obligasi yang tanpa pembuktian.
Akibatnya, Great River kesulitan arus kas. Perusahaan tidak mampu membayar utang Rp 250 miliar kepada Bank Mandiri dan gagal membayar obligasi senilai Rp 400 miliar.
Kuasa hukum Sunjoto Tanudjaja, J. Pieter Nazar, menyatakan sudah mengetahui kliennya akan disangkakan terlibat dalam manipulasi laporan keuangan Great River bersama oknum akuntan publik.
20 Desember 2006
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah melimpahkan kasus penyajian laporan keuangan Great River ke Kejaksaan Agung pada tanggal 20 Desember 2006. Dalam laporan tersebut, empat anggota direksi perusahaan tekstil itu ditetapkan menjadi tersangka, termasuk pemiliknya, Sunjoto Tanudjaja. Bapepam menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great River. Tak tertutup kemungkinan, Akuntan Publik yang menyajikan laporan keuangan Great River itu ikut menjadi tersangka.
02 April 2007
Menunjuk Pengumuman Bursa No. Peng-01/BEJ-PSJ/SPT/01-2005 tertanggal 13 Januari 2005 mengenai suspensi perdagangan saham GRIV yang telah berjalan lebih dari 2 (dua) tahun, serta kondisi PT Great River International Tbk yang saat ini tidak berjalan normal (operasional perusahaan lumpuh) sesuai kapasitas yang ada dan dipandang berpengaruh terhadap going concern Perusahaan Tercatat, dimana belum terdapat indikasi pemulihan yang memadai atas kondisi tersebut, maka mengacu pada Peraturan Pencatatan PT Bursa Efek Jakarta Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham di Bursa angka III.3.1, Bursa menghapus pencatatan saham Perusahaan Tercatat sesuai dengan ketentuan peraturan ini apabila Perusahaan Tercatat mengalami sekurang-kurangnya satu kondisi di bawah ini :
1. Mengalami kondisi, atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha Perusahaan Tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, atau terhadap kelangsungan status Perusahaan Tercatat sebagai Perusahaan Terbuka, dan Perusahaan Tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai;
2. Saham Perusahaan Tercatat yang akibat suspensi di Pasar Reguler dan Pasar Tunai, hanya diperdagangkan di pasar Negosiasi sekurang-kurangnya selama 24 (dua puluh empat) bulan terakhir:
3.
Atas dasar hal tersebut, Bursa Efek Jakarta memutuskan untuk menghapuskan pencatatan Efek PT Great River International Tbk. yang berlaku efektif pada tanggal 2 Mei 2007.
Selain itu terdapat pertimbangan lain yang mendasari keputusan penghapusan pencatatan Efek Perseroan yaitu belum dipenuhinya kewajiban penyampaian Laporan Keuangan dan kewajiban finansial Perseroan kepada Bursa berupa penyampaian Laporan Keuangan Tahunan Auditan Tahun 2004 dan 2005 serta Laporan Keuangan Triwulan I, Tengah Tahunan dan Triwulan III Tahun 2005 dan 2006 serta denda keterlambatan penyampaian Laporan Keuangan baik Auditan maupun triwulanan tahun 2004, 2005 dan 2006 dan pembayaran Biaya Pencatatan Tahunan (ALF) tahun 2005 dan 2006 hingga saat dikeluarkannya pengumuman ini.
PELANGGARAN KODE ETIK AKUNTAN DI BALIK SKANDAL PT. GREAT RIVER INTERNASIONAL, Tbk.
Kasus Great River semakin mencuat setelah adanya temuan auditor investigasi Aryanto, Amir Jusuf, dan Mawar, yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang, dan aset hingga ratusan miliar rupiah di Great River. Akibatnya, Great River mengalami kesulitan arus kas dan gagal membayar utang.
Bapepam menyatakan telah menemukan adanya indikasi konspirasi dalam penyajian laporan keuangan perusahaan tekstil tersebut. Dalam kasus ini, akuntan dengan emitennya terlibat konspirasi dalam penyajian laporan keuangan Great River itu.
Bapepam menyidik akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan Great River tahun buku 2003. Bapepam telah menemukan adanya:
a.Overstatement atas penyajian akun penjualan dan piutang dalam Laporan Keuangan GRIV per 31 Desember 2003; dan
b.Penambahan aktiva tetap perseroan, khususnya yang terkait dengan penggunaan dana hasil emisi obligasi, yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.
Sehingga perusahaan tekstil tersebut mengalami kelebihan pendapatan (overstatement) yang seharusnya justru merugi.
Semestinya semua pihak untuk menjaga dan melindungi perusahaan dari praktik kecurangan sehingga perusahaan dan akuntan agar melaksanaan internal control yang dapat menghindari kecurangan itu diterapkan.
Salah satu hal yang ditekankan pasca skandal ini adalah perlunya etika profesi. Selama ini bukan berarti etika professi tidak penting bahkan sejak awal professi akuntan sudah memiliki dan terus menerus memperbaiki Kode Etik Professinya baik di USA maupun di Indonesia. Etika adalah aturan tentang baik dan buruk. Kode etik mengatur anggotanya dan menjelaskan hal apa yang baik dan tidak baik dan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan sebagai anggota professi baik dalam berhubungan dengan kolega, langganan, masyarakat dan pegawai. Kenyataannya konsep etika yang selama ini dijadikan penopang untuk menegakkan praktik yang sehat yang bebas dari kecurangan tampaknya tidak cukup kuat menghadapi sifat sifat “selfish dan egois”, kerakusan ekonomi yang dimiliki setiap pelaku pasar modal, dan manajemen yang bermoral rendah yang hanya ingin mementingkan keuntungan ekonomis pribadinya.
Profesi akuntan publik bisa dikatakan sebagai salah satu profesi kunci di era globalisasi untuk mewujudkan era transparansi bisnis yang fair, oleh karena itu kesiapan yang menyangkut profesionalisme mensyaratkan hal utama yang harus dipunyai oleh setiap anggota profesi yaitu: keahlian, berpengetahuan dan berkarakter. Dalam kenyataannya, banyak akuntan yang tidak memahami kode etik profesinya sehingga dalam prakteknya mereka banyak melanggar kode etik. Hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap profesi akuntansi. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perilaku beberapa akuntan yang sengaja melanggar kode etik profesinya demi memenuhi kepentingan mereka sendiri.
Dalam menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi dan juga dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya, tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi.
=================================================
NAMA : AGUSTIN
ReplyDeleteNIM : P2CD008018
KASUS : TELKOM
NAMA : DINAR WAHYU UTAMI
ReplyDeleteNIM :C4C008009
KASUS : DUGAAN PENGGELAPAN PAJAK OLEH IM3 (INDOSAT)
NAMA : DINAR WAHYU UTAMI
ReplyDeleteNIM : C4C008009
KASUS : KASUS ENRON dan KAP ARTHUR ANDERSEN
Tugas Terstruktur Business Ethic
ReplyDeleteKesalahan Pembukuan Qwest Communications
Oleh :
Dermawan Sugiarto
C4C008007
A. Qwest Communications Bukukan Penjualan Secara Tidak Layak
Amerika Serikat (AS) kembali digoyang skandal akuntansi menyusul kasus Enron dan WorldCom pada tahun 2002 lalu. Adalah Qwest Communications International Inc yang berikutnya berada di bawah penyelidikan federal Amerika Serikat karena membukukan secara tidak layak US$ 1,16 miliar penjualan dalam kurun tahun 1999-2001. Penjualan yang dibukukan secara tidak layak itu menyangkut kapasitas optik pada jaringan Qwest, demikian pula penjualan peralatan komunikasi dan pengeluaran tertentu. Qwest yang saat itu menjadi target penyelidikan kantor federal mau tidak mau harus merevisi proyeksi pendapatan yang diperkirakan naik hingga US$18.4 milyar.
Akibat kasus tersebut, Harga saham Qwest Communications International Inc. anjlok sebesar 26 persen atau US$ 39 sen pada Senin, 29 Juli 2002. Harga saham Qwest mencapai titik terendah, yakni US$ 1,11 atau anjlok 89 persen di bawah Indeks Telekomunikasi Amerika Utara (XTC).
Komisi bursa saham AS beserta SEC pun turut serta melakukan penyelidikan praktik akuntansi terhadap Qwest Communications. SEC telah melakukan investigasi terhadap praktek yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.
Pada Juni 2002, CEO Qwest, Joseph Nacchio, dipaksa mundur. Salah satu alasannya adalah karena Nacchio telah menjual lebih dari US$300 juta saham perusahaan selama dia menjadi bos Qwest. Gugatan-gugatan lain juga ditujukan kepada para petingggi Qwest, termasuk pendirinya, Philip Anschutz. Gugatan itu bermaksud untuk menarik kembali dana-dana yang mereka tilap dengan perusahaan, yang mereka dapatkan lewat kerja sama dengan analis saham di Wall Street. Mereka diduga telah bekerja sama dengan analis dengan tujuan agar analis memberikan ulasan menarik soal perusahaan, sehingga harga saham perusahaan melambung tinggi saat mulai menjual sahamnya di Wall Street, bursa utama di AS.
Analis yang dimaksud adalah Jack Grubman, dia adalah ahli di bidang investment banker dari Salomon Smith Barney. Pimpinan Qwest dituduh telah menikmati kekayaan pribadi, lewat kerja sama dengan perusahaan penjamin saham (underwiting) Salomon Smith Barney tersebut. Salomon Smith Barney juga bergerak di bidang konsultan manajemen, dan perusahaan, saham, serta jasa konsultasi lainnya. Lewat analisa yang dihembuskan Salomon ke pasar, Qwest meminta agar harga sahamnya melambung, sehingga menguntungkan perusahaan.
Hal inilah yang menjadi sasaran investigasi SEC, karena diduga Qwest sedang dalam upaya memanipulasi penggelembungan pendapatan secara tidak benar dalam pembukuan pendapatannya. Investigasi juga difokuskan pada swap atau perdagangan yang dilakukan Qwest, yang sebenarnya tidak diperlukan, namun untuk membuat volume penjualan terlihat lebih tinggi.
Pernyataan Qwest yang ditujukan kepada kreditornya pun juga akan menghadapi pemeriksaan kriminal oleh Departemen Peradilan AS. Ini dapat membahayakan beberapa perjanjian utang, yang mensyaratkan untuk menjaga rasio tertentu utang terhadap EBITDA (Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization). Menurut Agen Pemeringkat Utang, Standard and Poor’s, Qwest memiliki US$ 26,6 miliar utang per tanggal 31 Maret 2002 dan US$ 6,5 miliar di antaranya akan jatuh tempo pada Mei 2003-2004. Namun pejabat keuangan Qwest menegaskan perusahaan cukup solven untuk menanggung utang yang akan jatuh tempo tersebut, padahal sebenarnya tidak.
B. Upaya Qwest Memperbaiki Kesalahan
Pada 15 Juli 2002, Qwest berjanji akan segera merilis kembali laporan keuangan tahun buku 1999 sampai 2001. Qwest berjanji akan melakukan penghitungan ulang nilai penjualan di jaringan optik, peralatan komunikasi, dan beberapa pengeluaran lainnya. Selama priode 1999 sampai 2001 tersebut, perusahaan komunikasi yang beroperasi di 14 negara bagian dari Minnesota hingga Washington ini mengaku telah membuat kesalahan pada pos pendapatan dan pos lainnya sebesar US$ 1.16 milyar. Di samping itu, mereka juga mengumumkan bahwa mereka sedang menghadapi investigasi pidana dan sedang berusaha keras menjual assetnya sebelum akhir tahun ini untuk membayar utangnya sebesar US$26,6 milyar.
Pada tahun 2002, sebenarnya Qwest akan menangguk pendapatan yang diperkirakan mencapai US$ 18,4 miliar. Namun di wilayah operasinya yang mencakup 14 negara bagian tersebut saat itu sedang menderita penurunan permintaan seiring dengan mengendurnya perekonomian.
Pada 23 September 2002, Qwest membuat kesepakatan dengan Verizon Wireless Inc. untuk menjual unit teleponnya senilai US$ 1 miliar. Kesepakatan ini dibuat untuk mengurangi beban Qwest senilai US$26,6 milyar tersebut. Dilema Qwest semakin bertambah manakala Chief Executive Officer Qwest Richard Notebaert di New York pada pertemuan dengan para investor berencana akan menjual bisnis nirkabel Qwest dengan harga yang tepat pada Verizon.
Qwest yang berusaha terhindar dari kebangkrutan, pada Agustus 2002 bersedia menjual operasi yellow pages senilai US$ 7,05 miliar. Perusahaan itu harus menjual lebih banyak aset lagi untuk mengurangi beban utangnya dan untuk mengatasi anjloknya permintaan jaringan sambungan langsung jarak jauh. Qwest juga harus bisa mengatasi hilangnya kepercayaan investor, karena pejabat-pejabat federal tengah menyelidiki kinerja keuangan perusahaan.
C. Pembahasan
Creative accounting bukan merupakan suatu hal baru, dan untuk melakukannya sebenarnya membutuhkan biaya yang relative mahal. Creative accounting ini dipicu oleh adanya tekanan bahwa badan usaha merasa harus berada dalam posisi profit untuk menarik investor dan sumber daya. Tetapi hal ini biasanya lebih mengarah pada penipuan atau kecurangan pada praktik akuntansi yang dilakukan oleh para akuntan yang kompeten dan memiliki wewenang.
Cukup menarik apabila kita menyimak kasus Qwest Communications, yang merupakan salah satu dari sekian banyak skandal keuangan yang terjadi di Amerika Serikat. Masyarakat pada umumnya mengira bahwa akuntansi sekadar pembukuan yang mencatat pemasukan dan pengeluaran uang. Setelah terjadi kasus-kasus skandal korporasi besar di Amerika Serikat, yang melibatkan banyak perusahaan raksasa, masyarakat dunia terperanjat karena skandal-skandal perusahaan besar yang menipu masyarakat justru terjadi di negara yang selama ini dianggap sebagai barometer berbagai aturan dan standar mengenai bursa saham, profesi akuntan, dan transparansi dalam laporan keuangan. Sehingga, masyarakat di mana-mana bertanya faktor apa gerangan yang mendorong dan menyebabkan terjadinya skandal-skandal itu, yang melibatkan secara kasatmata profesi akuntan.
Saran-saran Perbaikan
Ada baiknya perlu dikembangkan perhatian perusahaan-perusahaan besar kelas dunia terhadap upaya melakukan revitalisasi penerapan etika bisnis di dalam perusahaan. Hal ini terutama didesak oleh kepentingan para pemegang saham, agar direksi lebih mendasarkan pengelolaan perusahaan pada etika bisnis, karena pemegang saham tidak ingin kehancuran terjadi pada perusahaan mereka. Demikian pula stakeholders (pemangku kepentingan) lainnya pun tidak ingin tertipu dan ditipu oleh pengelola perusahaan.
Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal) tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Untuk profesi akuntan sekalipun, yaitu audit internal telah berkembang dari semula profesi yang hanya memfokuskan diri pada masalah teknis akuntansi, menjadi profesi yang memiliki orientasi memberikan jasa bernilai tambah bagi manajemen. Audit internal telah berubah menjadi disiplin yang berbeda, dengan pusat perhatian yang lebih luas. Perkembangan audit internal dapat dikatakan bersumber dari meningkatnya kompleksitas operasi perusahaan dan pemerintahan. Pertumbuhan perusahaan menyebabkan keterbatasan kemampuan manajer untuk mengawasi masalah operasional sehingga menjadikan audit internal sebuah fungsi yang makin penting.
Audit internal modern menyediakan jasa-jasa yang mencakup pemeriksaan dan penilaian atas pengendalian intern, kinerja, risiko, dan tata kelola perusahaan publik maupun privat. Aspek keuangan hanyalah salah satu aspek saja dalam lingkup pekerjaan audit internal. Audit internal mencoba membangun kerja sama yang produktif dengan manajemen perusahaan melalui aktivitas-aktivitas yang memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Untuk dapat memberikan nilai tambah tersebut, kriteria-kriteria yang harus dimiliki internal auditor tidak boleh dikompromikan. Auditor internal harus obyektif, bebas dari bias, memiliki perilaku yang mencerminkan integritas dan profesionalismenya.
Suatu fraud control plan (program anti kecurangan/korupsi) akan efektif apabila menjadi bagian dari rencana strategis suatu organisasi. Dengan menjadi bagian dari rencana strategis organisasi, maka perencanaan, proses dan pelaporan setiap kegiatan dan operasional organisasi akan merujuk kepada rencana strategis tersebut.
Best practice dari program anti kecurangan dan korupsi mencakup tiga pilar pendekatan Preventif, Represif, dan Edukatif. Penerapan konsep pendekatan tersebut, menuntut adanya keseimbangan, keserentakan di antara ketiga komponen utama tersebut dengan mempertimbangkan sepenuhnya kondisi internal dan eksternal organisasi dan mengidentifikasikan sub program khusus bagi masing-masing komponen.
ETIKA PROFESI AKUNTAN PADA SKANDAL PT. LIPPO, TBK
ReplyDeleteI. PENDAHULUAN.
Skandal PT. Lippo, Tbk yang pada tahun 2002, telah membawa dampak pada profesi akuntan di Indonesia. Bapepam pada tanggal 17 September 2003 telah mengumumkan hasil pemeriksaan kasus PT. Lippo, Tbk yang diduga telah melanggar peraturan perundang – undangan di bidang Pasar Modal. Hasil pemeriksan tersebut antara lain:
1. Laporan Keuangan PT. Lippo, Tbk per 30 September 2002.
Berkaitan dengan laporan keuangan PT. Bank Lippo, Tbk per 30 September 2002, Bapepam menemukan tiga versi laporan keuangan, yang semuanya dinyatakan audited, fakta tersebut yaitu:
A. Laporan Keuangan PT. Bank Lippo, Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan di surat kabar pada tanggal 28 November 2002.
Pemuatan iklan tersebut merupakan kewajiban PT. Bank Lippo Tbk atas ketentuan Bank Indonesia. Materi yang tercantum dalam iklan laporan keuangan tersebut antara lain:
a. Adanya pernyataan manajemen PT. Lippo Tbk bahwa laporan keuangan tersebut disusun berdasarkan laporan keuangan konsolidasi yang telah diaudit oleh KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja (Penanggung jawab Drs. Ruchjat Kosasih) dengan pendapat wajar tanpa pengecualian.
b. Penyajian dalam bentuk komparasi per 30 September 2002 (”Diaudit”) dan per 30 September 2001(” Tidak Diaudit”)
c. Nilai Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) per 30 September 2002 sebesar Rp. 2,393 trilyun
d. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 24,185 trilyun.
e. Laba tahun berjalan per 30 September 2002 sebesar Rp. 98,77 miliar.
f. Rasio Kewajiban Modal Minimum Yng Tersedia sebesar 24,77%
B. Laporan Keuangan PT. Lippo, Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan ke BEJ pada tanggal 27 September 2002.
Penyampaian laporan tersebut merupakan pemenuhan kewajiban PT. Lippo Tbk untuk menyampaikan Laporan Keuangan triwulan ke-3. Adapun materai atau informasi yang tercantum dalam laporan keuangan tersebut adalah :
a. Pernyataan Manajemen Pt. Lippo, Tbk bahwa laporan keuangan yang disampaikan adalah laporan keuangan ”audited”yang tidak disertai dengan Laporan Auditor Independen yang berisi opini Akuntan Publik.
b. Penyajian dalam bentuk komparasi per 30 September 2002(”audited”) dan 30 September 2001 (”unaudited”)
c. Nilai Agunan Yang Diambil Alih-bersih (AYDA) per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,42 trilyun
d. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 22,8 trilyun
e. Rugi bersih per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,273 trilyun.
f. Rasio Kecukupan Modal sebesar 4,23 %
C. Laporan Keuangan PT. Lippo, Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan oleh Akuntan Publik KAP Prasetio, Sarwoko& Sandjaja kepada Manajemen PT. Lippo Tbk pada tanggal 6 Januari 2003.
Informasi yang tercantum dalam laporan keuangan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Laporan Auditor Independen yang berisi opini Akuntan Publik Drs. Ruchjat
Kosasih dari KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian. Laporan Auditor Independen tersebut tertanggal 20 November 2002, kecuali untuk Catatan 40a tertanggal 22 November 2002 dan Catatan 40c tertanggal 16 Desember 2002.
b. Penyajian dalam bentuk komparasi per 30 September 2002, 31 Desember
2001, dan 31 Desember 2002
c. Total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 22.8 trilyun
d.Nilai Agunan Yang Diambil Alih-bersih(AYDA) per 30 September 2002 . sebesar Rp. 1,42 trilyun.
e. Rugi bersih per 30 September 2002 sebesar Rp. 1,273 trilyun.
f. Rasio Kecukupan Modal sebesar 4.23%
2. HASIL PEMERIKSAAN
Dari penelaahan atas data dan dokumen yang terkait atas informasi atau keterangan yang diperoleh oleh Tim pemeriksa Bapepem antara lain:
a. Hanya terdapat satu Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diaudit dengan opini Wajar Tanpa Pengeculian dari Kantor Akuntan Publik dari KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja, dengan Laporan Auditor Independen No. REC-0031/02 dengan tanggal ganda (dual dating ) tertanggal 20 November 2002(kecuali untuk catatan 40a tertanggal 22 November 2002 dan catatan 40c tertanggal 16 Desember 2002) yang disampaikan kepada Manajemen PT Lippo Tbk pada tanggal 6 Januari 2003. Penerbitan laporan yang diaudit dengan tanggal ganda(dual dating) dapat dilakukan sepanjang sesuai dengan Standar Auditing Seksi 530 paragraf 5 dalam SPAP yang diterbitkan oleh IAI
b. Laporan Keuangan PT. Lippo, Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan pada tanggal 28 November 2002 adalah laporan keuangan yang tidak diaudit. Namun angka-angkanya sama seperti yang tercantum dalam Laporan Auditor Independen.
c. Laporan keuangan PT. Lippo, Tbk per 30 September 2002 yang disampaikan BEJ pada tanggal 27 Desember 2002 adalah laporan keuangan yang tidak disertai Laporan Auditor Independen yang telah terdapat penilaian kembali terhadap Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif( PPAP)
d. Perbedaan antara laporan keuangan PT. Lippo Tbk per 30 September 2002 yang diiklankan pada tanggal 28 November 2002 dengan laporan keuangan tersebut pada huruf a ) dan atau huruf c) diatas, hanya disebabkan oleh adanya penyesuaian penilaian kembali atas Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP)
e.Pemeriksaan atas prosedur penilaian kembali Agunan Yang Diambil Alih dan Prosedur audit atas beberapa akun Laporan Keuangan PT. Lippo Tbk per 30 September 2002 saat ini masih dalam proses pemeriksaan oleh instansi berwenang.
Atas hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Kekurang hati-hatian Direksi PT. Lippo Tbk, dalam mencantumkan kata ”diaudit” dan opini Wajar Tanap Pengecualian pada iklan laporan keuangan per 30 September 2002 pada tanggal 28 November 2002.
2. Kelalaian Akuntan Publik Drs. Ruchjat Kosasih, pathner KAP Prasetio, Sarwoko, & Sandjaja, berupa keterlambatan dalam penyampaian peristiwa penting dan material mengenai penurunan nilai AYDA PT. Lippo kepada Bapepam.
3. SANKSI
Terhadap Direksi PT. Lippo Tbk yang menjabat pada saat Laporan Keuangan PT. Lippo Tbk per 30 September 2002 dipublikasikan, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban menyetor uang ke kas negara sejumlah Rp. 2,5 milyar, dan manajemen mempunyai kewajiban untuk memberikan penjelasan kepada pemegang saham atas hal tersebut. Terhadap Akuntan Publik Drs.Ruchjat Kosasih selaku pathner KAP Prasetio, Sarwoko & Sandjaja dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban menyetor uang ke Kas Negara sebesar Rp. 3.500.000 atas kelalaian berupa keterlambatan penyampaian informasi penting mengenai penurunan AYDA PT. Lippo Tbk selama 35 hari.
II. PEMBAHASAN
Pengumuman dari Bapepam mengenai skandal PT. Lippo Tbk membawa konsekuensi kepada Profesi Akuntan untuk dapat mengkoreksi atas profesi yang melekat pada diri seorang akuntan. Teori keagenan yang menyatkan bahwa stake holder memberi tugas kepada manajemen untuk dapat mengelola sebuah entitas dengan kewajiban untuk dapat melaporkan kegiatan usaha dalam bentuk Laporan Keuangan. Laporan keuangan yang dilaporkan bagi perusahaan yang Go Publik harus diakudit oleh Auditor. Kebutuhan akan informasi oleh berbagai pihak atas kelangsungan usaha suatu entitas yang dicerminkan dalam laporan keuangan sangat diperlukan, hal ini membawa harapan yang sangat tinggi oleh masyarakat kepada seorang Akuntan Publik. Harapan yang tinggi ini menjadikan seorang Akuntan dapat memenuhi kebutuhan tersebut, untuk dapat memenuhi hal tersebut seorang Akuntan harus menjaga prinsip independensi, integritas dan objektivitas. Tidak hanya seorang Akuntan Publik yang harus menerapkan prinsip tersebut namun seorang akuntan dimanapun berkerja harus menerapkan prinsip tersebut. Prinsip-prinsip tersebut akan menjadikan seorang Akuntan berkerja sesuai etika profesi yang teah ditetapkan.
Dalam kasus PT. Lippo telah diungkapkan bahwa manajemen PT. Lippo telah membuat laporan keuangan dalam tiga versi, bagi sebuah perusahaan yang ternama dan Go Publik kecil kemungkinan untuk dapat melakukan kesalahan dalam membuat laporan yang akan dipublikasikan, namun hal ini terjadi. Hal ini menjadikan informasi yang mebingungkan bagi masyarakan dan bisa dikatakan ada kebohongan publik pada kasus ini, dikarenakan laporan yang dikeluarkan oleh PT. Lippo, tbk sebagai perusahaan go publik akan mempengaruhi keputusan para investor ataupun para pemegang saham. Dan atas informasi yang diiklankan oleh PT. Lippo pada September 2002 yang menyatakan bahwa laporan sudah diaudit yang pada kenyatanya adalah belum audit merupakan hal yang tidak tepat dan tidak etik untuk menyatakan hal tersebut.
Hal yang penting adalah Laporan Keuangan merupakan tanggung jawab manajemen dan tanggung jawab auditor adalah pada opini atas laporan keuangan yang diaudit.
Jika menyimak atas temuan Bapepam atas auditor yang melakukan tugas audit di PT. Lippo, Tbk, seharusnya KAP tersebut memenuhi standar pekerjaan auditor yan telah ditetapkan, dalam melakukan audit manajemen PT. Lippo dilakukan pengujian pengendalian intern atas manajemen dengan seksama. Karena pada prinsipanya dalam melakukan suatu kegiatan akuntansi dalam entitas yang perlu diperhatian adalah tercapainya pengendalian intern yang baik, dalam hal ini fungsi kontrol sangat mempengaruhi output dari kegiatan dalam suatu entitas, termasuk dalam membuat laporan keuangan. Jika Akuntan Publik Drs. Ruchjat kosasih pather KAP Prasetio, Sarwoko and Sandjaja melakukan mengujian internal yang ketat, dan jika diketahui bahwa pengendalian internal pada PT. Lippo Tbk kurang baik maka akan dilakukan audit yang lebih luas dan lebih ketat, namun dalam hal ini Akuntan Publik Drs. Ruchjat Kosasih tidak melaporkan hal yang material dalam mengeluarkan opininya, dalam hal AYAD yang ditemukan kemudian setelah mengeluarkan laporan auditor yang pertama kali. Mengacu apa yang terjadi pada Akuntan Publik Drs. Ruchjat Kosasih, maka seorang auditor dalam melakukan auditor maka harus mempertimbangkan hal materialitas, hal ini sangat penting dalam konsep audit. Karena dalam melakukan audit seorang auditor harus memperhatikan materialitas dalam semua hal yang dapat membawa dampak dalam mengeluarkan opini auditor. Karena laporan keuangan yang telah diaudit digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan untuk mengambil keputusan.
Dalam hal kasus PT. Lippo Tbk, sudah seharusnya manajemen PT. Lippo menerapkan konsep Good Corpoorate Governance dalam hal tata kelola perusahaan yang baik seharusnya fungsi dewan komisaris harus lebih ditingkatkan , dalam melakukan evaluasi atas kinerja manajemen. Secara singkat, ada empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep Good Corporate Governance ini, yaitu fairness, transparancy, accountability, dan responsibility. Jika sudah diterapkan tata kelola perusahaan yang baik ,maka manajemen akan sangat memperhatikan kualitas dalam membuat laporan keuangan dan dilakukan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan PSAK. Atas hal tersebut maka seharusnya PT. Lippo Tbk tidak mengeluarkan tiga versi laporan keuangan pada publik. Karena sebelum informasi disebarkankan kepada pihak umum maka dewan komisaris akan melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap informasi yang akan disampaikan tersebut, termasuk untuk laporan keuangan.
Atas sanksi yang diberikan kepada pihak yang berkepentingan sudah seharusnya diberikan karena hal ini sebagai konsekuensi hukum bagi pihak yang telah melanggar etika dan standar profesi yang ada.
III. KESIMPULAN
Pada kasus PT. Lippo Tbk membawa dampak konsekuensi kepercayaan publik yang menurun terhadap profesi akuntan, dan terlebih terhadap penerapan Good Coorporate Governance pada PT. Lippo, tbk yang nota bene adalah perusahaan go publik. Kepercayaan masyarakat akan meningkat jika kualitas dari jasa profesi akuntan dapat dipertahankan, kualitas ini akan tercapai jika dalam menjalankan tugas profesi menekankan pada profesionalisme pekerjaan, dalam menjaga profesionalisme seorang akuntan harus menjaga independensi, integritas dan objektivitas. Hal penting yang diperlukan bagi setiap individu dalam melaksanakan tugasnya adalah menerapkan etika dalam dirinya, karena etika merupakan hal yang penting yang harus diterapkan dalam semua hal, jika telah terbentuk etika yang baik dalam diri seseorang, maka kecil kemungkinan akan terjadi hal yang menyimpang dari prinsip yang ada termasuk bagi seorang akuntan yang harus mejunjung tinggi etika profesi akuntan karena harapan yang tinggi oleh masyarakat umum kepada akuntan harus dijaga dalam semua hal yang menyangukut profesi akuntan.
TUGAS ETIKA BISNIS
ReplyDeleteHIJROH ROKHAYATI
P2CD08016
SKANDAL PT. LIPPO TBK
Nama : Agus Widyarto
ReplyDeleteNIM : C4C009010
Kasus : Adelphia Com
Nama : Harmasti Riftiana
ReplyDeleteNIM : C4C009011
Kasus : KAP Eddy Pianto dan KAP Hadi Sutanto (PT TELKOM)
PERSELISIHAN AUDITOR TELKOM
Untuk pertama kalinya di Indonesia terjadi kasus perselisihan auditor. KAP Eddy Pianto partner Grant Thornton (GT) adalah auditor laporan keuangan tahun 2002 PT Telkom, sementara KAP Hadi Sutanto merupakan auditor anak perusahaan PT Telkom, yakni PT Telkomsel. Hadi Sutanto yang merupakan partner Pricewaterhouse Coopers (PwC) kemudian ditunjuk Telkom untuk melakukan audit ulang laporan keuangan 2002 Telkom setelah laporan itu ditolak komisi pengawas pasar modal Amerika Serikat (US Securities and Exchanges-SEC). Telkom berkewajiban menyampaikan laporan keuangan tahunan ke US SEC karena saham Telkom diperdagangkan juga di bursa saham New York.
Inti persoalan dari kasus ini adalah Eddy Pianto Simon dari KAP Eddy Pianto merasa dirugikan KAP Hadi Sutanto karena dinilai menghambat karier dan kerja penggugat. Itu karena KAP Hadi Sutanto tidak mengizinkan KAP Eddy Pianto untuk menggunakan pendapat KAP Hadi Sutanto dalam hasil auditnya terhadap PT Telkomsel (anak perusahaan) ke dalam laporan audit (konsolidasi) PT Telkom. Hal inilah yang dianggap Eddy Pianto sebagai salah satu alasan SEC menolak laporan keuangan tahun 2002 Telkom auditan KAP Eddy Pianto.
Pada tanggal 16 Juli 2008, Eddy mengirim surat ke Ketua IAI, Achmadi Hadibroto. Surat itu perihal “Pengaduan atas perlakuan tidak sehat yang diterima KAP Drs Eddy Pianto (EP) dari KAP Drs Hadi Sutanto (HS)”. Dalam surat setebal lima halaman itu, Eddy menjelaskan kronologi kasus yang membuat namanya tercemar. EP merasa sebagai pihak yang mengalami kerugian, baik moril maupun materiil yang diakibatkan, baik langsung maupun tidak langsung akibat penolakan LK Telkom 2002 oleh US SEC tersebut. Beberapa pihak juga menilai bahwa kasus Telkom ini merupakan pertarungan antara dua KAP besar. Yang dimaksud KAP besar adalah GT dengan PwC. GT adalah auditor firm masuk dalam jajaran nomor tujuh dunia. Sedangkan, PwC masuk dalam jajaran the big four.
Awalnya, ketika menerima penugasan sebagai auditor PT Telkom (2002), tak ada persoalan yang dialami EP. Termasuk dengan HS, yang pada saat bersamaan menjadi auditor PT Tekomsel. Pada Januari dan Februari 2003, kedua belah pihak saling komunikasi, dan tukar-menukar dokumen. EP mengirimkan Audit Instructions kepada HS. Sebaliknya, HS mengirimkan laporan-laporan yang diminta EP sesuai Audit Instructions. HS juga mengirim dokumen yang menyatakan, sebagai auditor Telkomsel, HS independen.
Pada 17 Maret 2003, EP memberi tahu HS bahwa laporan audit Telkom akan dikeluarkan pada 25 Maret 2003. EP menyatakan akan melakukan reference terhadap hasil audit Telkomsel. Disinilah, hubungan EP dan HS kelihatan tidak sehat. Menjawab surat EP itu, HS menyatakan, tidak memberi izin kepada EP untuk me-refer hasil auditnya atas Telkomsel. Anehnya, pada 25 Maret 2003, HS mengirimkan copy audit report Telkomsel untuk dikonsolidasikan ke LK Telkom. Dalam surat pengantarnya, HS sama sekali tidak menyebut kata-kata yang tidak mengizinkan EP menggunakan hasil auditnya atas Telkomsel sebagai acuan dalam LK Telkom konsolidasi.
Namun, pada tanggal 31 Maret, HS kembali menegaskan surat tanggal 24 Maret. HS juga mengirim surat yang bernada sama kepada Presiden Komisaris dan Ketua Komite Audit Telkomsel, pada 9 April. “AU 543 menurut penafsiran HS adalah EP harus mendapatkan izin dari HS sebelum me-refer hasil audit PT Telkomsel ke dalam hasil audit PT Telkom. Sedangkan menurut EP AU 543 sebenarnya memperbolehkan EP untuk mengacu kepada opini HS tanpa perlu izin. EP mempunyai keyakinan bahwa HS telah menginterpretasikan AU 543 secara keliru, yang mengakibatkan keputusan SEC yang merugikan Telkom. AU 543, seperti halnya Standar Pemeriksaan Akuntan Publik (PSA 543), tidak mengharuskan EP minta izin, melainkan cukup mengkomunikasikannya saja. Izin dari auditor perusahaan anak dibutuhkan, bilamana nama auditor dicantumkan dalam LK konsolidasi.
Kedua, HS dalam suratnya tanggal 31 Maret, mencampuradukkan antara “izin agar EP dapat mengacu pekerjaan HS” dengan “izin agar Telkom dapat memasukkan opini HS di dalam laporan 20-F”. Dalam surat tanggal 31 Maret, HS menyatakan, izin tersebut berhubungan dengan laporan Form 20-F. Padahal, akuntan tahu, izin untuk Form 20-F seharusnya ditujukan kepada manajemen Telkom, bukan kepada auditornya, EP.
Tetapi, karena surat HS tanggal 24 Maret yang menolak memberi izin, pada 5 Juni, SEC mengirim surat kepada manajemen Telkom. Isinya, antara lain menyatakan, karena tidak ada izin dari HS, seharusnya EP melakukan qualifikasi atau disclaimer terhadap LK Telkom 2002. SEC juga menyatakan, EP tidak mendemonstrasikan kompetensinya dalam menerapkan US GAAS. Karena alasan itu, SEC menolak laporan Form 20-F. Keputusan SEC itu membuat Eddy dan partnernya Grant Thornton Indonesia bingung. Karena, sebelum mengirim surat ke manajemen Telkom itu, SEC sudah minta dilakukan credentialling review terhadap EP, pada 22 Mei. Heinz & Associates LLP dari Denver, Colorado, AS ditunjuk sebagai pelaksana.
Inilah yang kemudian menyiratkan ada konspirasi tingkat tinggi dalam kasus Telkom ini, yang melibatkan pejabat SEC dan pejabat PwC. Apalagi, kemudian diketahui, Telkom akhirnya menunjuk PwC untuk melakukan review atas audit yang dilakukan EP. Pejabat SEC yang menangani Telkom adalah Craig C. Olinger, Deputy Chief Accountant SEC. Dia adalah bekas anak buah Wayne Carnall, yang kini menjadi Senior Executive PwC.
Pada 21 Juni 2003, Eddy mengirim surat ke SEC untuk menjelaskan interpretasi yang benar atas AU 543. Pada 25 Juni, Eddy melanjutkan teleconference dengan SEC. Dalam teleconference itu, tidak ada sanggahan dari SEC mengenai interpretasi Eddy atas AU 543. Tetapi SEC kadung menolak laporan Form 20-F Telkom, dan manajemen Telkom sudah terlanjur menyatakan, (pada 11 Juni) LK Telkom 2002 sebagai unaudited, serta menunjuk PwC (HS) sebagai auditor untuk me-review LK Telkom 2002.
Bagi Eddy, perlakuan tidak sehat dari KAP Hadi Sutanto (HS) bukan hanya merugikan Telkom dan namanya, tetapi juga menyangkut kelangsungan usahanya, KAP Eddy Pianto (EP). Ini pula yang dituntut Eddy kepada organisasi profesi, IAI. Yakni, demi membersihkan namanya, bukan hanya kepada Bapepam, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan dan perusahaan yang bakal menggunakan jasa auditnya, tetapi kepada masyarakat luas.
Bermodal kepercayaan publik, akuntan publik diberi “hak istimewa” untuk melakukan fungsi atestasi (pengecekan). Atas nama kepercayaan publik pula, mereka berhak menerima bayaran, sebagai imbalan atas independensi, obyektivitas, dan kompetensi profesionalnya. Maka hak hidup akuntan publik akan hilang, dan hak atas imbalan itu menjadi haram, ketika mereka kehilangan independensi, obyektivitas, apalagi profesionalismenya.
ULASAN
§ HS hendaknya memenuhi Audit Instructions dari EP, karena EP merupakan auditor Telkom yang merupakan induk perusahaan Telkomsel.
§ HS seharusnya menolak penugasan sebagai auditor yang mereview LK Telkom 2002, karena terdapat conflict interest (HS sebagai auditor Telkomsel dan merupakan financial expert PT Aria West yang sedang bermasalah dengan Telkom).
§ Tindakan HS dapat dikategorikan sebagai tindakan mendiskreditkan profesi, karena merugikan auditor lain yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan publik terhadap auditor.
Nama : Indra Nurmanto
ReplyDeleteNIM : C4C009004
Kasus: Parmalat
Nama : Agus Widyarto
ReplyDeleteNIM : C4C009010
Kasus : PT. Brantas Abipraya
Menggantikan kasus Adelphia Com
NAMA : DINAR WAHYU UTAMI
ReplyDeleteNIM : C4C008009
KASUS: ENRON dan KAP ARTHUR ANDERSEN
PENDAHULUAN
Enron didirikan pada 1930 sebagai Northern Natural Gas Company, sebuah konsorsium dari Northern American Power and Light Company, Lone Star Gas Company, dan United Lights and Railways Corporation. Kepemilikan konsorsium ini secara bertahap dan pasti dibubarkan antara 1941 dan 1947 melalui penawaran saham kepada publik. Pada 1979, Northern Natural Gas mengorganisir dirinya sebagai sebuah holding company, InterNorth, yang mengganti`kan Northern Natural Gas di Pasar Saham New York (New York Stock Exchange).
IDENTIFIKASI MASALAH
Kasus Enron Corporation di Amerika dinyatakan bangkrut oleh pengadilan Amerika, memunculkan sorotan baru bagi profesi akuntan. Kasus ini telah memakan korban dari salah satu kantor akuntan internasional terbesar, Arthur Andersen, telah dipecat. Di Amerika sebagian besar kantor akuntan telah melakukan koreksi diri dengan cara tidak mau lagi menggabungkan jasa konsultan dengan jasa audit dalam satu atap.
Kasus kebangkrutan Enron di Amerika Serikat (AS)diinvestigasi oleh Departemen Kehakiman di AS atas tuntutan class action yang diajukan pihak pemodal dan karyawan Enron. Tuntutan ganti rugi tersebut dalam kisaran milyaran dolar AS, sehingga Arthur Andersen LLP sebagai auditor eksternalnya tidak bisa memenuhi.
Enron merupakan perusahaan energi dan perdagangan derivatif energi terbesar di AS. Kontribusi laba perseroan sekitar 80% dari divisi perdagangan derivatif. Dalam waktu sangat singkat perusahaan yang tahun lalu masih membukukan pendapatan US$ 100 miliar, sekonyong-konyong harus melaporkan kebangkrutannya kepada otoritas pasar modal. Sebagai entitas bisnis, nilai kerugian Enron diperkirakan mencapai US$ 50 miliar.
Sementara itu, pelaku pasar modal kehilangan US$ 32 miliar dan ribuan pegawai Enron harus menangisi amblasnya dana pensiun mereka tak kurang dari US$ 1 miliar. Saham Enron yang pada Agustus 2000 masih berharga US$ 90 per lembar, terjerembab jatuh hingga tidak lebih dari US$ 45 sen. Tidak heran kalau banyak kalangan menyebut peristiwa ini sebagai kebangkrutan terbesar dalam sejarah bisnis di Amerika Serikat.
Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan itu, belakangan Enron dicurigai telah melakukan praktek window dressing. Rekayasa dilakukan Manajemen Enron dengan membentuk entitas LJM Partnership I, II dan Raptor group, dimana direksi perusahaan tersebut dirangkap oleh beberapa direksi dari Enron antara lain Jefry Skilling dan Andy Fastow dengan dibantu auditornya dari KAP Arthur Andersen telah menggelembungkan (mark up) pendapatannya US$ 600 juta, dan menyembunyikan utangnya sejumlah US$ 1,2 miliar.
Komplikasi skandal ini bertambah, karena belakangan diketahui banyak sekali pejabat tinggi gedung putih dan politisi di Senat Amerika Serikat yang pernah menerima kucuran dana politik dari perusahaan ini. 70 persen senator, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, pernah menerima dana politik. Dalam Komite yang membidangi energi, 19 dari 23 anggotanya juga termasuk yang menerima sumbangan dari perusahaan itu.
Sementara itu, tercatat 35 pejabat penting pemerintahan George W. Bush merupakan pemegang saham Enron, yang telah lama merupakan perusahaan publik. Dalam daftar perusahaan penyumbang dana politik, Enron tercatat menempati peringkat ke-36, dan penyumbang peringkat ke-12 dalam penggalangan dana kampanye Bush. Akibat pertalian semacam itu, banyak orang curiga pemerintahan Bush dan para politisi telah dan akan memberikan perlakuan istimewa, baik dalam bisnis Enron selama ini maupun dalam proses penyelamatan perusahaan itu.
Dari kasus diatas dapat diambil pelajaran :
Pertama, cepat atau lambat sebuah persekongkolan jahat pasti akan terbongkar. Kebohongan hanya bisa ditutupi secara permanen apabila si pelaku mampu secara permanen dan terus-menerus melakukan kebohongan lainnya.
Dalam sebuah sistem terbuka seperti organisasi Enron, sulit untuk melakukan kebohongan itu secara terus-menerus, karena pelaku organisasi dalam tubuh Enron datang silih berganti. Dalam kasus Enron, seorang eksekutif yang berani telah membongkar semua persekongkolan itu.
Kedua, kasus-kasus kejahatan ekonomi tingkat tinggi selalu saja mengorbankan kepentingan orang banyak. Segelintir petinggi Enron dan sejumlah pihak yang tahu betul dan ikut merekayasa permainan ini, tentulah menerima manfaat keuangan dalam jumlah besar secara tidak etis. Keserakahan segelintir profesional yang memanfaatkan ketidaktahuan dan keawaman banyak orang telah menyimpan bencana yang mencelakakan banyak pihak: ribuan pekerja, pemegang saham, para pemasok, kreditor, dan pihak-pihak lainnya.
Ketiga, terbongkarnya praktek persekongkolan tingkat tinggi ini menjadi bukti bahwa praktek bisnis yang bersih dan transparan akan lebih langgeng (sustainable). Prinsip-prinsip tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance), saat ini boleh jadi menjadi cibiran di tengah situasi yang serba semrawut. Tetapi berusaha secara transparan, fair, akuntabel, seraya menjaga keseimbangan lingkungan, kiranya merupakan sikap yang lebih bertanggung jawab. Adakah pengaruh skandal Enron terhadap Indonesia? Mengingat besarnya cakupan bisnis Enron bahkan dalam skala global, sulit untuk mengatakan bahwa tidak ada pengaruhnya bagi Indonesia.
Banyaknya lembaga keuangan internasional yang ikut menderita kerugian akibat bangkrutnya Enron, sedikit banyak tentulah membuat mereka semakin berhati-hati dalam membidik peluang investasi. Di Amerika Serikat yang menerapkan standar transparansi sangat ketat sekalipun, banyak pihak masih kecolongan. Perusahaan-perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di pasar modal diharuskan memenuhi persyaratan pembeberan (disclosure) yang luar biasa ketat. Karena itu, bangkrutnya Enron yang diduga melakukan window dressing merupakan kasus yang mempermalukan banyak pihak; bukan saja otoritas pasar modal, tapi juga kaum profesional, politisi, hingga presiden.
Kalaupun di Indonesia tidak terdengar gaungnya, itu lebih disebabkan karena kondisi negeri ini yang sedang mengalami banyak kekacauan. Skandal korupsi yang jauh lebih besar dan di depan mata tentu lebih menarik perhatian daripada peristiwa di Amerika sana. Faktor-faktor nonekonomi juga tampaknya jauh lebih besar bobotnya untuk dipertimbangkan oleh para investor global dalam berinvestasi di Indonesia.
Jadi, meskipun di negeri asalnya kebangkrutan Enron sangat mengguncang dunia bisnis dan ekonomi; di negeri kita boleh jadi memang tidak akan terasa benar dampaknya. Bukan apa-apa, kita punya banyak simpanan skandal berskala jauh lebih besar.
KESIMPULAN
Sejak ENRON, sebuah perusahaan raksasa di AS melakukan skandal yang menghebohkan dunia karena berkolusi dengan KAP Arthur Andersen, kecaman masyarakat terhadap profesi auditor mengalir dengan derasnya. Kepercayaan mayarakat AS khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya terhadap profesi di bidang jasa publik ini semakin merosot. Hal ini juga ditunjukkan dengan menurunnya jumlah mahasiswa jurusan Akuntansi di AS.
Rekayasa informasi yang dilakukan oleh pihak manajemen ENRON dengan dibantu auditornya dari KAP Arthur Andersen telah merugikan pihak investor. Alhasil kedua perusahaan besar ini harus gulung tikar. Masyarakat pun beranggapan bahwa profesi auditor adalah profesi yang tercela karena telah melakuan pembodohan dan kebohongan terhadap publik.
Perilaku tidak etis dan tidak bermartabat yang dilakukan oleh KAP Arthur Andersen ini tidak hanya merugikan para investor saja, namun juga berdampak negatif pada auditor yang pernah bekerja di KAP tersebut. Para auditor ini mengalami kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan baru di KAP lainnya.
Respon masyarakat terhadap kasus ENRON dan KAP Arthur Andersen yang terjadi di AS ini menunjukkan bahwa profesi Auditor ( Akuntan Publik ) memang sebuah industri keahlian dan kepercayaan. Sehingga, apabila kepercayaan dilanggar maka reputasi juga akan menurun. Hal inilah yang menjadi tantangan besar bagi para auditor masa depan untuk bekerja sesuai dengan etika profesi dan standar yang telah ditetapkan di tengah persaingan yang semakin ketat dalam industri jasa ini.Kasus serupa juga banyak terjadi di Indonesia. IAI ( Ikatan Akuntan Indonesia ) sudah cukup sering menemukan dan memberi sangsi pada KAP yang terbukti melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan kode etik maupun standar yang berlaku.
Dari pembahasan di atas kita tahu bahwa petilaku etis dan kepercayaan (trust) dapat mempengaruhi operasi perusahaan. Kesimpulan yang dapat diambil yaitu:
1.Berkaca dari contoh kasus di atas, kita dapat melihat etika dan bisnis sebagai dua hal yang berbeda. Memang, beretika dalam berbisnis tidak akan memberikan keuntungan dengan segera, karena itu para pelaku bisnis harus belajar untuk melihat prospek jangka panjang.
2.Kunci utama kesuksesan bisnis adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
3.Kemajuan teknologi informasi khususnya internet telah menambah kompleksitas kegiatan “public relation” dan “crisis management” perusahaan.
4.Perilaku tidak etis khususnya yang berkaitan dengan skandal keuangan berimbas pada menurunnya aktivitas dan kepercayaan investor terhadap bursa saham dunia yang mengakibatkan jatuhnya harga-harga saham.
6.Sanksi hukuman di Indonesia masih lemah jika dibandingkan dengan sanksi hukuman di AS. Di Amerika, pelaku tindakan kriminal di bidang keuangan dikenai sanksi hukuman 10 tahun penjara sedangkan di Indonesia hanya diberi sanksi teguran atau pencabutan izin praktek.
SARAN
Para pelaku bisnis dan profesi akuntansi harus mempertimbangkan standar etika demi kebaikan dan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.
Nama : Dendra Kurnianto
ReplyDeleteNIM : C4C008008
KASUS :
Skandal Manupulasi Laporan Keuangan PT. Kimia Farma tbk
PT Kimia Farma adalah salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Pada audit tanggal 31 Desember 2001, manajemen Kimia Farma melaporkan adanya laba bersih sebesar Rp 132 milyar, dan laporan tersebut di audit oleh Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akan tetapi, Kementrian BUMN dan Bapepam menilai bahwa laba bersih tersebut terlalu besar dan mengandung unsur rekayasa. Setelah dilakukan audit ulang, pada 3 Oktober 2002 laporan keuangan Kimia Farma 2001 disajikan kembali (restated), karena telah ditemukan kesalahan yang cukup mendasar.
Pada laporan keuangan yang baru, keuntungan yang disajikan hanya sebesar Rp 99,56 miliar, atau lebih rendah sebesar Rp 32,6 milyar, atau 24,7% dari laba awal yang dilaporkan. Kesalahan itu timbul pada unit Industri Bahan Baku yaitu kesalahan berupa overstated penjualan sebesar Rp 2,7 miliar, pada unit Logistik Sentral berupa overstatedpersediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar, pada unit Pedagang Besar Farmasi berupa overstated persediaan sebesar Rp 8,1 miliar dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar. Kesalahan penyajian yang berkaitan dengan persediaan timbul karena nilai yang ada dalam daftar harga persediaan digelembungkan.
PT Kimia Farma, melalui direktur produksinya, menerbitkan dua buah daftar harga persediaan (master prices) pada tanggal 1 dan 3 Februari 2002. Daftar harga per 3 Februari ini telah digelembungkan nilainya dan dijadikan dasar penilaian persediaan pada unit distribusi Kimia Farma per 31 Desember 2001. Sedangkan kesalahan penyajian berkaitan dengan penjualan adalah dengan dilakukannya pencatatan ganda atas penjualan. Pencatatan ganda tersebut dilakukan pada unit-unit yang tidak disampling oleh akuntan, sehingga tidak berhasil dideteksi. Berdasarkan penyelidikan Bapepam, disebutkan bahwa KAP yang mengaudit laporan keuangan PT Kimia Farma telah mengikuti standar audit yang berlaku, namun gagal mendeteksi kecurangan tersebut. Selain itu, KAP tersebut juga tidak terbukti membantu manajemen melakukan kecurangan tersebut.
Keterkaitan Akuntan Terhadap Skandal Kimia Farma,Tbk
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan Pemeriksaan atau penyidikan baik atas manajemen lama direksi PT Kimia Farma Tbk ataupun terhadap akuntan publik Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM). Akuntan publik (Hans Tuanakotta dan Mustofa) harus bertanggung jawab, karena akuntan publik ini juga yang mengaudit Kimia Farma tahun buku 31 Desember 2001 dan dengan yang interim 30 Juni tahun 2002. Pada saat audit 31 Desember 2001 akuntan belum menemukan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan.
Tapi setelah audit intertim 2002 akuntan publik Hans Tuanakotta Mustofa (HTM) menemukan kesalahan pencatatan atas laporan keuangan. Sehingga Bapepam sebagai lembaga pengawas pasar modal bekerjasama dengan Direktorat Akuntansi dan Jasa Penilai Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi para akuntan publik untuk mencari bukti-bukti atas keterlibatan akuntan publik dalam kesalahan pencatatan laporan keuangan pada PT. Kimia Farma, Tbk untuk tahun buku 2001.
Namun dalam hal ini seharusnya akuntan publik bertindak secara independen karena mereka adalah pihak yang bertugas memeriksa dan melaporkan adanya ketidakwajaran dalam pencatatan laporan keuangan. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan apabila di temukan adanya kesalahan, selambat-lambatnya dalam tiga hari kerja, akuntan publik harus sudah melaporkannya ke Bapepam. Apabila temuannya tersebut tidak dilaporkan maka auditor tersebut dapat dikenai pidana, karena ada ketentuan yang mengatur bahwa setiap profesi akuntan itu wajib melaporkan temuan kalau ada emiten yang melakukan pelanggaran peraturan pasar modal.
Sehingga perlu dilakukan penyajian kembali laporan keuangan PT. Kimia Farma, Tbk dikarenakan adanya kesalahan pencatatan yang mendasar, akan tetapi kebanyakan auditor mengatakan bahwa mereka telah mengaudit sesuai dengan standar profesional akuntan publik. Akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa ikut bersalah dalam manipulasi laporan keuangan, karena sebagai auditor independen akuntan publik Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) seharusnya mengetahui laporan-laporan yang diauditnya itu apakah berdasarkan laporan fiktif atau tidak.
Keterkaitan Manajemen Terhadap Skandal Kimia Farma, Tbk
Mantan direksi PT Kimia Farma Tbk. telah terbukti melakukan pelanggaran dalam kasus dugaan penggelembungan (mark up) laba bersih di laporan keuangan perusahaan milik negara untuk tahun buku 2001. Kantor Menteri BUMN meminta agar kantor akuntan itu menyatakan kembali (restated) hasil sesungguhnya dari laporan keuangan Kimia Farma tahun buku 2001. Sementara itu, direksi lama yang terlibat akan diminta pertanggungjawabannya. Seperti diketahui, perusahaan farmasi terbesar di Indonesia itu telah mencatatkan laba bersih 2001 sebesar Rp 132,3 miliar. Namun kemudian Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai, pencatatan tersebut mengandung unsur rekayasa dan telah terjadi penggelembungan.
Terbukti setelah dilakukan audit ulang, laba bersih 2001 seharusnya hanya sekitar Rp 100 miliar. Sehingga diperlukan lagi audit ulang laporan keuangan per 31 Desember 2001 dan laporan keuangan per 30 Juni 2002 yang nantinya akan dipublikasikan kepada publikSetelah hasil audit selesai dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Hans Tuanakotta & Mustafa, akan segera dilaporkan ke Bapepam. Kimia Farma juga siap melakukan revisi dan menyajikan kembali laporan keuangan 2001, jika nanti ternyata ditemukan kesalahan dalam pencatatan.
Untuk itu, perlu dilaksanakan rapat umum pemegang saham luar biasa sebagai bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada publik. Meskipun nantinya laba bersih Kimia Farma hanya tercantum sebesar Rp 100 miliar, investor akan tetap menilai bagus laporan keuangan. Dalam persoalan Kimia Farma, sudah jelas yang bertanggung jawab atas terjadinya kesalahan pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan laba terlihat di-mark up ini, merupakan kesalahan dari manajemen lama.
Kesalahan Pencatatan Laporan Keuangan Kimia Farma Tahun 2001
Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) menilai kesalahan pencatatan dalam laporan keuangan PT Kimia Farma Tbk. tahun buku 2001 dapat dikategorikan sebagai tindak pidana di pasar modal. Kesalahan pencatatan itu terkait dengan adanya rekayasa keuangan dan menimbulkan pernyataan yang menyesatkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Bukti-bukti tersebut antara lain adalah kesalahan pencatatan apakah dilakukan secara tidak sengaja atau memang sengaja diniatkan. Tapi bagaimana pun, pelanggarannya tetap ada karena laporan keuangan itu telah dipakai investor untuk bertransaksi.
Seperti diketahui, perusahaan farmasi itu sempat melansir laba bersih sebesar Rp 132 miliar dalam laporan keuangan tahun buku 2001. Namun, kementerian Badan Usaha Milik Negara selaku pemegang saham mayoritas mengetahui adanya ketidakberesan laporan keuangan tersebut. Sehingga meminta akuntan publik Kimia Farma, yaitu Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM) menyajikan kembali (restated) laporankeuangan Kimia Farma 2001. HTM sendiri telah mengoreksi laba bersih Kimia Farma tahun buku 2001 menjadi Rp 99 milliar. Koreksi ini dalam bentuk penyajian kembali laporan keuangan itu telah disepakati para pemegang saham kimia farma dalam rapat umum pemegang saham luar biasa. Dalam rapat tersebut, akhirnya pemegang saham Kimia Farma secara aklamasi menyetujui tidak memakai lagi jasa HTM sebagai akuntan publik.
Dampak Terhadap Profesi Akuntan
Aktivitas manipulasi pencatatan laporan keungan yang dilakukan manajemen tidak terlepas dari bantuan akuntan. Akuntan yang melakukan hal tersebut memberikan informasi yang menyebabkan pemakai laporan keuangan tidak menerima informasi yang fair. Akuntan sudah melanggar etika porfesinya. Kejadian manipulasi pencatatan laporan keuangan yang menyebabkan dampak yang luas terhadap aktivitas bisnis yang tidak fair membuat pemerintah campur tangan untuk membuat aturan yang baru yang mengatur profesi akuntan dengan maksud mencegah adanya praktik-praktik yang akan melanggar etika oleh para akuntan publik.
Salah satu dampak kasus PT Kimia Farma adalah pemerintah melalui menteri keuangan menerbitkan KMK no 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik, juga disertai Bapepam yang mengeluarkan peraturan no VIII.A.2 tentang independensi Akuntan yang Memberikan Jasa Audit di Pasar Modal. Dalam peraturan tersebut diberlakukan larangan rangkap jabatan KAP mulai November 2002. Dengan demikian, KAP dilarang memberikan jasa audit dan konsultasi keuangan lainnya secara bersamaan pada sebuah perusahaan publik.
Selain itu, diberlakukan pula pembatasan penugasan audit, yaitu KAP hanya dapat melakukan audit atas sebuah klien paling lama 5 tahun berturut-turut, dimana partnernya paling lama 3 tahun berturut-turut. KAP dan partner baru dapat menerima penugasan audit untuk klien tersebut setelah selama 3 tahun berturut-turut tidak mengaudit perusahaan tersebut.
PEMBAHASAN
Keterkaitan Manajemen Resiko Etika disini adalah pada pelaksanaan audit oleh KAP HTM selaku badan independen, kesepakatan dan kerjasama dengan klien/ Stake Holder (PT. Kimia Farma, dan pemberian opini atas laporan keuangan Klien.Dalam Kasus ini, jika dipandang dari sisi KAP HTM, maka urutan stake holder utama ditinjau dari segi kepentingan stake holder adalah: 1. Klien atau PT Kimia Farma Tbk, 2.Pemegang saham, 3. Masyarakat luas. Dalam kasus ini, KAP HTM menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit mereka. Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu melakukan review menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungannilai persediaan.
Kasus yang menimpa KAP HTM ini adalah resiko inheren dari dijalankannya suatu tugas audit. Sedari awal, KAP HTM seharusnya menyadari bahwa kemungkinan besar akan ada resiko manipulasi seperti yang dilakukan PT. Kimia Farma, mengingat KAP HTM adalah KAP yang telah berdiri cukup lama. Resiko ini berdampak pada reputasi HTM dimata pemerintah ataupun public, dan pada akhirnya HTM harus menghadapi konsekwensi resiko seperti hilangnya kepercayaan public dan pemerintah akan kemampuan HTM, penurunan pendapatan jasa audit, hingga yang terburuk adalah kemungkinan di tutupnya kantor Akuntan tersebut.Diluar esiko bisnis, resiko etika yang dihadapi KAP HTM ini cenderung pada kemungkinan dilakukannya kolaborasi dengan manajemen Kimia Farma dalam manipulasi laporan keuangan.
Walaupun secara fakta KAP HTM terbukti tidak terlibat dalam kasus manipulasi tersebut, namun hal ini bisa saja terjadi. Sesuai dengan teori yang telah di paparkan diatas, manajemen resiko yang dapat diterapkan oleh KAP HTM antara lain adalah dengan mengidentifikasi dan menilai resiko etika, serta Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stake holder. Berlainan dengan kasus Adam Air, akuntabilitas social dan audit tidak perlu dilakukan, karena stake holder utama KAP HTM adalah klien, dan bukan public.
Mengidentifikasi dan menilai resiko etika
Dalam kasus antara KAP HTM dan Kimia Farma ini, Pengidentifikasian dan penilaian resiko etika dapat diaplikasikan pada tindakan sebagai berikut:
1. Melakukan penilaian dan identifikasi para stake holder HTM, HTM selayaknya membuat daftar mengenai siapa dan apa saja para stake holder yang berkepentingan beserta harapan mereka. Dengan mengetahui siapa saja para stake holder dan apa kepentingannya serta harapan mereka, maka KAP HTM dapat melakukan penilaian dalam pemenuhan harapan stake holder melalui pembekalan kepada para auditor senior dan junior sebelum melakukan audit pada Kimia Farma.
2. Mempertimbangkan kemampuan SDM HTM dengan ekspektasi para stakeholder, dan menilai risiko ketidak sanggupan SDM HTM dalam menjalankan tugas audit
3. Mengutamakan reputasi KAP HTM, yaitu dengan berpegang pada nilai-nilai hypernorm, seperti kejujuran, kredibilitas, reliabilitas, dan tanggung jawab.
Faktor-faktor tersebut bisa menjadi kerangka kerja dalam melakukan perbandingan. Empat tahapan ini akan menghasilkan data yang memungkinkan Pimpinan KAP HTM dapat mengawasi adanya peluang dan risiko etika, sehingga dapat ditemukan cara untuk menghindari dan mengatasi risiko tersebut, serta agar dapat secara strategis mengambil keuntungan dari kesempatan tersebut.
Menerapkan strategi dan taktik dalam membina hubungan strategis dengan stake holder
KAP HTM dapat melakukan pengelompokan stake holder dan me ratingnya dari segi kepentingan, dan kemudian menyusun rencana untuk berkolaborasi dengan stake holder yang dapat memberikan dukungan dalam penciptaan strategi, yang dapat memenuhi harapan para stake holder HTM.
NAMA : ADNAN SUPARDI
ReplyDeleteNIM : C4C009005
KASUS : PT. Pusako Tarinka (KAP YAHYA SANTOSA)
Telaah kasus :
PT. Pusako Tarinka Tbk atau perseroan adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang perhotelan yang didirikan oleh Nasroel Chas pada tahun 1989, berdomisili di Jln. Talang Betutu No.17 Kel. Kebon Melati Kec.Tanah Abang Jakarta Pusat dan menjadi perusahaan publik melalui pencatatan saham sebanyak 82 juta lembar saham di Bursa Efek Surabaya pada tahun 1995, sampai dengan ahkir Desember 2007. Karena Bergabungnya Bursa Efek Surabaya dengan Bursa Efek Jakarta menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI), maka pada Januari 2008 PT Pusako Tarinka tercatat pula pada BEI.
PT,Pusako Tarinka Tbk adalah pemilik hotel “Pusako Hotel Bukittinggi” mendapat pengukuhan bintang empat sesuai dalam surat keputusan Direktur Jendral Pariwisata No.23/ITUH/II/DIR/1992, yang berlokasi di puncak kawasan Bukit desa Manggis dengan berdiri di atas tanah seluas kurang lebih 4,4 Hektar di Jalan Sukarno Hatta No.7 Bukittinggi, Sumatera Barat. Pusako Hotel Bukittinggi telah mendapat Ijin usaha tetap perhotelan yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Penggerak Dana Investasi yang tertuang dalam keputusan “Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman modal No.333/T/PARPOSTEL/1995 dan Surat KeputusanDirektur Jenderal Pariwisata No.23/ITUH/II/DIR/1992. Yang diresmikan oleh Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Bapak Soesilo Soedarman, pada 3 Maret 1992. Pusako Hotel Bukittinggi mempunyai 191 kamar yang terdiri dari 184 Standard Room, 6 Junior Suite dan 1 Presiden suite. Hotel Pusako juga menyediakan ruang konferensi dengan daya tampung 500 sampai 1000 orang, dan tiga ruang meeting yang masing-masing ruang dapat menampung mulai dari 30 sampai 100 orang dengan berbagai konfigurasi. Sampai saat ini Hotel Pusako masih merupakan hotel yang terbesar di Sumatera Barat. Sampai dengan Desember 2007 PT. Pusako Tarinka Tbk memberi pekerjaan kepada lebih dari 200 orang karyawan. Perseroan tetap berusaha melangkah kedepan dengan pasti menuju pertumbuhan sesuai dengan harapan.
KASUS KANTOR AKUNTAN PUBLIK PADA PT PUSAKO TARINKA Tbk.
Kantor Akuntan Publik Yahya Santosa adalah KAP yang mengaudit PT PUSAKO TARINKA Tbk. Dalam hal ini KAP Yahya santosa telah melakukan pelanggaran terhadap pembatasan penugasan audit umum atas Laporan Keuangan PT. Pusako Tarinka, Tbk dalam jangka waktu 4 (empat) tahun buku berturut-turut sejak tahun buku 2003 s.d. 2006. dengan demikian etika yang dilanggar KAP Yahya Santosa adalah mengenai independensi karena telah melakukan jasa audit selama 4 tahun berturut-turut.
PELANGGARAN ETIKA PROFESI YANG DILAKUKAN OLEH KPMG
ReplyDeleteKPMG (Klynveld Peat Marwick Goerdeler Consulting Inc., adalah salah satu perusahaan jasa profesional terbesar di dunia. KPMG mempekerjakan 104.000 orang dalam partnership global menyebar di 144 negara.Konsultan bisnis internasional, KPMG memiliki tiga jalur layanan: audit, pajak, dan penasehat. KPMG adalah salah satu anggota the Big Four auditors, bersama dengan PricewaterhouseCoopers, Ernst & Young dan Deloitte.
1. Perusahaan media terbesar di dunia America Online (AOL) Time Warner, mencatatkan kerugian tahunan yang terbesar dalam sejarah bisnis di AS, yakni mendekati 100 milyar dollar AS pada tahun 2002. AOL Time Warner juga diharuskan menghapus bukukan (write-off) nilai asetnya sebesar 45 milyar dollar AS. Write-off merupakan langkah yang lazim dilakukan pada perusahaan untuk membersihkan keuangan dari aset-aset yang relatif tidak memiliki nilai atau tidak berharga lagi. OL melaporkan kerugian, persisnya 98,7 milyar dollar AS, setelah mencatatkan kerugian sebesar 44,9 milyar dollar AS pada tiga bulan terakhir tahun 2002.
Kerugian besar diderita divisi bisnis internet America Online, karena biaya yang lebih besar ketimbang pemasukan. AOL Time Warner merupakan gabungan dari AOL dan Time Warner, dan sebelumnya dinilai merupakan merger terbesar dalam sejarah bisnis
AOL Time Warner menggunakan KMPG sebagai Konsultan Akuntansi sehingga secara tidak langsung juga digugat Komisi Pasar Modal AS (Securities and Exchange Commission/SEC) karena diduga menyembunyikan kerugian dan malah menyatakan keuntungan
2. SEC menuduh KPMG-yang juga memiliki bisnis di Indonesia-sebagai melakukan pemalsuan atas hasil-hasil audit atas keuangan Xerox, perusahaan yang memiliki bisnis di bidang fotokopi dan peralatan perkantoran. Pemalsuan keuangan itu berlangsung pada periode 1997--2000.
Bulan April tahun 2002 lalu, Xerox setuju membayar denda 10 juta dollar AS karena memberikan pernyataan palsu.
KPMG membantah tuduhan SEC dan menuduh SEC terlalu berlebihan. KPMG dituduh melakukan manipulasi keuangan Xerox lewat permainan akuntansi, sehingga menutupi sekitar 3 milyar dollar AS kerugian Xerox. Akan tetapi, KPMG memilih penyelesaian masalah itu lewat jalur non-pengadilan. Selain menggugat KPMG, SEC juga menggugat empat rekanan KPMG
3. Terlibat upaya manipulasi pajak senilai Rp 4,2 miliar di Indonesia. Akibat kasus ini, anak perusahaannya PT Barents Indonesia didenda Rp 2 miliar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Terungkapnya kasus ini berawal dari gugatan Inghie Kwik kepada Barents Indonesia yang telah mencopotnya sebagai direksi di Barents. Inghie dipecat karena dirinya ngotot membayarkan tunggakan pajak, yang dianggap bukan kewenangannya. .
Berdasarkan dokumen otentik pengadilan diketahui bahwa gugatan Inghie ke Barents sesungguhnya dilatarbelakangi upaya manipulasi pajak oleh KPMG Consulting Inc. (AS), induk Barents
.
Menurut laporan CK Liew, konsultan pajak pada kantor akuntan publik KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono, Barents memiliki tunggakan pajak Rp 4,2 miliar untuk tahun buku 1999-2001. Beban pajak itu berasal dari pendapatan Barents sebagai konsultan dalam proyek Bank Danamon, Bank Mandiri, Lippo, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Chase, dan Asbin selama Agustus 1999 hingga Mei 2001 yang totalnya mencapai US$ 2,06 juta (Rp 18,5 miliar). Berdasarkan ketentuan perpajakan, Barents Indonesia seharusnya menyetorkan pajak sebesar 20 persen dari fee yang diterimanya. Sebab, pekerjaan itu kenyataannya dilakukan oleh para pekerja asing dari Barents LLC (AS) dan KPMG Consulting yang berbasis di Boston (AS).
Menurut kalkulasi Liew, pajak yang harus dibayarkan Barents mencapai Rp 3,4 miliar. Jika ditambah denda tunggakan Rp 767 juta, totalnya menjadi Rp 4,2 miliar.
CK Liew mengirimkan laporan itu melalui suratnya ke Inghie pada 14 Juni 2001, setelah Inghie diminta kembali aktif di Barents Indonesia. Sebelumnya, Barents sempat tak beroperasi akibat krisis ekonomi pada 1997. Namun, kemudian kembali dioperasikan setelah Barents LLC diakuisisi KPMG pada 1998 lalu.
Menanggapi laporan ini, Inghie dalam surat elektronik yang dikirimkan kepada Direktur Pajak Perusahaan KPMG Consulting James S. Kavanah meminta agar pajak segera dibayarkan. Namun, Kavanah menolak.
Dari Liew dan Presiden Direktur Barents Indonesia Michael Morris, Inghie bahkan mendapat informasi adanya pertimbangan untuk membuat pembukuan baru dan merekayasa biaya konsultan seolah-olah untuk staf lokal. "Memang bisa menurunkan pajak, tapi ini ilegal," kata Inghie dalam suratnya ke Kavanah.
Sehubungan dengan itu, Inghie tetap membayarkan pajak pada 10 Juli dan 16 Agustus 2001, masing-masing Rp 2,3 miliar dan Rp 1,14 miliar. Akibatnya, Inghie dipecat karena dianggap menyalahi kewenangannya.
Ketika dimintai konfirmasinya, Inghie membenarkan soal gugatannya, meski, "Saya tidak mau berkomentar dulu," ujarnya. Partner senior kantor akuntan KPMG-Siddharta, Achmadi Hadibroto, juga menolak berkomentar. "Untuk masalah itu, saya no comment," kata Ketua Ikatan Akuntan Indonesia ini kepada Tempo News Room.
Secara terpisah, Subani dan Mohamadiantoro dari kantor hukum Amir Syamsuddin & Partners, kuasa hukum Barents, menyatakan bahwa kewajiban pajak Barents kini telah dilunasi. "Orang-orang asing itu patuh pada kewajibannya," katanya.
Namun, keduanya mengaku tidak tahu soal adanya upaya rekayasa pajak dan keterlibatan staf asing. "Oh... kalau itu saya tidak tahu." Yang jelas, tuturnya, berbagai surat elektronik yang diserahkan Inghie ke pengadilan tidak bisa dijadikan bukti hukum.
4. KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York
Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis. Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat eksekutifnya
Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun terselamatan.
Setiap perusahaan nasional KPMG adalah sebuah badan legal independen dan merupakan anggota dari KPMG internasional, perusahaan Swiss Verein yang bermarkas besar di Belanda. Pada awal 2005, perusahaan anggotanya di AS, KPMG LLP, dituduh oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat atas penipuan dalam memasarkan perlindungan pajak yang menyimpang dari hukum. Dalam suatu kesepakatan, KPMG LLP mengakui telah berbuat kejahatan dengan menciptakan perlindungan pajak palsu untuk menolong klien-kliennya yang kaya untuk menghindari pajak sebesar $2.5 milyar dan setuju untuk membayar hukuman denda sebesar $456 juta. KPMG LLP tidak akan menghadapi tuntutan hukum atas perbuatan kriminal ini selama ia setuju dengan syarat-syarat dalam kesepakatan dengan pemerintah
PEMBAHASAN :
Berkembangnya profesi akuntan telah banyak diakui oleh berbagai kalangan. Kebutuhan dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat akan jasa akuntan menjadi pemicu perkembangan tersebut. Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik, oleh karena itu seorang akuntan harus :
Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan
a. Harus tegas dan jujur dalam menjalin hubungan profesional dan hubungan bisnis dalam melaksanakan pekerjaannya.
b. Tidak boleh membiarkan subjektivitas, benturan kepentingan, atau pengaruh yang tidak layak (undueinfluence) dari pihak-pihak lain memengaruhi pertimbangan profesional atau pertimbangan bisnisnya.
c. Wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku dan harus menghindari semua tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
kasus tersebut diatas termasuk kasus tergolong kejahatan akuntansi yang menjadi dilema hingga saat ini, banyak pihak yang dirugikan oleh praktik-praktik tersbeut, dimana etika profesi masih diabaikan demi kepentingan pribadi maupun suatu organisasi. Hal ini mengakibatkan persepsi masyarakat terhadap profesi akuntan menjadi buruk dan akuntan sebagai komunikator bisnis ternyata masih jauh dari efektif. Di satu sisi, pemakai jasa akuntan tersebut mengharapkan suatu hasil profesional dengan bertumpu pada kepercayaan mereka terhadap jasa profesional tersebut dan masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
Terdapat dua kelompok pemakai laporan keuangan. Pihak internal dan pihak eksternal. Pihak internal adalah manajemen perusahaan. Sementara pihak eksternal antara lain pemegang saham, kreditor, dan instansi pemerintah seperti instansi pajak.
Informasi keuangan memang disajikan oleh manajemen tanggung jawabnya juga berada pada pundak pengelola Informasi keuangan tersebut dapat mengandung kekeliruan (error), yaitu salah saji dalam laporan keuangan yang tidak disengaja. Tetapi yang sering terjadi justru terdapat ketidakberesan (irregularities), yaitu salah saji dalam laporan keuangan yang disengaja, atau berbagai pelanggaran dan penyimpangan yang dicoba ditutupi dengan rekayasa akuntansi.
Karena manajemen dalam menyajikan laporan keuangan mempunyai tujuan tertentu, maka diperlukan jasa profesional untuk menilai kewajaran informasi keuangan yang disajikan manajemen. Jasa profesional inilah yang dilakukan oleh auditor independen. Tetapi bagaimana kalau jasa yang diberikan auditor itu tidak profesional dan tidak secara konsisten menerapkan kualitas dalam perencanaan dan pekerjaan lapangan dan pelaporan? Kemungkinan terbesarnya adalah auditor tidak menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan auditnya, tidak sepenuhnya mematuhi etika profesionalitasnya, yang pada ujungnya menyebabkan tidak dapat menemukan error dan irregularities serta akhirnya memberikan pendapat yang misleading tentang laporan yang diauditnya.
Akuntan publik sebagai profesi seperti halnya profesi lain tidak steril terhadap adanya penyimpangan. Akan ada oknum-oknum yang tidak mematuhi rambu-rambu yang ditetapkan profesi. Sebagai pemakai ekstern, Ditjen Pajak bisa menggunakan laporan keuangan sesuai kepentingannya, misalnya untuk menghitung pajak terhutang wajib pajak (WP) yang bersangkutan. Laporan keuangan itu bisa yang telah diaudit maupun tidak, tergantung kepada WP yang menyampaikannya.
Bagaimana tanggung jawab akuntan publik terhadap laporan keuangan yang diauditnya dan dilampirkan dalam SPT klien, atau bagaimana jika ternyata laporan keuangan itu tidak benar?
Paragraf pertama dari suatu laporan akuntan berbunyi demikian "...Laporan keuangan ini merupakan tanggung jawab manajemen perusahaan. Tanggung jawab kami adalah memberikan pendapat tehadap laporan keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan".
Jadi akuntan publik mempunyai tanggung jawab terhadap opini yang diberikan atas laporan keuangan yang diperiksanya. Ia tidak bisa lari dari tanggung jawab jika laporan keuangan yang dikaitkan dengan pendapatnya itu terdapat penyimpangan.
Besarnya tanggung jawab akuntan publik ini harus dilihat baik dari perspektif WP maupun akuntan publik. Artinya apakah ketidakbenaran pendapat akuntan publik itu disebabkan kesalahan WP atau akuntan publik.
Jika memang kesalahan itu ada di akuntan publik, maka akuntan publik harus dikenakan sanksi. Tetapi jika ternyata kesalahan itu ada pada WP, akuntan publik harus dibebaskan dari tanggung jawab
.
KESIMPULAN :
Etika Profesional Auditor dan Standar Profesional Akuntan Publik
Etika profesional diperlukan setiap profesi karena kebutuhan profesi tersebut akan kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan, siapapun orangnya. Masyarakat akan menghargai profesi yang menerapkan standar mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan anggota profesinya, karena masyarakat merasa terjamin akan memperoleh jasa yang dapat diandalkan. Begitu juga terhadap profesi akuntan publik, kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit akan menjadi lebih tinggi jika profesi akuntan publik menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan audit.Bagi profesi akuntan, etika profesional semacam ini dikenal dengan nama Kode Etik Akuntan Indonesia. Anggota IAI yang berpraktik sebagai akuntan publik bertanggung jawab mematuhi pasal-pasal yang tercantum dalam Kode Etik Akuntan Indonesia, termasuk juga semua orang yang bekerja dalam praktik profesi akuntan publik, seperti karyawan, partner, dan staf.
Nama :Prima Geradiko
ReplyDeleteNIM :C4C008006
Nama : Sukma Andhina
ReplyDeleteNIM :C4C009002
KAP DRS. MITRA WINATA DAN REKAN
PENDAHULUAN
Secara harfiah, etika bermakna pengetahuan tentang azas-azas akhlak atau moral. Sedangkan secara terminology berkembang menjadi suatu konsep yang menjelaskan batasan baik atau buruk, benar atau salah, dan bias atau tidak bias, akan suatu hal untuk dilakukan dalam suatu pekerjaan tertentu. Istilah kode etik kemudian muncul untuk menjelaskan tentang batasan yang perlu diperhatikan oleh seorang professional ketika menjalankan profesinya.
Menurut Mohammad Immanudin Abdulrahim, (dalam Suhrawardi, 1992) dalam tulisannya berjudul Profesionalisme dalam Islam pada Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 2 Vol. IV Tahun 1993 mengemukakan bahwa : Profesionalisme biasanya dipahami sebagai suatu kualitas yang wajib dipunyai setiap eksekutif yang baik. Didalamnya terkandung ciri mempunyai ketrampilan tinggi dalam suatu bidang serta kemahiran dalam mempergunakan peralatan tertentu yang diperlukan: dalam pelaksanaan tugas yang bersangkutan dengan bidangnya, mempunyai ilmu dan pengalaman kecerdasan dalam menganalisa suatu masalah dan peka di dalam membaca situasi, cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan, mempunyai sikap berorientasi ke hari depan sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingkungan yang terbentang dihadapannya, mempunyai sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi (izzatal nafs atau self confidence), serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri sendiri dan perkembangan pribadi.
DR. J. Spillanc SJ (dalam Suhrawardi K. Lubis, 1992: 4) dalam Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan mengemukakan, suatu profesi dapat didefinisikan secara singkat sebagai jabatan seseorang kalau profesi tersebut tidak bersifat komersial, mekanisme pertanian dan sebagainya. Secara tradisional ada 4 (empat) profesi, yaitu kedokteran, hukum, pendidikan dan kependetaan.
E. Sumaryono berpendapat, “sebuah profesi terdiri dari kelompok terbatas dari orang- orang yang memiliki keahlian khusus dan dengan keahlian itu mereka dapat berfungsi di dalam masyarakat dengan lebih baik bila dibandingkan dengan warga yang lain pada umumnya. Atau dalam pengertian lainnya, sebuah profesi adalah sebuah sebutan atau jabatan dimana orang yang menyandangnya mempunyai pengetahuan khusus yang diperolehnya melalui “training” atau pengalaman lain, atau bahkan diperoleh melalui keduanya, sehingga penyandang profesi dapat membimbing atau memberi nasihat/ saran atau juga melayani orang lain dalam bidangnya sendiri”.
Dari beragam tolok ukur suatu profesi tersebut adalah lebih ditekankan pada aspek fungsional dari sebuah spesifikasi keahlian atau keterampilan yang dimiliki (dikuasai) seseorang. Pada spesifikasi itu terdapat muatan ilmu pengetahuan yang melahirkan seseorang memiliki keahlian yang sedemikian rupa sehingga berbeda dengan lainnya. Menurut Soebyakto, kode etik merupakan aturan susila atau sikap akhlak yang ditetapkan bersama dan ditaati bersama oleh para anggota yang tergabung dalam suatu organisasi profesi. Menurut Berten (dalam Abdul Kadir Muhamad, 1995: 72), kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh kelompok profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat. Apabila satu kelompok profesi itu berbuat menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi itu akan tercemar di masyarakat. Oleh karena itu kelompok profesi harus menyelesaikannya sendiri berdasarkan kekuasaannya sendiri (Berten, 1994).
Jika membahas perilaku tidak etis atau perilaku menyimpang dari para professional bukan merupakan hal baru. Beberapa abad silam, Bernard Shaw pernah melontarkan tuduhan bahwa semua profesi merupakan persekongkolan melawan kaum awam. Kaum awam professional lebih menginginkan status dan kekayaan, bahkan memperdaya bukannya menolong klien-klien mereka (Daryl Koehn, 2000;11).
Adakalanya perilaku yang melanggar etika dikategorikan sebagai kejahatan dengan tingkatan yang berbeda-beda. Fringe violator atau kejahatan yang dilakukan oleh para professional seperti notaris, wartawan, dokter, akuntan, pengacara dan sebagainya, dapat berbentuk intensional, kealpaan, dolus aventualis maupun pelanggaran hukum disiplin (tuchtrecht).
Akuntan sebagai salah satu profesi, juga mempunyai kode etik yang digunakan sebagai rambu-rambu atau batasan-batasan ketika seorang Akuntan menjalankan perannya. Pemahaman yang cukup dari seorang Akuntan tentang kode etik, akan menciptakan pribadi Akuntan yang profesional, kompeten, dan berdaya guna. Tanpa adanya pemahaman yang cukup tentang kode etik, seorang Akuntan akan terkesan tidak elegan, bahkan akan menghilangkan nilai esensial yang paling tinggi dari profesinya tersebut.
Akuntan merupakan profesi yang keberadannya sangat tergantung pada kepercayaan masyarakat. Sebagai sebuah profesi yang kinerjanya diukur dari profesionalismenya, akuntan harus memiliki keterampilan, pengetahuan, dan karakter. Penguasaan keterampilan dan pengetahuan tidaklah cukup bagi akuntan untuk menjadi profesional. Karakter diri yang dicirikan oleh ada dan tegaknya etika profesi merupakan hal penting yang harus dikuasainya pula.
Etika profesi akuntan di Indonesia dikodifikasikan dalam bentuk kode etik, yang mana struktur kode etik ini meliputi prinsip etika, aturan etika, dan interpretasi aturan etika. Struktur yang demikian itu setidaknya memberikan gambaran akan kebutuhan minimal bagi profesi akuntan untuk memberi jasa yang efektif kepada masyarakat. Terkait dengan hal tersebut Brooks (dalam Ludigdo, 2007) menyebutkan bahwa dalam suatu pedoman akuntan yang dibuat seharusnya berisi beberapa poin pokok. Beberapa poin pokok tersebut adalah :
1. Spesifikasi alasan aturan-aturan umum yang berhubungan dengan kompetensi teknis, kehati-hatian, obyektifitas, dan integritas.
2. Memberikan respon untuk berperilaku memenuhi kepentingan berbagai kelompok dalam masyarakat, untuk memecahkan konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan, dan antara pihak yang berkepentingan dan akuntan.
3. Memberikan dukungan atau perlindungan bagi akuntan yang akan “melakukan sesuatu dengan benar” (misalnya dengan kode dan laporan masalah etisnya).
4. Menspesifikasikan sanksi secara jelas hingga konsekuensi dari kesalahan akan dipahami.
KASUS
Keberadaan kode etik ternyata tidak menjamin terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh profesional khususnya akuntan publik. Seperti yang dilakukan oleh Akuntan Publik (AP) Drs. Petrus Mitra Winata dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Drs. Mitra Winata dan Rekan berkaitan dengan pelaksanaan audit atas laporan keuangan PT. Muzatek Jaya. Perusahaan yang bergerak pada sektor properti dan berkedudukan di Jakarta ini menggunakan jasa Akuntan Publik Mitra Winata sejak tahun 2001. Pelanggaran ini berkaitan dengan pelaksanaan audit atas laporan keuangan PT. Muzatek Jaya tahun buku berakhir 31 Desember 2004 dan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit umum dengan melakukan audit umum atas laporan keuangan PT. Muzatek Jaya, PT. Luhur Artha Kencana dan Apartemen Nunsa Hijau sejak tahun buku 2001 sampai 2004.
Akuntan Publik Petrus Mitra Winata dibekukan izinnya selama dua tahun terhitung sejak 15 Maret 2007. Selama izinnya dibekukan, AP Petrus Mitra Winata dilarang memberikan jasa atestasi termasuk audit umum, review, kinerja dan khusus. Selain itu dilarang memberikan jasa non atestasi yang mencakup kegiatan jasa konsetasi, jasa kompilasi, jasa perpajakan dan jasa-jasa yang berhubungan dengan akuntansi dan keuangan. Yang bersangkutan juga dilarang menjadi pemimpin rekan atau pemimpin cabang KAP, namun dia tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa yang telah diberikan, serta wajib memenuhi ketentuan mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL).
Sesuai dengan Keputusan Mentri Keuangan Nomor 359/KMK.06/2003 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik Pasal 48 Ayat 4, pelanggaran yang dilakukan oleh AP Petrus Mitra Winata termasuk pelanggaran berat karena memenuhi kriteria:
1. Pelanggaran terhadap ketentun Pasal 24 dalam penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 yang berpotensi berpengaruh terhadap laporan auditor independen dan atau hasil dalam bentuk lainnya dari penugasan yang bersangkutan;
2. Memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) huruf a;
3. pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan atau ayat (7) atau Pasal 59 ayat (5) dan atau ayat (6); atau
4. pelanggaran yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) dan atau Pasal 55 ayat (1) huruf b.
Kriteria yang dimaksud dalam Pasal 48 ayat 4 tecantum dalam Pasal 24 dimana disebutkan bahwa:
1. Dalam memberikan jasanya, Akuntan Publik dan KAP wajib mematuhi :
a. Standar profesional akuntan publik yang ditetapkan oleh IAI;
b. Kode etik IAI dan aturan etika akuntan IAI-Kompartemen Akuntan Publik; dan
c. Peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berhubungan dengan bidang jasa yang diberikan.
2. Akuntan Publik dan KAP dalam melaksanakan penugasan Audit Kinerja wajib mematuhi standar Audit Kinerja yang disepakati antara Akuntan Publik dan KAP dengan pemberi kerja.
Dan dalam Pasal 6 yang menyebutkan bahwa:
1. Bidang jasa Akuntan Publik dan KAP adalah Atestasi, termasuk audit umum dan review atas laporan keuangan sebagaimana tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik, dan Audit Kinerja serta Audit Khusus.
2. Akuntan Publik dan KAP dapat memberikan jasa dalam bidang non Atestasi, setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Jasa dalam bidang non Atestasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mencakup kegiatan seperti jasa konsultansi, jasa kompilasi, jasa perpajakan, dan jasa-jasa yang berhubungan dengan akuntansi dan keuangan.
4. Pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh KAP paling lama untuk 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik paling lama untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut.
5. Dalam hal KAP yang telah menyelenggarakan audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas melakukan perubahan komposisi Akuntan Publiknya, maka terhadap KAP tersebut tetap diberlakukan ketentuan ayat (4).
6. Dalam Hal KAP melakukan perubahan kompisisi Akuntan Publik yang mengakibatkan jumlah Akuntan Publiknya 50% (lima puluh perseratus) atau lebih berasal dari KAP yang telah menyelenggarakan audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas maka terhadap KAP tersebut diberlakukan sebagai kelanjutan KAP asal Akuntan Publik yang bersangkutan dan tetap diberlakukan pembatasan penyelenggaraan audit umum atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
7. Dalam hal pendirian atau perubahan nama KAP yang komposisi Akuntan Publinya 50% (lima puluh per seratus) atau lebih berasal dari KAP yang btelah menyelenggarakan audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas maka terhadap KAP tersebut diberlakukan dan tetap diberlakukan pembatasan penyelenggaraan audit umum atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).”
Serta Pasal 59 ayat 6 ”Akuntan Publik yang telah memberikan jasa audit umum untuk 3 (tiga) tahun buku berturut-turut atau lebih dan masih mempunyai perikatan audit umum untuk tahun buku berikutnya atas laporan keuangan dari suatu entitas pada saat berlakunya Keputusan Menteri Keuangan ini, hanya dapat melaksanakan perikatan dimaksud untuk 1 (satu) tahun buku berikutnya.”
KESIMPULAN
Karena setiap 3 tahun AP harus di rotasi, seharusnya AP melepaskan diri dari perikatan setelah tahun ketiga dan dapat digantikan oleh AP yang lain walaupun dalam KAP yang sama. Untuk tiap KAP di berikan waktu 5 tahun untuk mengaudit perusahaan yang sama. Ini dilakukan untuk menjaga kompetensi dan independensi auditor dimana dua hal ini menentukan kualitas audit. Good quality audits require both competence (expertise) and independence. These qualities have direct effects on actual audit quality, as well as potential interactive effects. In addition, financial statement users’ perception of audit quality are a function of their perceptions of both auditor indepndence and expertise.(AAA Financial Accounting Standard Committee 2000).
Kompetensi berkaitan dengan pendidikan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam bidang auditing dan akuntansi. Dalam melaksanakan audit, akuntan publik harus bertindak sebagai seorang yang ahli di bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya diperluas melalui pengalaman dalam praktik audit. Selain itu, akuntan publik harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Asisten yunior untuk mencapai kompetensinya harus memperoleh pengalaman profesionalnya dengan mendapatkan supervisi memadai dan riview atas pekerjaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman. Akuntan publik harus secara terus menerus mengikuti perkembangan yang terjadi dalam bisnis dan profesinya. Akuntan publik harus mempelajari, memahami dan menerapkan ketentuan-ketentuan baru dalam prinsip akuntansi dan standar auditing yang ditetapkan oleh organisasi profesi.
Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Independen berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaan untuk kepentingan umum. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak kepentingan siapapun. Auditor berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik. Sikap mental independen tersebut meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in appearance). Tudingan pelanggaran independen dalam penampilan sering terjadi. Setidaknya terdapat dua hal penyebab pelanggaran ini yaitu: pertama, kantor akuntan publik melakukan multi service pada klien yang sama dan kedua, tidak ada batasan lamanya kantor akuntan publik yang sama melakukan audit pada klien yang sama.
Penelitian tentang independensi memberikan refleksi, bahwa dalam mengambil keputusan di bidang auditnya, akuntan publik dipengaruhi oleh dorongan untuk mempertahankan klien auditnya. Tetapi disisi lain hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa kekuatan yang bisa meredakan pengaruh dorongan untuk mempertahankan klien. Kekuatan tersebut antara lain peraturan atau perundangundangan tentang pergantian akuntan publik, ketakutan akuntan publik karena akan kehilangan reputasi jika berlaku tidak independen, institusi yang ada di dalam kantor akuntan publik seperti peer review serta kekuatan. stakeholder di perusahaan seperti audit committee yang bisa mengimbangi kekuatan akuntan publik dalam melakukan tugas auditnya. Hasil penelitian tersebut juga memberikan bukti bahwa pemisahan staf audit dari staf yang melakukan consulting service dirasakan oleh pemakai laporan akan meningkatkan independensi akuntan publik. Tetapi di sisi lain beberapa bukti penelitian menyatakan bahwa pemakai laporan percaya jumlah consulting service yang besar akan menurunkan independensi auditor. Hasil penelitian juga memberikan dukungan pendapat bahwa independensi terkait dengan kualitas mutu pribadi akuntan publik, bukan kantor akuntan publik sebagai suatu organisasi. Independensi melekat pada diri pribadi akuntan publik. Pengaruh budaya masyarakat atau organisasi terhadap pribadi akuntan publik akan mempengaruhi sikap independensinya. Hasil survey menunjukkan bahwa masyarakat sedang mempertanyakan independensi akuntan publik karena adanya perangkapan fungsi akuntan publik, sebagai pemberi jasa auditing dan non audit.
Pelanggaran terhadap kode etik akan selalu terjadi apabila tidak ada kesadaran dari tiap individu untuk menaati kode etik yang berlaku. Mungkin juga dibutuhkan sanksi yang lebih keras agar tidak terjadi lagi pelanggaran yang pada akhirnya akan menurunkan kredibilitas akuntan.
Nama: Mochamad Novelsyah
ReplyDeleteNIM: C4C009006
Kasus: Auditor Internal Bea Cukai dan PT Katsushiro Indonesia
Kasus Suap Auditor Internal Bea Cukai
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) berhasil mengungkap kasus penyuapan sebesar Rp. 650 juta yang dilakukan oleh manajemen PT Katsushiro kepada oknum auditor internal Dirjen Bea & Cukai, pada pertengahan tahun 2008 melalui inspeksi mendadak tim KPK dan Bidang Kepatutan Internal Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai (BC). Sebenarnya tindakan penyuapan terjadi pada bulan April 2004, oleh manajemen PT Katsushiro kepada oknum Auditor Internal Bea Cukai (Bambang Sutrisno, Hendry Effendi, dan Adhi Yulianto).
PT Katsushiro Indonesia merupakan perusahaan penanaman modal asing yang bergerak dalam impor baja. Sesuai dengan ketentuan, setiap impor barang harus membayar bea dan cukai. Perusahaan ini mengalami penundaan pembayaran bea dan cukai karena nilai cukai memerlukan perhitungan terlebih dulu dari pihak Bea dan Cukai, sehingga terjadi penumpukan tagihan.
Kronologis
Bea dan Cukai mengirimkan tim auditor (Bambang Sutrisno, Hendry Effendi, dan Adhi Yulianto) ke PT Katsushiro Indonesia di Cikarang Bekasi pada Oktober 2003. Tiga auditor Bea dan Cukai bermaksud mengaudit kewajiban bea dan cukai perusahaan tersebut untuk periode impor dari 1 Januari 2002 sampai 31 Desember 2003. Selama proses audit berlangsung, tiga auditor didampingi karyawan bagian keuangan dan audit internal PT Katsushiro Indonesia (Wayan Sudiartha, Hamid Astho, Bhakti Wiwoho, dan Ninik Saptorini).
Hasil audit pada bulan April 2004 menyatakan bahwa PT Katsushiro memiliki kewajiban untuk melunasi cukai sebanyak Rp 1,7 miliar. Auditor Hendry Effendi memberitahukan hal ini kepada perusahaan tersebut. Manajemen perusahaan menegosiasi agar besaran cukai yang belum terbayar dikurangi. Sang auditor menyanggupi, sampai akhirnya nilai cukai diturunkan dari Rp 1,7 miliar menjadi Rp 9,7 juta sebagaimana diuraikan dalam laporan hasil audit PT Katsushiro Indonesia per 17 Mei 2004.
Hasil pertemuan antara tim auditor dengan Budi Setyo selaku Direktur Administrasi PT Katshusiro, yaitu bahwa tim auditor bisa mengubah angka Rp.1,7 miliar menjadi angka kecil. Namun tim Auditor meminta imbalan Rp. 650 juta. Para auditor menerima kompensasi dari PT Katsushiro Indonesia sebesar Rp. 650 juta melalui traveller`s cheque yang diserahkan oleh Wayan Sudiarta kepada Hendry Effendi. Auditor Hendry menerima uang tersebut dengan membuka rekening fiktif di BCA Bandung dengan KTP palsu atas nama Agus Koswara.
Nama: Mochamad Novelsyah
ReplyDeleteNIM: C4C009006
Pengungkapan Tanggung jawab Sosial (Corporate Social Responsibility)
Bagian dari Bisnis yang Beretika
oleh Mochamad Novelsyah
I. PENDAHULUAN
Konsep manajemen strategis berbasis Corporate Social Responsibility (CSR) semakin dikenal oleh para praktisi, akademisi, dan publik. Isu CSR menjadi dominan beberapa tahun ke belakang karena publik semakin peka dan kritis untuk mempertanyakan peran perusahaan dalam mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik.
Pemikiran yang melandasi Corporate Social Responsibility (Tanggung Jawab Sosial Perusahaan) yang sering dianggap inti dari etika bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban-kewajiban ekonomi dan legal (artinya kepada pemengang saham atau shareholder) tetapi juga kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholder) yang jangkauannya melebihi kewajiban-kewajiban di atas. Tanggung jawab sosial dari perusahaan terjadi antara sebuah perusahaan dengan semua stakeholder, termasuk di dalamnya adalah pelanggan atau customer, pegawai, komunitas, pemilik atau investor, pemerintah, supplier bahkan juga competitor (Nurlela dan Islahudin, 2008).
Pergeseran nilai perusahaan semakin dirasakan dengan adanya CSR, dari yang sebelumnya perusahaan hanya berorientasi pada kepentingan pemilik saham (maksimalisasi laba), menjadi perusahaan yang berorientasi pada kepentingan stakeholder. Secara teori, pergeseran ini memungkinkan terjadi.
Akuntansi menyebutkan bahwa ada 4 teori ekuitas, yang terdiri atas proprietorship theory, entity theory, enterprise theory, dan fund theory. Pertama, proprietorship theory memandang bahwa pemilik perusahaan sekaligus yang menjalankan operasional perusahaan, hal ini sesuai dengan karakter perusahaan perorangan. Kedua, entity theory menjelaskan bahwa dalam perusahaan terdiri atas entitas-entitas yang berbeda yaitu pengelola/manajemen (agent) dengan pemilik/pemegang saham (principal). Ketiga enterprise theory, teori ini yang lebih sesuai dengan penerapan CSR karena teori ini melihat perusahaan sebagai entitas yang memiliki pengaruh kepada semua pihak yang berkepentingan. Jadi setiap tindakan yang diambil perusahaan sebisa mungkin memberi implikasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Keempat, fund theory penerapan teori ini sering dikaitkan sistem keuangan pemerintah pusat dan daerah yang menggunakan dana sebagai ekuitas pada Neraca APBN dan APBD.
Definisi Corporate Social Responsibility (CSR)
CSR atau tanggung jawab sosial yaitu merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan (Hackston dan Milne, 1996). Jadi dalam hal ini, tanggung jawab perusahaan bertambah semakin luas, selain memperoleh profit untuk kepentingan investor dan kreditur. Perusahaan juga memiliki tanggung jawab untuk memberi implikasi positif bagi lingkungan masyarakat. Tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri dapat digambarkan sebagai ketersediaan informasi keuangan dan non-keuangan berkaitan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Unsur tanggung jawab dan memberikan implikasi positif bagi stakeholder merupakan bagian dari praktik bisnis yang beretika, karena perusahaan tidak hanya mengeksploitasi sumber daya melainkan juga memberikan sumbangsih bagi perbaikan masyarakat dan lingkungan dalam koridor pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sambutan positif diberikan pemerintah Indonesia karena pada tanggal 20 Juli 2007 ditetapkannnya UU Penerapan CSR bagi perusahaan melalui Peraturan Pemerintah (PP). Adanya peraturan ini disambut pro-kontra, pihak kontra menyatakan bahwa penerapan CSR hanya akan menambah biaya operasional, tapi mau tidak mau harus dilakukan jika tidak ingin kena sanksi. Sedangkan pihak pro, menjelaskan bahwa memang sudah seharusnya perusahaan melakukan CSR sebagai kewajiban tanpa harus dibuatkan peraturan, seperti halnya yang terjadi di luar negeri. Hal ini memperlihatkan bahwa ada beberapa komunitas bisnis Indonesia yang masih belum yakin bahwa aktivitas CSR akan memberikan dampak positif bagi tujuan perusahaan secara utuh.
Sebenarnya tindakan CSR bisa digunakan sebagai kendaraan untuk memasarkan produk. Sebagai contohnya Unilever yang mengadakan gerakan Cuci Tangan bagi siswa-siswa Sekolah Dasar di beberapa kota, secara tidak langsung membawa brand Lifebuoy dalam kegiatan tersebut.
Selain sebagai instrumen pemasaran, CSR juga dapat berperan sebagai media pencitraan positif terhadap perusahaan. Bagi perusahaan rokok seperti Djarum dan Sampoerna, image sebagai biang pengganggu kesehatan masyarakat tidak dapat dielakkan. Namun dengan kegiatan beasiswa yang diberikan oleh Djarum, dan Sampoerna yang merintis scholarship foundation, maka seolah ada keseimbangan antara evil side dengan angel side. Itulah upaya perbaikan citra yang ingin dicapai.
II. PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan CSR
Dunia bisnis pastinya sangat peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungan sekitar. Siapa yang tanggap, maka akan mendapat keuntungan atas perubahan tersebut. CSR sebagai salah satu metode manajemen strategis juga merupakan hasil dari perubahan lingkungan bisnis. Oleh karena itu, CSR tidak lepas dari variabel-variabel yang mempengaruhinya.
Beberapa penelitian menyebutkan faktor-faktor yang diduga mempengaruhi pengungkapan atas penerapan tanggung jawab sosial diantaranya; ukuran (size), profitabilitas, profile, ukuran dewan komisaris, leverage (Sembiring, 2005). Anggraini (2006) juga menduga bahwa faktor-faktor kepemilikan manajemen, financial leverage, biaya politis karena ukuran (size), dan tingkat profitabilitas berpengaruh terhadap pengungkapan informasi sosial yang dalam hal ini adalah CSR.
1. Ukuran (size) perusahaan
Perusahaan yang besar cenderung mempunyai biaya politis yang besar dibandingkan perusahaan kecil. Perusahaan besar cenderung akan memberikan informasi laba sekarang lebih rendah dibandingkan perusahaan kecil, sehingga perusahaan besar cenderung akan mengeluarkan biaya untuk pengungkapan informasi sosial yang lebih besar dibandingkan perusahaan kecil. Perusahaan yang termasuk dalam industri yang high-profile akan memberikan informasi sosial lebih banyak dibandingkan perusahaan yang low-profile. Roberts (1992) dalam Hackston & Milne (1996) mendefinisikan industri yang high-profile adalah industri yang memiliki visibilitas konsumen, risiko politis yang tinggi, atau menghadapi persaingan yang tinggi.
2. Profitabilitas
Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham. Dengan kepeduliannya terhadap masyarakat (sosial) menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan menjadi profitable.
3. Financial leverage
Semakin tinggi tingkat leverage (rasio utang/ekuitas), maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih. Ini sebagai konsekuensi, bahwa tingginya leverage membuat perusahaan lebih mengutamakan kepentingan kreditur. Supaya laba yang dilaporkan tinggi maka manajer harus mengurangi biaya-biaya (termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi sosial).
4. Ukuran Dewan Komisaris
Dewan komisaris merupakan institusi yang memiliki kewenangan untuk pengawasan terhadap manajemen. Maka diduga semakin besar jumlah anggota dewan komisaris, maka akan semakin mudah untuk mengendalikan CEO dan monitoring yang dilakukan akan semakin efektif. Dikaitkan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial, maka tekanan terhadap manajemen juga akan semakin besar untuk mengungkapkannya.
5. Struktur Kepemilikan
Agency theory membawa pada 2 arus besar kepentingan yaitu kepentingan manajerial (manajemen) dan pemilik (shareholder). Konflik kepentingan menjadi semakin besar ketika struktur kepemilikan manajer terhadap perusahaan semakin kecil. Dalam hal ini manajer akan berusaha untuk memaksimalkan kepentingan dirinya dibandingkan kepentingan perusahaan. Sebaliknya semakin besar kepemilikan manajer di dalam perusahaan maka semakin produktif tindakan manajer dalam memaksimalkan nilai perusahaan, dengan kata lain biaya kontrak dan pengawasan menjadi rendah karena ada rasa memiliki (sense of belonging) dari pihak manajerial. Manajemen perusahaan akan berupaya mengungkapkan informasi sosial dalam rangka untuk meningkatkan image perusahaan, meskipun ia harus mengalokasikan sumber daya untuk aktivitas tersebut.
B. Bagaimana peran CSR dalam memberikan Benefit bagi Perusahaan
Setelah membahas faktor-faktor yang mempengaruhi adanya pengungkapan tanggung jawab sosial. Pertanyaan selanjutnya yaitu, bagaimana pengungkapan informasi atas pelaksanaan tanggung jawab sosial (CSR) memberi kontribusi atau benefit bagi perusahaan..
Kontribusi dalam konteks perbaikan merupakan perubahan nilai perusahaan ke arah yang lebih baik. Nurlela dan Islahudin (2008) melalui penelitiannya mencoba menjelaskan pengaruh tanggung jawab sosial terhadap nilai perusahaan.
Nilai perusahaan dalam penelitian ini didefinisikan sebagai nilai pasar. Firm value (nilai perusahaan) merupakan konsep penting bagi investor, karena merupakan indikator bagi pasar menilai perusahaan secara keseluruhan. Dengan kata lain, nilai perusahaan yaitu potensi nilai yang akan dibeli oleh investor. Untuk memiliki nilai yang tinggi sebuah perusahaan sudah sepatutnya memiliki track record kinerja yang jelas.
Dugaan peneliti melalui hipotesanya bahwa CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan ternyata belum terbukti, hal ini karena tidak ada signifikansi pengaruh CSR terhadap nilai perusahaan. Kemungkinan penolakan hipotesa tersebut karena indikator nilai perusahaan adalah nilai ekuitas yang merupakan representasi dari historical result, sehingga nilai perusahaan dalam waktu mendatang belum dapat diketahui.
III. KESIMPULAN
Kondisi keuangan bukan satu-satunya indikator yang dapat merefleksikan kinerja perusahaan, apalagi bila kita melihat profitabilitas sebagai hasil catatan masa lalu. Ada indikator yang dapat merefleksikan nilai perusahaan pada kondisi yang akan datang yang tidak dapat diukur secara nominal, seperti brand image, loyalitas customer, simpati publik, dan sebagainya.
Indikator non-moneter tersebut bisa diperoleh dengan cara membangun kredibilitas perusahaan melalui bisnis yang beretika. CSR sebagai implementasi bisnis yang beretika diharapkan membawa kepentingan semua pihak untuk keberlanjutan akan masa depan. Hasil benih kebaikan tidak selalu diperoleh pada saat sekarang, namun pasti akan membawa manfaat dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Retno Reni. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan Informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-Perusahaan yang terdaftar Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang.
Hackston, David and Milne, Marcus J., (1996). “Some Determinants Of Social And Environmental Disclosures In New Zealand Companies”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol. 9, No. 1, pp. 77-10.
Nurlela, Rika dan Islahudin. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Prosentase Kepemilikan Manajemen Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi 11 Pontianak.
Sembiring, Edy Rismanda. 2005. Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial: Study Empiris pada Perusahaan yang Tercatat di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi 8 Solo.
NAMA : AGUSTIN
ReplyDeleteNIM : P2CD008018
PEMBAHASAN
PT. INDOFARMA merupakan pabrik obat yang didirikan pada tahun 1918 dengan nama Pabrik Obat Manggarai. Pada tahun 1950, Pabrik Obat Manggarai ini diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dan dikelola oleh Departemen Kesehatan. Pada tahun 1979, nama pabrik obat ini diubah menjadi Pusat Produksi Farmasi Departemen Kesehatan. Kemudian, berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) No. 20 tahun 1981, Pemerintah menetapkan Pusat Produksi Farmasi Departemen Kesehatan menjadi Perusahaan Umum Indonesia Farma (Perum Indofarma). Selanjutnya pada tahun 1996, status badan hukum Perum Indofarma diubah menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berdasarkan PP No. 34 tahun 1995.
Kasus PT indofarma terjadi saat BAPEPAM menemukan indikasi adanya penyembunyian informasi penting menyangkut kerugian selama dua tahun berturut-turut yang diderita PT Indofarma Tbk. Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam Abraham Bastari mengatakan, temuan ini terungkap setelah institusinya memanggil sejumlah pihak, termasuk Direksi dan mantan Direksi Indofarma. Pihak lain yang turut diperiksa, yaitu jajaran manajemen PT Indofarma Global Medika--anak perusahaan Indofarma. Manajemen IGM juga ikut diperikas. Selain itu, Bepapam juga telah memeriksa kantor akuntan publik Hadori dan Rekan dengan Hadori Yunus sebagai auditornya yang telah mengaudit laporan keuangan Indofarma 2003
Dari hasil penelitian, juga ditemukan bukti-bukti di antaranya, nilai Barang Dalam Proses dinilai lebih tinggi dai nilai yang seharusnya (overstated) dalam penyajian nilai persediaan barang dalam proses pada tahun buku 2001 sebesar Rp 28,87 miliar. Akibatnya harga Pokok Penjualan mengalami understated dan laba bersih mengalami overstated dengan nilai yang sama. Bapepam menilai ada ketidaksesuaian penyampaian laporan keuangan dengan pasal 69 UU Pasar Modal, angka 2 huruf a Peraturan Bapepam Nomor VIII.G.7, Pedoman Standar Akuntan Publik. Dan selanjutnya sanksi administrasi itu diberikan berdasarkan pasal 5 huruf n UU No 8 tahun 1995 tentang pasar modal jo Pasal 64 Peraturan Pemerintah No 12 tahun 2004 tentang penyelenggaraan kegiatan di pasar modal.
Kasus ini hampir sama dengan kasus yang dialami oleh PT KAI hanya saja status PT Indofarma adalah emiten atau perusahaan publik dimana sahamnya tercatat di bursa saham. Bila status sebagai perusahaan publik tetap melekat hampir dapat dipastikan, manajemen BUMN tersebut tak dapat berfungsi efektif. Hal ini bisa terjadi karena hampir setiap saat Biro Pemeriksaan dan Penyidikan dan biro-biro lain di Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) yang terkait selalu melakukan pemeriksaan kasus. Ini artinya jajaran direksi yang kebetulan bertanggung jawab harus selalu siap siaga setiap saat.
Kerugian yang dialami BUMN farmasi PT (Persero) Indofarma Tbk cukup mengagetkan berbagai pihak. Sebab, selama sembilan bulan dalam 2002 lalu kinerja dan citra Indofarma cukup bagus. Meraih peningkatan laba yang cukup signifikan selama periode tersebut dimana
pada setiap laporan keuangan triwulannya, tidak pernah mengalami masalah. Karena selama periode itu, Indofarma selalu mencatatkan untung, dan mengalami pertumbuhan penjualan.
Tidak heran kalau para analis dan pelaku pasar terheran-heran, ketika produsen farmasi ini dikhabarkan rugi sebesar Rp 20 miliar. Karena, berdasarkan perhitungan para analis, dengan mempertimbangkan kenaikan harga, seperti Bahan Bakar Minyak, tarif dasar telepon dan listrik serta pencabutan subsidi, Indofarma diprediksikan tetap akan untung, meskipun akumulasinya akan mengalami penurunan pada 2002. Berdasarkan pertimbangan tersebut, analis dari perusahaan sekuritas asing memprediksi emiten ini masih akan membukukan laba sebesar Rp 113 miliar, pada akhir 2002, atau turun dibandingkan dengan periode sama tahun 2001 sebesar Rp 122,5 miliar. ”Loss Rp 20 miliar itu sangat signifikan bagi Indofarma, karena selama tiga kuartal sebelumnya sudah membukukan laba Rp 89 miliar. Kalau kuartal III-nya yang loss, bisa dipahami, tapi tidak mungkin menekan profit sampai minus Rp 20 miliar,” ungkap seorang analis. Bahkan pada paparan publik perusahaan saat pertama kali mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta (BEJ), Indofarma, mentargetkan laba bersih tahun 2002 sebesar Rp 113 miliar. Sedangkan penjualan yang ditargetkan sebesar Rp 700 miliar. ”Dalam 9 bulan kinerja keuangannya, Indofarma selalu untung. Tapi mengapa tiba-tiba dikhabarkan rugi, pasti ada sesuatu di internal yang tidak beres, seperti halnya kasus Kimia Farma,” ungkap analis tersebut. Dari kinerja per triwulan, memang tidak menunjukkan ada masalah. Pada kuartal I tercatat emiten berkode INAF ini membukukan laba bersih sebelum diaudit sebesar Rp 16 miliar. Sedangkan pada kuartal II laba kembali meningkat sebesar Rp 29,5 miliar dan pada kuartal II sebesar Rp 43 miliar.
Kasus ini berawal pada tahun 1999 yang mengindikasikan adanya persedian barang yang seharusnya dijual tapi tidak laku-laku. Padahal nilainya sangat besar. Direktur Utama PT Indofarma, Edy Pramono juga mengemukakan, pada laporan keuangan Indofarma terjadi kesalahan akuntan dalam implementasi sistem teknologi informasinya. Kesalahan tersebut baru diketahui, sehingga menyebabkan kerugian yang signifikan terhadap perusahaan. Menurut dia, kesalahan itu berawal pada proses pencatatan persediaan anak perusahaan Indofarma yakni PT Indofarma Global Medika, yang bergerak di bidang distribusi bahan baku dan obat jadi. Akibat kesalahan tersebut, beban pokok penjualan Indofarma pada tiga kuartal I sampai III sebelumnya harus diakumulasikan ke laporan akhir 2002. dan penggunaan teknologi informasi baru dalam pencatatan persediaan anak usaha menyebabkan timbulnya kesalahan dalam laporan keuangan tersebut. Akibat dari kesalahan laporan keuangan tersebut, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas, melalui Menneg BUMN, Laksamana Sukardi memutuskan menunda divestasi Indofarma.
Dalam kasus tersebut Bapepam akhirnya mendenda mantan Direksi Indofarma sebesar Rp 500 Juta. Bapepam memutuskan memberi sanksi administrative berupa denda sebesar Rp 500 juta kepada direksi PT Indofarma Tbk yang menjabat pada periode terbitnya laporan keuangan tahun 2001. Selain itu kepada Direksi PT Indofarma juga diperintahkan 3 hal.
Pertama, segera membenahi dan menyusun sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan yang memadai untuk menghindari timbulnya permasalahan yang sama di kemudian hari.
Kedua, menyampaikan laporan perkembangan atas pembenahan dan penyusunan sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perseroan secara berkala setiap akhir bulan kepada Bapepam.
Dan ketiga, menunjukan akuntan publik yang terdaftar di Bapepam untuk melakukan audit khusus untuk melakukan penilaian atas sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi bula perseroan telah selesai melakukan pembenahan dan penyusuan sistem pengendalian internal dan sistem akuntansi perusahaan.
Dalam pelaporan hasil audit KAP yang ditunjuk oleh PT Indofarma kurang memberikan informasi yang kurang jelas mengenai kondisi keuangan PT indofarma dimana kemungkinan telah terjadi kongkalikong antara KAP yang mengaudit laporan keuangan tahun 2002 dan 2003 dimana KAP yang mengaudit tidak dapat memberikan suatu opini terhadap suatu laporan tanda persetujuan direksi. Jika dilihat dari sini maka KAP yang mengaudit tidak bersifat independent.
Kasus Mulyana W Kusuma dalam kaitannya dengan etika bisnis.
ReplyDeleteMemenuhi Tugas mata kuliah etika bisnis
Enie Kussetiyaningsih
NIM.P2C0D008002
Latar Belakang Kasus
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan agen dari sebuah penyelenggaraan pemilu. Pemilu adalah puncak dari kehidupan berbangsa dan bernegara.Selanjutnya,berbagai macam kasus atau kecurangan dalam pemilu juga dapat dilihat dengan adanya penggelembungan DPT, tertukarnya surat suara, adanya TPS fiktif, segel kotak suara yang rusak dan sebagainya. Diantara kasus yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) adalah kasus Mulyana W Kusuma yang pada bulan April 2005 telah menjadi perhatian publik, anggota KPU ini diduga melakukan tindakan usaha penyuapan terhadap auditor Badan Pemeriksaan Keuangan ( BPK ).
Penangkapan yang dilakukan oleh KPK terhadap Sdr. Mulyana W. Kusuma dilakukan setelah melalui serangkaian penyelidikan selama satu bulan setelah menerima laporan masyarakat dan informasi-informasi dari berbagai sumber tentang adanya upaya penyuapan kepada seorang pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang sedang melakukan audit investigatif Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait dengan adanya laporan masyarakat tentang dugaan adanya tindak pidana korupsi di KPU, dengan kronologi sebagai berikut:
Minggu, 3 April 2005, Sdr. Mulyana W. Kusuma bertemu dengan pegawai BPK di Hotel Ibis, Slipi Jakarta, kamar 709, dan menyerahkan uang sebesar Rp150 juta, dan menyatakan akan ada pertemuan lanjutan.
Berdasarkan informasi tersebut dan setelah memperoleh data-data dan bukti permulaan yang cukup, akurat, dan diperoleh secara sah, KPK melakukan penangkapan terhadap Sdr. Mulyana W. Kusuma pada hari Jumat tanggal 8 April 2005 sekitar pukul 20.30 di Hotel Ibis karena tertangkap tangan memberikan uang kepada Auditor (PNS) BPK tersebut.
Pada hari Sabtu tanggal 9 April 2005, KPK telah menetapkan Sdr. Mulyana W. Kusuma sebagai Tersangka karena telah memberikan uang kepada Pegawai Negeri untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban Pegawai Negeri tersebut sebagaimana dimaksud pasal 5 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK juga menindaklanjuti dengan mengeluarkan Surat Perintah Penahanan terhadap Sdr. Mulyana W. Kusuma tertanggal 9 April 2005 dan menahan yang bersangkutan di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta.
Bahwa upaya yang dilakukan KPK semata-mata dalam kaitan pelaksanaan tugasnya untuk memberantas korupsi. KPK akan terus melaksanakan tugasnya secara independen, profesional dan mengedepankan hukum (due process of law).
Ditinjau dari setting teori keagenan (agency theory), ada tiga pihak utama yang terlibat dalam kasus ini, yaitu
(1) Klien atau pihak yang memberikan kerja berperan sebagai principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
(2) pihak yang menerima kerja untuk menjalankan tugas berperan sebagai agen, dalam hal adalah KPU, dan
(3) pihak independen, yaitu auditor (BPK)Badan Pemeriksa Keuangan, yang perannya diharapkan sebagai pihak yang mematuhi prinsip-prinsip fundamental yaitu sebagai pihak yang independen, berintegritas yang tinggi, memiliki keobjektivitasan dan profesional, untuk meyakinkan kepada dua pihak sebelumnya, yaitu pemerintah dan DPR sebagai pihak yang memberikan kerja, dan KPU sebagai penerima kerja.
Pemberi kerja mendelegasikan wewenang dengan ketentuan-ketentuan tertentu, dan KPU telah menjalankan tugasnya sesuai dengan fakta-fakta empiris.
Berdasar keterangan kasus di atas, maka muncullah sebuah pertanyaan,Apakah ketiga pihak tersebut sudah etiskah dalam mengambil suatu keputusan? Disini akan dicoba untuk menganalisa dan menyimpulkannya dalam kaitannya dengan etika bisnis.
Ditinjau dari Segi Etika
Untuk menyesuaikan tujuan bisnis / kegiatan, Kami percaya pada Kejujuran, Kegiatan-kegiatan Etika, Integritas dan Keterbukaan menjadi kekuatan bagi kredibilitas dan reputasi demi kelanjutan Kesuksesan. Perusahaan / pemerintahan berkomitmen untuk menyesuaikan dan akan terus mengenalkan Prinsip-prinsip dan Nilai dengan Kebudayaan Perusahaan sebagai acuan dalam membangun Hubungan dengan Shareholder, Pelanggan, Pegawai, dan Komunitas.
Prinsip-prinsip tersebut adalah :
Kesungguhan dalam Kesepakatan Bisnis;
Bertanggung jawab terhadap Pelanggan, Lingkungan dan Masyarakat;
Ramah-tamah dengan sesama Manusia;
Tidak Berlebihan dalam Kesepakatan Bisnis;
Perlakuan yang sama kepada semua pelanggan; dan
Semangat dalam membangun Bisnis.
Sebagaimana dinyatakan Socrates bahwa yang dimaksud dengan tindakan etis adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai moral dan kebenaran. Benar dari sisi aturan, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan yang ingin dicapai.
Dalam praktik hidup sehari-hari, teoritisi di bidang etika menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, ada dua pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatan deontologi dan pendekatan teologi. Pada pendekatan deontologi, perhatian ditekankan pada perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana orang melakukan usaha atau niatnya dengan sebaik-baiknya dan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran untuk mencapai tujuannya / menentukan motivasi dan watak dari orangnya. Sebaliknya, pada pendekatan teleologi, perhatian ditekankan pada perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya, dengan kurang memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun prosedur yang dilakukan benar atau salah atau tergantung pada situasi.
Dari teori etika, profesi pemeriksa (auditor), apakah auditor keuangan publik seperti kasus keuangan KPU maupun auditor keuangan swasta, seperti pada keuangan perusahaan-perusahaan, baik yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta maupun tidak, diatur dalam sebuah aturan yang disebut sebagai kode etik profesi akuntan.
Dalam kode etik profesi akuntan ini diatur berbagai masalah, baik masalah prinsip yang harus melekat pada diri auditor, maupun standar teknis pemeriksaan yang juga harus diikuti oleh auditor, juga bagaimana ketiga pihak melakukan komunikasi atau interaksi. Dinyatakan dalam kode etik yang berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga, menjunjung, dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas, seperti bertanggungjawab (responsibilities), berintegritas (integrity), bertindak secara objektif (objectivity) dan menjaga independensinya terhadap kepentingan berbagai pihak (independence), dan hati-hati dalam menjalankan profesi (due care). Dalam konteks kode etik profesi akuntan inilah, kasus Mulyana W Kusumah bisa dianalisis, apakah tindakan mereka (ketiga pihak), melanggar etika atau tidak.
Tindakan Auditor BPK sebagai pihak yang independen
Dalam konteks kasus Mulyana W Kusumah, kesimpulan yang bisa dinyatakan adalah bahwa tindakan kedua belah pihak, pihak ketiga (auditor), maupun pihak penerima kerja, yaitu KPU, sama-sama tidak etis. Tidak etis seorang auditor melakukan komunikasi kepada pihak yang diperiksa atau pihak penerima kerja dengan mendasarkan pada imbalan sejumlah uang sebagaimana terjadi pada kasus Mulyana W Kusumah, walaupun dengan tujuan 'mulia', yaitu untuk mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi di tubuh KPU.
Tujuan yang benar, etis, dan moralis, yakni untuk mengungkapkan kemungkinan adanya kerugian yang diterima oleh pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK, harus dilakukan dengan cara-cara, teknik, dan prosedur profesi yang menjaga, menjunjung, menjalankan dan mendasarkan pada etika profesi.
Dari sudut pandang etika profesi, auditor tampak tidak bertanggungjawab, yaitu dengan menggunakan jebakan imbalan uang untuk menjalankan profesinya. Auditor juga tidak punya integritas ketika dalam benaknya sudah ada pemihakan pada salah satu pihak, yaitu pemberi kerja dengan berkesimpulan bahwa telah terjadi korupsi. Dari sisi independensi dan objektivitas, auditor BPK sangat pantas diragukan. Berdasar pada prinsip hati-hati, auditor BPK telah secara serampangan menjalankan profesinya.
Apa yang harus dilakukan auditor BPK adalah bahwa dengan standar teknik dan prosedur pemeriksaan, auditor BPK harus bisa secara cermat, objektif, dan benar mengungkapkan bagaimana aliran dana tersebut masuk ke KPU dan bagaimana dana tersebut dikeluarkan atau dibelanjakan. Dengan teknik dan prosedur yang juga telah diatur dalam profesi akuntan, pasti akan terungkap hal-hal negatif, termasuk dugaan korupsi kalau memang terjadi. Tampak sekali bahwa auditor BPK tidak percaya terhadap kemampuan profesionalnya, sehingga dia menganggap untuk mengungkap kebenaran bisa dilakukan segala macam cara, termasuk cara-cara tidak etis, sekaligus tidak moralis sebagaimana telah terjadi, yaitu dengan jebakan.
Etiskah Tindakan KPU?
Sama saja dengan auditor BPK, tindakan KPU merupakan tindakan tidak etis dan juga tidak moralis. Secara alami (natural) dan normatif, pihak penerima kerja (agen) akan dengan senang hati untuk diaudit (diperiksa) untuk meyakinkan pada pihak pemberi kerja (principal), dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Amanat dalam bentuk dana yang diberikan oleh pricipal akan dan telah digunakan, dibelanjakan, dan dikelola dengan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran, etis, dan moralis.
Dengan melakukan imbalan sejumlah uang dalam pertemuannya dengan auditor BPK, maka ada indikasi kuat KPU telah bertindak tidak etis, tidak benar, dan tidak moralis yang ujungnya adalah dugaan korupsi.
KPU tampaknya tidak paham bagaimana menempatkan diri sebagai penerima dan yang menjalankan amanah. Mengapa tindakan KPU dalam menjalankan amanah pemberi kerja harus diaudit, tampaknya tidak dipahami oleh yang bersangkutan. Ada kesan bahwa audit adalah proses yang hampir pasti mencari (sering dipapahami mencari-cari) dan menemukan sejumlah kesalahan, kecurangan, ataupun tindakan korupsi yang bisa diatur dan ditentukan semaunya oleh auditor.
Kalau di KPU pengelolaan sejumlah dana telah dilakukan dengan benar, akuntabel, transparan, dan bertanggungjawab, maka tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebihan sehingga muncul inisiatif untuk menggunakan sejumlah uang dalam rangka mencapai 'aman' pada proses pemeriksaan. Ataukah memang telah terjadi kecurangan, kebohongan, dan korupsi, sehingga KPU harus menggunakan sejumlah uang untuk main mata dengan pihak auditor BPK?
Memang santer didengar oleh masyarakat bahwa semua proses pemeriksaan, baik yang dilakukan oleh BPK, BPKP, Irjen, Bawasda, maupun pihak lain-lain, sering menggunakan sejumlah uang untuk mencapai rasa 'aman' atas tindakan pengelolaan uang.
Tindakan Pemberi Kerja
Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan kepada pihak pemberi kerja, principal, dalam hal ini adalah rakyat Indonesia yang direpresentasikan oleh pemerintah Indonesia, DPR, dan KPK. Atas kasus Mulyana W Kusumah, etiskah tindakan pihak pemberi kerja, pemerintah Indonesia, DPR dan KPK?
Secara teoritis-normatif, ketika pemberi kerja mempercayakan pengelolaan sejumlah aset atau dana kepada pihak kedua, maka pihak pemberi kerja seharusnya juga menyampaikan paket sistem informasi guna memonitor dan mengendalikan tindakan penerima kerja secara rutin. Tidakkah pemberi kerja paham akan adanya information assymetri?, yaitu penerima kerja mempunyai informasi yang jauh lebih lengkap, baik kualitas maupun jumlahnya dalam mengelola aset atau dana yang berasal dari pemberi kerja?
Dalam situasi seperti ini, maka pihak ketiga (auditor) harus disewa untuk meyakinkan bahwa pihak penerima kerja telah menjalankan tanggungjawabnya dengan benar, transparan, dan akuntabel.
Secara periodik, pihak pemberi kerja seharusnya minta informasi, baik dari penerima kerja maupun dari pihak auditor. Dari uraian ini, kita bisa jawab bahwa baik pemerintah (diwakili Menteri Keuangan) dan DPR tidak menjalankan fungsinya sebagai pemberi kerja. Sekilas tindakan ini mengesankan tindakan yang tidak etis. Andaikan proses pemberian kerja yang diikuti dengan aliran uang ke KPU kemudian ada aliran uang keluar dari KPU (belanja) dimonitor dengan benar, transparan dan akuntabel, tindakan kecurangan, termasuk kemungkinan korupsi yang bisa jadi dilakukan penerima kerja (KPU), bisa dicegah dengan optimal.
Kesimpulan
Etika merupakan syarat yang utama untuk memicu suatu profesionalitas, dari kasus Mulyana W Kusumah, tampaknya rakyat Indonesia masih harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk memperoleh pemerintahan yang kredibel, akuntabel, dan transparan, sehingga tidak terjadi kecurangan atau korupsi. Mengapa demikian, sebab untuk menjadi pemerintahan yang bersih, akuntabel, transparan, banyak hal yang harus dipelajari, dipahami, dan dilaksanakan, dan semua ini butuh waktu dan melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. Seandainya saja, pemerintah Indonesia melalui Menteri Keuangan dan DPR sebagai pemberi kerja dan penyalur dana mempunyai kemampuan teknis bagaimana meyakinkan bahwa dana yang disalurkan telah dikelola dengan benar, transparan, dan akuntabel oleh penerima kerja, maka pencegahan korupsi bisa dijalankan.
Menurut hasil riset Booz-Allen & Hamilton, seperti dikutip oleh Irwan (2000), menunjukkan bahwa Indonesia pada tahun 1999 menduduki posisi paling parah dalam hal indeks good governance, indeks korupsi dan indeks efisiensi peradilan dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara lainnya. Besarnya indeks good governance Indonesia hanya sebesar 2,88 di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72), Thailand (4,89), dan Filipina (3,47). Indeks ini menunjukkan bahwa semakin rendah angka indeks maka tingkat good governance semakin rendah dan sebaliknya
Rendahnya indeks good governance di Indonesia didukung oleh hasil studi Huther dan Shah (1998) yang menyatakan bahwa Indonesia termasuk ke dalam kategori negara poor governance. Studi ini melihat governance quality dengan cara menghitung besarnya governance quality index di masing-masing negara yang menjadi sampel. Indeks kualitas governance diukur dari: (1) indeks partisipasi masyarakat, (2) indeks orientasi pemerintah, (3) indeks pembangunan sosial, dan (5) indeks manajemen ekonomi makro
penerima kerja seharusnya sadar dan mempunyai kemampuan teknis yang tinggi bahwa dana yang diterima atau disalurkan pemerintah merupakan dana dari rakyat dan karenanya harus dikelola dan dipertanggungjawabkan dengan benar, transparan dan akuntabel, maka korupsi bisa dikurangi secara sistematis.
para auditor seharusnya termasuk dari BPK sadar dan mempunyai kemampuan teknis bahwa betapa berat memegang amanah dari rakyat sebagai klien untuk meyakinkan bahwa dana atau uang dari rakyat yang dikelola berbagai pihak telah digunakan sebagaimana mestinya secara benar, akuntabel, dan transparan, maka semakin lengkap usaha untuk memberantas korupsi di negeri ini. Solusi tambahan dalam hal ini adalah diperlukannya hokum yang tegas untuk menegakkan kejujuran dan keadilan. Profesi akuntan ini hanya bisa dijaga jika akuntan selalu berpedoman pada kode etik, standar dan moralitas. Dan hanya dengan sikap seperti inilah profesi akuntan akan bisa mempertahankan kepercayaan masyarakat.
Nama : Mario Eduardo Wisnu Wardhana
ReplyDeleteNIM : C4C008002
PPAk
SKANDAL AKUNTANSI $11 MILIAR FANNIE MAE
KASUS
Akhir-akhir ini perusahaan-perusahaan besar di Amerika sering menjadi pembicaraan karena skandal akuntansi yang dilakukannya. Setelah manipulasi Enron, Tyco, WorldCom, Xerox dan yang lainnya, Amerika juga dikejutkan dengan skandal akuntansi di lembaga pembiayaan perumahan terbesar Fannie Mae. Motif dari skandal ini adalah memperkaya diri sendiri dengan kompensasi besar-besaran.
Selama bertahun-tahun, raksasa pembiayaan perumahan (mortgage) Fannie Mae mencatat pertumbuhan pendapatan double digit secara konsisten. Kinerja ini disambut dengan antusias oleh pelaku bursa saham di Wallstreet. Selama 5 tahun yang berakhir Agustus 2005, harga saham Fannie Mae melonjak 20% secara kumulatif versus penurunan 16% dari indeks S&P 500. Artinya, pada saat rata-rata harga raham 500 perusahaan terbesar Amerika mengalami penurunan 16%, harga saham Fannie Mae malah positif dan naik cukup tinggi (20%).
Board of Directors Fannie Mae mengganjar CEO Franklin Raines dengan bonus besar. Raines mendapatkan penghasilan ± $90 juta dari 1999 hingga 2003, di mana $52 juta di antaranya berasal dari rencana insentif jangka panjang yang menjamin kompensasi (guaranteed compensation) bernilai besar jika perusahaan berhasil mewujudkan kinerja tertentu, misalnya pertumbuhan pendapatan tahunan sebesar 15%.
Namun, setelah itu, atap rumah Fannie Mae rubuh. September 2005, regulator federal Amerika menemukan kejanggalan akuntansi di perusahaan itu, sehingga menyebabkan munculnya kelebihan laba (profit) miliaran dolar selama periode 2001 hingga Juni 2004. Raines dipaksa untuk pensiun dini bulan Desember 2005, dan harga saham Fannie anjlok 20% selama 6 bulan terakhir.
Serta merta, Board of Directors Fannie Mae menghapuskan bonus terkait dengan kinerja finansial bagi eksekutifnya tahun 2005. Hal ini ditujukan supaya pembiayaan kepemilikan rumah bagi warga negara Amerika tidak terganggu.
Atas temuan regulator federal Amerika tentang kejanggalan akuntansi, pada Desember 2004 Fannie Mae memecat KPMG. KPMG merupakan auditor yang telah menangani Fannie Mae lebih dari 30 tahun. Selain itu KPMG juga dituntut oleh Fannie Mae sebesar $2 miliar dengan tuduhan telah lalai dalam memainkan peranannya sebagai “watchdog” dan lalai mencegah miliaran dolar dari kesalahan akuntansi.
Fannie Mae menyatakan bahwa setidaknya 30 kebijakan dan praktek akuntansi yang telah disetujui oleh KPMG ternyata tidak sesuai dengan GAAP. Fannie Mae juga mengaku selama lebih dari 30 tahun bersama KPMG, tiap tahun KPMG selalu meyakinkan perusahaan dan komite audit bahwa semuanya baik-baik saja dan tidak ada kekurangan material dengan kualitas dari penghasilan.
Merasa telah melakukan pekerjaan auditnya sesuai dengan prosedur, KPMG menggugat balik Fannie Mae. Gugatan berisi bahwa Fannie Mae telah memberikan informasi yang salah. Sampai saat ini, proses peradilan masih berjalan.
Atas kasus manipulasi akuntansi tersebut, Fannie Mae didenda oleh regulator Amerika sebesar $400 juta. Regulator Amerika juga menemukan bahwa selain CEO Franklin Raines, ada juga CFO Timothy Howard dan controller Leanne Spencer yang telah memanipulasi penghasilan Fannie Mae untuk memaksimalkan bonus mereka. Akhirnya mereka dikenai sanksi oleh pengadilan untuk mengganti bonus yang mereka terima dari 1998-2004 sebesar lebih dari $115 juta dan dikenai denda sebesar $100 juta atas skandal akuntansi yang telah mereka lakukan.
Selain terkena denda $400 juta, Fannie Mae juga diharuskan melakukan restatement yang diperkirakan akan menelan biaya sekitar $11 miliar. Namun, Fannie Mae akhirnya mengeluarkan biaya sebesar $6,3 miliar untuk restatement. Selain itu, Fannie Mae juga menghabiskan $1 miliar untuk memperbaiki atau melengkapi sistem internal auditornya dan untuk compliancenya.
Saat ini regulator Amerika melalui The Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB) telah menyelidiki pekerjaan KPMG atas audit Fannie Mae. Sejauh ini SEC selaku regulator finansial Amerika mengatakan bahwa Fannie Mae tidak mematuhi standar Amerika antara tahun 2001 sampai pertengahan 2004.
PEMBAHASAN
Adanya temuan oleh regulator federal Amerika mengenai kelebihan profit, menimbulkan pertanyaan besar, mengapa auditor (KPMG) dalam menjalankan proses auditnya tidak mendeteksi hal itu? Selain itu, mengenai masalah kebijakan dan praktek akuntansi Fannie Mae yang telah disetujui KPMG yang ternyata tidak sesuai dengan GAAP. Hal ini menjadi pertanyaan besar karena auditor seharusnya memiliki keahlian teknis, independen dalam sikap mental serta kemahiran profesional dengan cermat dan seksama. Selain itu auditor dalam pemeriksaannya wajib menemukan ketidakberesan, kecurangan, manipulasi dalam suatu pengauditan. Jika auditor tidak mengacu pada kode etik, maka sebenarnya itu sudah merupakan malpraktek.
Ada dua kemungkinan yang mungkin bisa terjadi terhadap kasus di atas, yaitu auditor sengaja melakukan hal itu, atau adanya ketidaksengajaan auditor dalam proses audit. Apabila auditor memang sengaja melakukan hal itu, misalnya dengan “bekerja sama” dengan manajemen, maka bisa dikatakan bahwa auditor telah melanggar prinsip dasar dari profesi akuntan, yaitu independensi, integritas dan objektivitas. Sikap independen maksudnya adalah auditor mempertahankan sikap tidak memihak dalam melaksanakan pekerjaannya, sementara itu, integritas, yaitu akuntan profesional seharusnya jujur dan terus terang dalam semua hubungan profesional dan bisnis profesional; objektifitas, yaitu akuntan profesional mestinya tidak berprasangka atau bias, conflict of interest atau pengaruh lain yang tidak pantas untuk mengesampingkan keputusan profesional atau keputusan bisnis.
Kemungkinan kedua terhadap kasus di atas adalah ketidaksengajaan akuntan dalam proses audit. Hal ini bisa terjadi karena pada dasarnya tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen pada umumnya adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran, dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil usaha, perubahan ekuitas, dan arus kas sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku. Jadi, apabila setelah melakukan semua prosedur audit ternyata auditor tidak menemukan/mendeteksi adanya kesalahan, maka auditor tidak bisa dipersalahkan.
Namun, hal ini semua masih belum bisa dipastikan karena kasus di atas masih dalam penyelidikan The Public Company Accounting Oversight Board (PCAOB). Sementara itu, kasus gugatan dari kedua belah pihak juga masih dalam proses peradilan.
Nama : Ulfah
ReplyDeleteNim : C4C009009
Kasus PT Destiny Marine safety Dengan AP Drs Nikmat Siahaan
KASUS PT DESTINY MARINE SAFETY
Menteri Keuangan Sri mulyani melakukan pembekuan izin Akuntan Publik Drs. Nikmat Siahaan karena yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dalam pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan konsolidasi PT. Destiny Marine Safety tahun buku 2007 dan menghalangi kelancaran pemeriksaan dengan tidak memperlihatkan dokumen yang diminta seperti Laporan Auditor Independen, Kertas Kerja dan dokumen pendukung lainnya. Pembekuan izin tersebut tertuang di dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 768/KM.1/2008 tanggal 24 November 2008 selama 24(dua puluh empat) bulan.
Selama masa pembekuan izin, Drs Nikmat Siahaan dilarang memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 tentang Jasa Akuntan Publik. Kegiatan yang dilarang antara lain:
1.Jasa atestasi yang termasuk audit umum atas laporan keuangan, jasa pemeriksaan atas laporan keuangan prospektif, jasa pemeriksaan atas pelaporan informasi keuangan proforma, review atas laporan keuangan, serta jasa atestasi lainnya sebagaimana tercantum dalam SPAP
2.Dilarang memberikan jasa audit lainnya serta jasa yang berkaitan dengan akuntansi, keuangan, manajemen, kompilasi, perpajakan, dan konsultasi sesuai dengan kompetensi Akuntan Publik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu AP juga dilarang menjadi Pemimpin dan atau Pemimpin Rekan dan atau Pemimpin Cabang Kantor Akuntan Publik, serta wajib mengikuti Pendidikan Profesi Berkelanjutan (PPL), dan tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa yang telah diberikan
PEMBAHASAN
Berkembangnya profesi akuntan telah banyak diakui oleh berbagai kalangan. Kebutuhan dunia usaha, pemerintah dan masyarakat luas inilah yang menjadi pemicu perkembangan tersebut. Namun demikian, terdapat beberapa akuntan public yang melakuan pelanggaran profesi ketika melakukan audit pada beberapa perusahaan. Seperti yang terjadi pada Drs Nikmat Siahaan yang melakukan pelanggaran atas laporan keuangan konsolidasi PT Destiny Marine Safety tahun buku 2007 dan melanggar pasal 41 ayat 6 dan 7 yaitu menghalangi kelancaran pemeriksaan dengan tidak memperlihatkan dokumen yang diminta seperti Laporan Auditor Independen, Kertas Kerja dan dokumen pendukung lainnya.
Dalam beberapa kasus terlihat hasil audit yang dilakukan berbagai akuntan public tidak mengungkapkan hal yang sebenarnya. Akuntan public menyatakan pendapat kewajaran laporan keuangan perusahaan tidak berdasarkan bukti audit yang sah, relevan dan cukup. Padahal akuntan public mengetahui bahwa perusahaan merekaya laporan keuangan. Dengan keadaan seperti ini sehingga menimbulkan krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap mutu akuntan. Akuntabilitas profesi akuntan dipertanyakan, seorang akuntan dianggap telah menghianati "janji baptisnya" untuk melindungi kepentingan public. Kaca mata publik melihat ini bukan sebagai business failures melainkan audit failures, yaitu kegagalan auditor dalam melakukan audit. Artinya, audit yang dilakukan tidak sesuai dengan standar audit yang telah ditetapkan.
Pengawasan atas pelaksanaan audit di Indonesia juga masih sangat lemah. Selama ini ada beberapa kasus akuntan public yang tak tersentuh peradilan dan sekalipun masuk badan peradilan, tidak jelas apakh kasus ini benar-benar disidang dengan cara yan benar. Penyelesaian kasusnya biasanya lama dan berlarut-larut. Sanksi yang diberikan juga terlihat sangat ringan dengan tidak diperbolehkan mengaudit selama setahun. Posisi badan peradilan profesi akuntan yang belum independent yang sampai saat ini masih dalam Kompartemen Akuntan Publik yang merupakan bagian akuntan dari Ikatan Akuntan Indonesia(IAI) juga menjadi masalah sehingga peradilan terlihat ragu-ragu ketika memberikan sanksi kepada akuntan public yang melakukan pelanggaran.
Akankah ada perubahan yang fundamental dalam cara kerja akuntan? Akankah konsep-konsep atau model-model pengaturan akan mengalami perubahan dan didasarkan atas semangat pelayanan kepada kepentingan publik? Akankah pemulihan public confidence akan mendasari perubahan-perubahan itu? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang harus dijawab IAI, karena sangat menentukan dalam mereposisi dirinya di masyarakat. Jawaban yang sederhana namun sulit dilaksanakan adalah dengan memberikan ruang yang cukup luas bagi partisipasi publik dalam bebagai proses pengambilan keputusan penting organisasi ini, agar publik tahu apa yang dilakukan profesi ini untuk melayani kepentingannya.
Beberapa proses penting yang saat ini sudah memerlukan kehadiran wakil publik di sana adalah proses disciplinary dan quality monitoring, terutama terhadap AP dan kantor akuntan publik (KAP) yang melakukan audit atas
perusahaan-perusahaan yang terdaftar di pasar modal, karena pada perusahaan-perusahaan ini sangat sarat dengan kepentingan publik. Berikan kesempatan yang luas kepada publik untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dalam penanganan komplain publik terhadap anggota profesi dan dalam proses monitoring terhadap kualitas audit dari suatu KAP dan AP.
Itu penting, agar publik percaya bahwa kepentingannya merupakan pertimbangan yang utama dalam menentukan apakah anggota profesi itu bersalah atau tidak. Agar publik juga yakin bahwa penerapan zero tolerance atas setiap pelanggaran memang memungkinkan dilakukan dalam proses tersebut, agar publik percaya bahwa kualitas audit telah melewati suatu proses review yang independen. Perubahan ini dengan sangat mudah dapat diartikan sebagai upaya yang ditujukan untuk memulihkan public confidence yang telah tererosi di Indonesia, karena dengan demikian publik akan memiliki saluran langsung yang direpresentasikan oleh anggota yang berasal dari publik.
Melalui wakilnya, publik dapat mengontrol bagaimana profesi ini menjaga kepercayaan yang diberikan. Kehadiran publik dalam kedua proses tersebut juga akan mengingatkan kembali asosiasi profesi dan para anggotanya akan eksistensinya, bahwa hadirnya profesi ini semata-mata karena di sana ada kepentingan publik yang harus dilayani dan dilindungi.
Ini memang suatu perubahan yang mungkin dianggap radikal, yang tidak begitu saja akan diterima oleh profesi ini, karena budaya melayani publik memang masih menjadi sesuatu langka di negeri ini, bukan saja pada profesi akuntan tetapi juga pada profesi lainnya.
Nama : Nurkhikmah
ReplyDeleteNIM : P2CD08015
Kasus fluktuasi harga saham PT AGIS Tbk (AGIS)
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) menjatuhkan sanksi berupa denda sebesar Rp5 miliar kepada Direktur Utama AGIS Jhonny Kesuma (17/12/2007). Jhonny dinilai telah memberikan informasi material secara tidak benar kepada publik.
Selain Jhonny, Bapepam-LK juga menjatuhkan denda Rp1 miliar kepada Bintoro Tjitrowirjo yang menjabat sebagai Dirketur Utama PT AGIS Elektronik. Bintoro, yang juga menjabat Wakil Direktur Utama AGIS ini, dikenai denda lantaran pelanggaran atas laporan keuangan PT Agis Elektronik yang dikonsolidasikan ke laporan keuangan AGIS.
Denda Rp1 miliar juga dikenakan kepada Eka Hikmawati Supriyadi selaku direktur di PT Agis Elektronik dan AGIS. Sama halnya dengan Bintoro, menurut Bapepam-LK, Eka terbukti melakukan pelanggaran terkait laporan keuangan PT Agis Elektronik yang dikonsolidasikan ke AGIS.
Jhonny terbukti telah memberikan informasi yang secara material tidak benar. Informasi itu terkait dengan pendapatan dua perusahaan yang diakuisi AGIS, yakni PT Akira Indonesia dan PT TT Indonesia. Jhonny mengatakan pendapatan kedua perusahaan tersebut Rp800 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan kedua perusahaan tersebut per 31 Maret 2007, total pendapatan PT Akira Indonesia dan PT TT Indonesia hanya sekitar Rp 466,8 miliar.
laporan keuangan AGIS yang merupakan konsolidasi dari anak-anak perusahaan yang salah satunya PT Agis Elektronik. Dalam laporan laba rugi konsolidasi AGIS diungkapkan pendapatan lain-lain bersih sebesar Rp29,4 miliar yang berasal dari laporan keuangan keuangan PT Agis Elektronik, tidak didukung dengan bukti-bukti yang kompeten.
Telaah Kasus
Informasi keuangan memang disajikan oleh manajemen , tanggung jawabnya juga berada pada pundak pengelola. Informasi keuangan tersebut dapat mengandung kekeliruan (error), yaitu salah saji dalam laporan keuangan yang tidak disengaja. Tetapi yang sering terjadi justru terdapat ketidakberesan (irregularities), yaitu salah saji dalam laporan keuangan yang disengaja, atau berbagai pelanggaran dan penyimpangan yang dicoba ditutupi dengan rekayasa akuntansi.Tentunya dalam hal ini Profesi Akuntan menjadi penting.
Penyimpangan Informasi yang tidak wajar dan menyesatkan tentu saja terkait dengan Proses Auditor yang tidak sesuai dengan prinsip Akuntatabilitas, Professional dan Independen. Laporan keuangan tersebut juga menyalahi prinsip akuntansi. Dengan demikian, pendapatan lain-lain dalam laporan keuangan PT Agis Elektronik menjadi tidak wajar. Begitu juga dengan laporan keuangan konsolidasi AGIS yang juga tidak wajar.
Masalahnya kemudian Kemana Auditor dan Penegakan Terhadap Pelanggaran etika profesi Akuntan tersebut? Sedangkan Penetapan Kebijakan bappepam dengan mendenda dan membekukan perdagangan adalah tindakan yang sudah semestinya dilakukan. Kita perlu sedikit belajar mengenai pelanggaran yang sering terjadi di pasar modal.
Pelanggaran di Pasar Modal
Dalam UUPM, selain dimuat sanksi perdata dan administrasi, juga dilengkapi dengan sanksi pidana yang diatur dalam Bab XV tentang “Ketentuan Pidana” (Pasal 103 Pasal 110). Perumusan sanksi pidana dalam Undang Undang ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelanggaran hukum (tindak pidana) pasar modal, baik yang berkualifikasi sebagai kejahatan, maupun pelanggaran.
Adapun bentuk-bentuk pelanggaran yang dapat ditemukan dalam Pasar modal diantaranya ialah:
a. Informasi Menyesatkan
b. Transaksi Benturan Kepentingan
c. Manipulasi Pasar
d. Kegiatam Pasar Modal Tanpa Izin
e. Pengendalian Inheren
f. Keterbukaan Informasi
g. Perdagangan Orang Dalam (Insider Trading)
Tinjauan mengenai Prinsip Keterbukaan
Pengertian Keterbukaan
Tujuan penegakan prinsip ini untuk menjaga kepercayaan investor sangat relevan ketika munculnya ketidakpercayaan publik terhadap pasar modal, yang pada gilirannya mengakibatkan pelarian modal (“capital flight”) secara besar-besaran dan dapat mengakibatkan kehancuran pasar modal (bursa saham) . Keterbukaan juga merupakan salah satu bagian dari prinsip GCG (Good Corporate Governance). Secara asumtif, jika GCG dan keterbukaan itu terwujud dalam perusahaan yang sahamnya listing di bursa, tentu akan menambah kepercayaan perusahaan dan investor. Dan bagi negara, prinsip keterbukaan ini berguna mengefektifkan dan mengintensifkan pajak yang akan meningkatkan pendapatan negara .
Dalam UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal juga dijelaskan tentang prinsip keterbukaan ini. Dalam pasal 1 angka 25 disebutkan bahwa Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan emiten, perusahaan publik, dan pihak lain yang tunduk pada undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh informasi material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap efek dimaksud dan atau harga dari efek tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi atau fakta material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada bursa efek dan atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut .
Pada dasarnya pelaksanaan keterbukaan di pasar modal terbagi menjadi tiga tahap, yaitu :
1. keterbukaan pada saat melakukan penawaran perdana (primary market level) yang didahului dengan pengajuan Pernyataan Pendaftaran Emisi ke Bapepam dengan menyertakan semua dokumen penting yang disyaratkan dalam Peraturan Nomor IX.C.1. tentang Pedoman Bentuk dan Isi Penyataan Pendaftaran.
2. Keterbukaan setelah emiten mencatat dan memperdagangkan efeknya di bursa (secondary market level). Emiten wajib menyampaikan laporan keuangan berkala (continously disclosure) kepada Bapepam dan Bursa sesuai Peraturan Nomor X.K.2.
3. Keterbukaan karena terjadi peristiwa penting dan laporannya harus disampaikan secara tepat waktu (timely disclosure), yakni peristiwa yang dirinci dalam Peraturan Nomor X.K.1.
Nama : Nofita Erny .D
ReplyDeleteNIM : C4C009008
PT Myoh Technology Tbk (KAP Hertanto dan Rekan)
Pendahuluan
Kata etika atau etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik, seperti menurut Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.
Seorang profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata-rata. Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik.
Prinsip-prinsip etika profesi
1. Tanggung jawab
- Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
- Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.
2. Keadilan. Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa
yang menjadi haknya.
3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri
kebebasan dalam menjalankan profesinya.
Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang professional.
Dengan membuat kode etik, profesi sendiri akan menetapkan hitam atas putih niatnya untuk mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggapnya hakiki. Hal ini tidak akan pernah bisa dipaksakan dari luar. Hanya kode etik yang berisikan nilai-nilai dan cita-cita yang diterima oleh profesi itu sendiri yang bisa mendarah daging dengannya dan menjadi tumpuan harapan untuk dilaksanakan juga dengan tekun dan konsekuen. Syarat lain yang harus dipenuhi agar kode etik dapat berhasil dengan baik adalah bahwa pelaksanaannya di awasi terus menerus. Pada umumnya kode etik akan mengandung sanksi-sanksi yang dikenakan pada pelanggar kode etik.
Kasus-kasus pelanggaran kode etik akan ditindak dan dinilai oleh suatu dewan kehormatan atau komisi yang dibentuk khusus untuk itu. Karena tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis, seringkali kode etik juga berisikan ketentuan-ketentuan profesional, seperti kewajiban melapor jika ketahuan teman sejawat melanggar kode etik. Ketentuan itu merupakan akibat logis dari self regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode itu berasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya.
Pembahasan Kasus
PT Myoh Technology Tbk (MYOH) berdiri sejak 15 maret 2000 yang beralamat di Jl. Raya Langsep 2-DD Malang Indonesia, adalah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi (TI), khususnya pembuatan software yang “user friendly”. Sebelumnya PT Myoh Technology Tbk dikenal sebagai PT MYOHDOTCOM Indonesia Tbk, yang didirikan pada tahun 2000. MYOH menjadi perusahaan pengembangan software pertama di Indonesia yang listing di Bursa Efek Surabaya untuk menunjukkan bahwa MYOH memasuki pasar global.
Terhitung sejak 4 Januari 2007 Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah membekukan izin Kantor Akuntan Publik (KAP) Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno selama 18 bulan karena terdapat pelanggaran atas pembatasan penugasan audit oleh Djoko Sutardjo dengan hanya melakukan audit umum atas laporan keuangan PT Myoh Technology Tbk (MYOH). Penugasan ini dilakukan secara berturut-turut sejak tahun buku 2002 hingga tahun buku 2005.
Pembekuan izin oleh Menkeu ini merupakan tindak lanjut atas surat Ketua Bapepam-LK nomor S-348/BL/2006 tertanggal 6 Juni 2006. Berkenaan dengan hal tersebut, AP telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 24 Keputusan Menkeu nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menkeu nomor 359/KMK.06/2003 dan dikategorikan sebagai pelanggaran berat sehingga dikenakan sanksi pembekuan izin.
Pasal 24
(1) Dalam memberikan jasanya, Akuntan Publik dan KAP wajib mematuhi:
a.Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh IAI;
b.Kode etik IAI dan aturan etika akuntan IAI-Kompartemen Akuntan Publik; dan
c.Peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berhubungan dengan bidang jasa yang diberikan.
(2) Akuntan Publik dan KAP dalam melaksanakan penugasan Audit Kinerja wajib mematuhi
standar Audit Kinerja yang disepakati antara Akuntan Publik dan KAP dengan pemberi kerja.
Kasus ini muncul ketika Djoko melakukan audit laporan keuangan MYOH tahun 2005. Dalam audit itu terdapat kesalahan dalam hal penjumlahan dan penyajian arus kas yang berakhir pada 31 Desember 2005. Kemudian, Direksi MYOH meminta Djoko untuk mengaudit ulang dan merevisi laporan keuangan tersebut. Revisi kembali dilakukan pada Juni 2006. Hasil revisi ini telah disampaikan ke Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dan Bursa Efek Surbaya (BES).
Selama izinnya dibekukan, AP tersebut dilarang memberikan jasa
1) atestasi termasuk audit umum, review, audit kinerja dan audit khusus;
2) non atestasi, yang mencakup kegiatan seperti jasa konsultasi, jasa kompilasi, jasa perpajakan, dan jasa-jasa yang berhubungan dengan akuntansi dan keuangan.
Yang bersangkutan juga dilarang menjadi Pemimpin Rekan atau Pemimpin Cabang KAP namun tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa yang telah diberikan, serta wajib memenuhi ketentuan mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL).
Kesimpulan
Untuk menjaga iklim ekonomi yang kondusif dan kepentingan umum maka diperlukan akuntan publik dan kantor akuntan publik yang professional, handal dan independen melalui pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang efektif dan berkesinambungan. Selain itu dibutuhkan kesadaran dari setiap akuntan publik untuk mematuhi kode etik profesi yang telah dibuat. Pelanggaran terhadap kode etik dapat mengakibatkan dibekukannya izin kantor akuntan publik, seperti yang terjadi pada kantor akuntan publik Hertanto, Djoko, Ikah & Sutrisno. Standart mutu tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan audit akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi akuntan publik.
Nama : Agus Widyarto
ReplyDeleteNim : C4C009010
Kasus: PT. Brantas Abipraya
PT Brantas Abipraya adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia yang bergerak di bidang konstruksi terutama bendungan dan konstruksi air lainnya. Perusahaan ini didirikan pada 12 November 1980 dan dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Izin Usaha Nomor : KEP-227/KM.5/2005 pada tanggal 2 Agustus 2005. Sedangkan Kantor Akuntan Publik yang melaksanakan audit pada PT. Brantas Abipraya adalah Kantor Akuntan Publik Tasnim Ali Widjanarko beralamat di Jl. Teuku Umar No. 123 Denpasar Bali.
Pelanggaran yang dilakukan oleh Drs. Tasnim Ali Widjanarko yaitu berkenaan telah menyalahi terhadap Standar Auditing (SA), Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dalam pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan PT. Brantas Abipraya (Persero) per 31 Desember 2003 yang berpotensi berpengaruh signifikan terhadap Laporan Auditor Independen. Dikarenakan adanya pelanggaran berkaitan dengan pelaksanaan audit yang dapat berpengaruh terhadap laporan independensi atas Laporan Keuangan PT. Brantas akibat menyalahi Standar Auditing (SA) dan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Berkaitan dengan pelanggaran tersebut melalui Peraturan Menkeu Nomor 603/KM.1/2007, Menkeu membekukan Izin Akuntan Publik (AP) Drs. Tasnim Ali Widjanarko, Pemimpin Rekan dari KAP Drs. Tasnim Ali Widjanarko & Rekan untuk jangka waktu tiga bulan sejak tanggal 14 Agustus 2007. Selama izinnya dibekukan, AP tersebut dilarang memberikan jasa atestesi termasuk audit umum, review, audit kinerja dan audit khusus. Selama izinnya dibekukan, AP tersebut dilarang memberikan jasa atestesi termasuk audit umum, review, audit kinerja dan audit khusus. Yang bersangkutan juga dilarang menjadi Pemimpin Rekan atau Pemimpin Cabang KAP namun tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa yang telah diberikan, serta wajib memenuhi ketentuan mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu tersebut sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003.
Dengan adanya kasus yang menimpa Drs. Tasnim Ali Widjanarko kita bisa mengetahui bahwa betapa pentingnya seorang akuntan untuk menjalankan pekerjaannya dengan benar sesuai standar yang diatur oleh IAI apabila pekerjaan salah dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Repotnya, norma yang salah ini akan menjadi budaya. Oleh karena itu bila ada yang melanggar aturan diberikan sangsi untuk memberi pelajaran kepada yang bersangkutan hal ini ditujukan demi profesionalisme terhadap kode etik profesi akuntan agar tetap bersifat independen.
PT Brantas Abipraya adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia yang bergerak di bidang konstruksi terutama bendungan dan konstruksi air lainnya. Perusahaan ini didirikan pada 12 November 1980 dan dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Izin Usaha Nomor : KEP-227/KM.5/2005 pada tanggal 2 Agustus 2005. Sedangkan Kantor Akuntan Publik yang melaksanakan audit pada PT. Brantas Abipraya adalah Kantor Akuntan Publik Tasnim Ali Widjanarko beralamat di Jl. Teuku Umar No. 123 Denpasar Bali.
Pelanggaran yang dilakukan oleh Drs. Tasnim Ali Widjanarko yaitu berkenaan telah menyalahi terhadap Standar Auditing (SA), Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) dalam pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan PT. Brantas Abipraya (Persero) per 31 Desember 2003 yang berpotensi berpengaruh signifikan terhadap Laporan Auditor Independen. Dikarenakan adanya pelanggaran berkaitan dengan pelaksanaan audit yang dapat berpengaruh terhadap laporan independensi atas Laporan Keuangan PT. Brantas akibat menyalahi Standar Auditing (SA) dan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP). Berkaitan dengan pelanggaran tersebut melalui Peraturan Menkeu Nomor 603/KM.1/2007, Menkeu membekukan Izin Akuntan Publik (AP) Drs. Tasnim Ali Widjanarko, Pemimpin Rekan dari KAP Drs. Tasnim Ali Widjanarko & Rekan untuk jangka waktu tiga bulan sejak tanggal 14 Agustus 2007. Selama izinnya dibekukan, AP tersebut dilarang memberikan jasa atestesi termasuk audit umum, review, audit kinerja dan audit khusus. Selama izinnya dibekukan, AP tersebut dilarang memberikan jasa atestesi termasuk audit umum, review, audit kinerja dan audit khusus. Yang bersangkutan juga dilarang menjadi Pemimpin Rekan atau Pemimpin Cabang KAP namun tetap bertanggung jawab atas jasa-jasa yang telah diberikan, serta wajib memenuhi ketentuan mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin oleh Menkeu tersebut sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menkeu Nomor 359/KMK.06/2003.
Dengan adanya kasus yang menimpa Drs. Tasnim Ali Widjanarko kita bisa mengetahui bahwa betapa pentingnya seorang akuntan untuk menjalankan pekerjaannya dengan benar sesuai standar yang diatur oleh IAI apabila pekerjaan salah dibiarkan, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Repotnya, norma yang salah ini akan menjadi budaya. Oleh karena itu bila ada yang melanggar aturan diberikan sangsi untuk memberi pelajaran kepada yang bersangkutan hal ini ditujukan demi profesionalisme terhadap kode etik profesi akuntan agar tetap bersifat independen.
Nama : Indra Nurmanto
ReplyDeleteNIM :C4C009004
Kasus : Parmalat
KASUS PARMALAT
Parmalat didirikan tahun 1961 di pinggiran kota Parma, Collecchio Italia oleh Calisto Tanzi dengan bisnis awal sebagai pemegang tunggal (monopoli) usaha susu di Italia. Perusahaan ini menjadi produsen pertama susu dengan teknik pengawetan menggunakan temperatur ultratinggi.
Mulanya perusahaan ini hanya menghasilkan barang-barang yang diolah dari susu, tetapi kemudian juga menghasilkan barang-barang lain. Dalam perkembangannya, Parmalat kemudian merambah juga usaha di bidang jus buah, yoghurt, dan roti ke seluruh penjuru dunia. Pada tahun 1990, Calisto Tanzi mulai tertarik bisnis sektor olahraga yang di dunia saat itu memang mengalami booming. Dia pun melirik balap mobil formula satu sebagai pilihan mengembangkan sayap usaha. Pembalap Niki Lauda dan Nelson Piquet disponsorinya. Setahun kemudian, dia bahkan membuat keputusan mengejutkan dengan membeli lebih dari separo saham AC Parma.
Hingga tahun 2002, nilai total Parmalat telah mencapai 9,45 miliar dolar AS dan beroperasi di lebih dari 30 negara. Mereka memiliki 35.000 pekerja 4.000 di antaranya bekerja di kantor pusat Italia dengan konsentrasi produk tetap sektor makanan.
Tidak jelas kapan skandal kecurangan ini dimulai. Tetapi jelas, ambisi Parmalat untuk berkembang dilakukan dengan membayar perusahaan yang diambil-alih terlalu mahal. Masalah perlahan-lahan menumpuk ketika situasi ekonomi dunia memburuk. Waktu itu orang berpikir semua investasi itu akan membuahkan hasil yang cukup besar. Tapi ternyata tidak demikian, bahkan tidak cukup untuk membayar bunga bank, dan karenanya utang makin menggunung. Sekarang ketahuan bahwa direksi mencoba untuk memperoleh uang lebih banyak dalam waktu singkat dengan melakukan trik-trik keuangan di negara-negara surga pajak. Sayangnya semua usaha itu gagal total.
Tanda-tanda akan ambruknya Parmalat mulai terlihat awal bulan, ketika salah satu sayap usahanya di Kepulauan Cayman senilai 500 juta dolar AS dilikuidasi. Mereka juga harus membayar angsuran hampir 200 juta dolar AS ke bank-bank kreditor, ditambah sekitar 460 juta dolar AS kepada sebuah sindikasi dari Brasil.
Tanggal 19 Desember, Parmalat bahkan didrop dari pasar saham ketika ditemukan dana sebesar 4 miliar euro raib dari pembukuan. Kasus itu kini tengah dalam penyidikan dan seluruh sayap usaha Parmalat, termasuk AC Parma menghadapi ancaman likuidasi.
Skandal ini semakin berkembang dan dinamakan “Enron-nya Eropa.” Calisto Tanzi, pendiri Parmalat yang mengundurkan diri sebagai CEO pada pekan lalu, adalah satu dari tiga pejabat perusahaan yang masih diperiksa, demikian berbagai laporan media di Italia.
Setelah pendiri perusahaan Parmalat, Calisto Tanzi mengakui, perusahaannya menggelapkan ratusan juta euro, seorang hakim hari Selasa memerintahkan agar dia dipenjara atas tuduhan yang oleh para regulator di AS disebut sebagai “salah satu kasus penggelapan korporasi terbesar dalam sejarah.”
Dalam perintah tertulisnya, Hakim Guido Salvini menyebutkan “risiko konkret” Tanzi menghilangkan barang-barang bukti atau kabur bila dia tetap bebas, dan menyebut pengakuan Tanzi bahwa dia tidak tahu menahu adanya pemalsuan berbagai dokumen di Parmalat “sangat tidak mungkin.”
Selain itu hakim menilai Tanzi masih menyembunyikan banyak hal dan tidak terus terang. Keputusan hakim itu keluar setelah Tanzi menjalani pemeriksaan kembali oleh para jaksa pada hari Selasa, dalam upaya menguak kasus penggelapan yang menyebabkan krisis keuangan di perusahaan susu dan minuman buah di perusahaan terbesar ke-8 di Italia itu, sampai harus meminta perlindungan kebangkrutan.
Para pengacara tersangka mengatakan, dia mengakui bahwa ratusan juta euro telah dialihkan dari perusahaan, terutama ke bisnis wisata yang juga dikendalikan oleh keluarga Tanzi.
Namun Tanzi tetap berkeras bahwa tindakan ilegal itu dilakukan oleh direktur keuangan dan jajarannya atas inisiatif mereka sendiri. Para jaksa mengatakan, sejumlah 800 juta euro (atau US$ 1 miliar) telah diselewengkan.
Pengacaranya, Michele Ributti mengatakan, berbagai laporan pers di Italia yang menyebutkan pengakuan Tanzi atas uang sejumlah 500 juta euro selama tujuh atau delapan tahun sangat “masuk akal” meski dia menolak menyebutkan jumlahnya.
Parmalat telah dinyatakan bangkrut dan berada di bawah pengawasan ahli memperbaiki perusahaan, Enzo Bondi, menyusul pengungkapan bahwa anak perusahaan Parmalat, Bonlat, yang berada di Kepulauan Cayman, ternyata tidak punya dana sebesar 3,95 miliar euro di sebuah rekening Bank of America.
Kasus ini setara dengan skandal penyelewengan di perusahaan energi Enron di Amerika Serikat, karena melibatkan jaringan anak-anak perusahaan. Dalam kasus Parmalat yang terlibat sekitar 200 anak perusahaan, demikian kantor akuntan Grant Thornton, yang cabangnya di Italia menjadi auditor perusahaan ini.
Ributti mengatakan kepada wartawan, sejumlah uang yang dialihkan itu mengalir ke usaha-usaha bisnis wisata keluarga Tanzi. “Sektor wisata itu dibiayai dari dana Parmalat. Ini sudah mendapat konfirmasi,” ujarnya.
Parmalat telah membohongi para investor dengan mengatakan mereka mempunyai aset di luar negeri. Kenyatannya mereka tidak mempunyai aset-aset tersebut. Disebutkan mereka meminjam uang dengan jaminan-jaminan fiktif. Kebohongan ini terbongkar membuat banyak investor kehilangan dana mereka. Yang juga berada di kursi terdakwa adalah tiga perusahaan yaitu Italian offices of Bank of America, dua perusahaan audit Deloitte & Touche, dan Grant Thornton. Mereka dituduh membantu manajer-manajer Parmalat, sejumlah bankir, dan auditor menutup-nutupi kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
Sidang pengadilan pertama atas manipulasi Parmalat sudah dimulai sejak September 2005. Salah satu dari 3 jaksa penuntut, Francesco Greco menyebut kasus kolapsnya Parmalat sebagai "Skandal Mafia Berbahaya.
Sidang kedua dilakukan di Milan pada Januari 2008, terhadap 3 bank asing yakni Citigroup, Morgan Stanley, Deutsche Bank dan sejumlah karyawan Parmalat. Mereka dituntut atas manipulasi harga dan memberikan informasi keuangan palsu.
Sementara sidang ketiga sekaligus yang terbesar dimulai akhir Maret lalu di bagian Utara , yang merupakan kantor pusat Parmalat. Sidang ini melibatkan 55 terdakwa, termasuk Tanzi, Giovanni Tanzi (saudara laki-laki Tanzi), chief financial officer Parmalat Fausto Tonna dan sejumlah bankir. Mereka dituntut atas kebangkrutan dan masalah kriminal.
Seperti dikutip dari AFP, Jumat (19/12/2008), sidang kali ini mengganjar 10 tahun penjara untuk Tanzi. Hukuman itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa selama 13 tahun. Dua anak Tanzi, Francesca dan Stefano juga telah menjadi terdakwa.
Sementara mantan auditor Parmalat, Italaudit, yang juga mantan partner Grant Thornton juga didenda 240.000 euro sementara 455.000 euro asetnya disita. Hal ini karena Italaudit tidak menjalankan fungsinya sebagai auditor eksternal dengan semestinya dan bersikap tidak independen yaitu menutup-nutupi kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
Nama: N. Arif H.
ReplyDeleteNIM : C4C009003
Kasus : MERCK
Terungkapnya skandal keuangan perusahaan-perusahan besar di AS pada awal tahun 2000-an ini merupakan sebuah pukulan telak bagi sistem ekonomi kapitalis di negara adidaya itu. Sistem ekonomi kapitalis ini berdasarkan pada teori Adam Smith yang mengatakan bahwa individu yang bertindak untuk kepentingan pribadi justru makin meningkatkan kesejahteraan publik yang jauh lebih baik dibandingkan dengan segala usaha yang diarahkan negara.
Di dalam buku terkenal, The Wealth of Nations, Smith menulis: ”Dengan mengejar kepentingan pribadi, seseorang meningkatkan kesejahteraan masyarakat jauh lebih efektif daripada apabila secara sadar ia mencoba memperbaiki kesejahteraan masyarakat.”
Menurut teori Smith, para pelaku bisnis atau pemilik modal yang mencoba mengejar kepentingan pribadinya akan mencari keuntungan sebesar-besarnya, pegawai berusaha mencari gaji setinggi-tingginya, sementara konsumen berusaha membeli barang semurah-murahnya. Dari interaksi inilah sumber daya dapat dialokasikan secara efisien di dalam ekonomi pasar.
Perusahaan seperti Enron, Worldcom, Xerox, Merck, Tyco, dan Global Crossing juga menganut prinsip ini. Mereka berusaha mendapatkan untung paling besar. Hal ini juga berlaku pada Arthur Andersen yang menjadi auditor Enron dan para investment banker, analis yang merekomendasikan saham-saham tersebut. Semua profesional dari berbagai kelompok ini tentu saja mencoba bertindak demi kepentingan masing-masing. Sayangnya, prinsip bertindak untuk kepentingan masing-masing ini kebablasan dan berubah menjadi keserakahan yang mewabah.
Keserakahan yang mewabah ini tidak sejalan dengan teori Adam Smith sebab justru mengakibatkan nilai portfolio dari investor hancur, kredibilitas akuntan dan analis keuangan turun, perusahaan-perusahaan bangkrut, para karyawan di-PHK, dan dikhawatirkan hal ini justru akan memperburuk krisis ekonomi yang mengancam dunia.
Skandal keuangan yang terjadi di Amerika Serikat yang dimulai dengan skandal Enron, Worldcom makin terus menekan kinerja Bursa Saham di Amerika. Skandal keuangan ini membuat masyarakat perlu mengamati lebih lanjut peran eksekutif perusahaan (CEO dan CFO), perusahaan akuntan, investment banker, investor, dan regulator dalam kontribusinya terhadap krisis keuangan.
Seluruh perusahaan yang mengalami skandal akuntansi itu adalah perusahaan publik. Sebagai perusahaan publik, ada kaitan yang erat antara laporan keuangan perusahaan dan harga saham di pasar. Harga saham biasanya ditentukan oleh pemahaman para analis tentang aspek-aspek fundamental dan teknikal. Aspek fundamental menjadi sangat kompleks dalam pasar modal AS sekarang karena begitu sulitnya untuk dipahami.
Kita bisa melihat kasus Merck, sebuah perusahaan terbesar kedua yang bergerak di bidang farmasi di mana laporan keuangan dengan sengaja diubah, keuntungan anak perusahaan dianggap sebagai keuntungan induk perusahaan sehingga terjadi penyesatan laporan terhadap para pemegang saham. Nilai yang dimanipulasi adalah sejumlah US$ 12,4 milyar. Ini bukan jumlah yang mudah untuk disembunyikan sehingga SEC bisa ‘mencium’ ketidakberesan laporan keuangannya. KAP yang mengaudit Merck – Arthur Andersen – sampai harus dilikuidasi dan terancam bubar.
Akibat dari dilikuidasinya Andersen, maka perwakilan Andersen di Indonesia pun harus "hilang". Kini seluruh line up dari Andersen & Partners menjadi tergabung dengan Ernst & Young & Partners. Begitu juga perusahaan Merck yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) mengalami penurunan harga yang cukup berarti. Meskipun pimpinan perusahaan Merck di Indonesia menyatakan tida ada hubungan dengan Merck yang dipersoalkan, jelas keduanya tidak bisa dipisahkan.
Mengapa semua itu terjadi? Jawabannya adalah ketamakan dan hilangnya nilai-nilai luhur dalam berusaha. Ketika kesuksesan manajemen hanya diukur dari besaran profit dan peningkatan nilai jaringan kerja perusahaan, maka target utamanya adalah bagaimana meningkatkan nilai saham di pasar modal. Untuk mencapai tujuan ini window dressing adalah caranya. Pelaksana tugas yang satu ini tiada lain adalah perusahaan akuntan yang sudah punya reputasi. Karena dengan "cantiknya" laporan keuangan, investor akan tertarik dan kreditor akan mudah mengucurkan pinjaman.
Etika yang dilanggar oleh akuntan publik dalam kasus Merck ini adalah integritas, objektivitas, dan perilaku profesional. Arthur Andersen tidak mungkin tidak mengetahui penyimpangan sejumlah US$12,4 milyar yang tercantum di laporan keuangan klien. Bahkan Arthur Andersen dituduh membantu Merck dalam melakukan rekayasa tersebut. Selain itu, Arthur Andersen tentu takut kehilangan klien besar seperti Merck apabila mengungkapkan praktek kecurangan yang ada.
Nama : Bramadhani Tribuana
ReplyDeleteNIM : C4C009001
Kasus : Audit pada 37 Bank bermasalah terkait BLBI
AUDIT 37 BANK BERMASALAH TERKAIT BLBI
Salah satu sector perekonomian Indonesia yang beberapa waktu ini menjadi sorotan utama masyarakat adalah sector perbankan terkait dengan kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terungkap. Sektor perbankan adalah pengerah dana masyarakat. Tidak hanya melalui tabungan, jika bank telah masuk bursa, bank bahkan menarik dana masyarakat dalam bentuk penanaman modal. Masyarakat akan menaruh dananya dalam berbagai bentuk jika bank menunjukkan kondisi keuangan yang sehat. Jika manajemen berhasil mendapatkan kepercayaan masyarakat dengan menyajikan laporan keuangan yang menggambarkan keberhasilan perusahaan secara keuangan maka tidak ragu lagi aliran dana dari masyarakat akan mengalir kedalam bank.
Namun permasalahannya dalam laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen itu terdapat kemungkinan salah saji (erorr) yang tidak disengaja, atau bahkan banyak diantaranya malah disengaja (irregularities). Karena manajemen dalam menyajikan laporan keuangan mempunyai tujuan tertentu, maka diperlukan jasa profesional untuk menilai kewajaran informasi keuangan yang disajikan manajemen. Jasa profesional inilah yang dilakukan oleh auditor independen. Tetapi bagaimana kalau jasa yang diberikan auditor itu tidak profesional dan tidak secara konsisten menerapkan kualitas dalam perencanaan dan pekerjaan lapangan dan pelaporan? Kemungkinan terbesarnya adalah auditor tidak menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan auditnya, tidak sepenuhnya mematuhi etika profesionalitasnya, yang pada ujungnya menyebabkan tidak dapat menemukan error dan irregularities serta akhirnya memberikan pendapat yang misleading tentang laporan bank yang diauditnya.
Etika Profesional Auditor dan Standar Profesional Akuntan Publik
Etika profesional diperlukan setiap profesi karena kebutuhan profesi tersebut akan kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa yang diserahkan, siapapun orangnya. Begitu juga terhadap profesi akuntan publik, kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit akan menjadi lebih tinggi jika profesi akuntan publik menerapkan standar mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan audit.Bagi profesi akuntan, etika profesional semacam ini dikenal dengan nama Kode Etik Akuntan Indonesia. Anggota IAI yang berpraktik sebagai akuntan publik bertanggung jawab mematuhi pasal-pasal yang tercantum dalam Kode Etik Akuntan Indonesia, termasuk juga semua orang yang bekerja dalam praktik profesi akuntan publik, seperti karyawan, partner, dan staf.
Sedangkan Standar Auditing adalah suatu ukuran pelaksanaan tindakan yang merupakan pedoman umum bagi auditor dalam melaksanakan audit. Atau dapat juga disebut sebagai ukuran baku atas mutu jasa auditing. Standar auditing terdiri dari 10 standar dan semua Pernyataan Standar Auditing yang berlaku. Sepuluh standar itu terbagi atas Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan, dan Standar Pelaporan. Standar Umum mengatur syarat-syarat diri auditor, Standar Pekerjaan Lapangan mengatur mutu pelaksanaan auditing, dan Standar Pelaporan memberikan panduan auditor dalam mengkomunikasikan hasil auditnya melalui laporan audit kepada pemakai laporan keuangan. Standar Auditing dan beberapa standar serta pernyataan lainnya dikodifikasi dalam buku Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) sejak Agustus 1994.
Standar Auditing
A.Standar Umum
1.Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor.
2.Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor.
3.Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
B.Standar Pekerjaan Lapangan
1.Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya.
2.Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan.
3.Bahan bukti kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.
C.Standar Pelaporan
1.Laporan audit harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.
2.Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang di dalamnya prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
3.Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit.
4.Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan.
Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP)
Pengawasan kepatuhan dan penilaian pelaksanaan kode etik serta SPAP oleh akuntan publik dilaksanakan oleh Badan Pengawas Profesi di tingkat Kompartemen Akuntan Publik dan Dewan Pertimbangan Profesi di tingkat IAI. Badan Pengawas Profesi –yang sekarang bernama Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik (BP2AP) dan berfungsi sebagai lembaga peradilan tingkat I ini– beranggotakan kalangan akuntan publik di Kompartemen Akuntan Publik yang diusulkan dan diangkat oleh Rapat Anggota Kompartemen. Sedang Dewan Pertimbangan Profesi yang sekarang bernama Majelis Kehormatan beranggotakan tokoh-tokoh profesi yang dihormati dari berbagai kalangan akuntan, pejabat Pemerintah, kalangan pemakai jasa akuntan, dan tokoh masyarakat. Majelis ini diangkat oleh Kongres IAI dan bertanggung jawab kepada kongres tersebut.
Fungsi dari Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik ini secara garis besar adalah mengawasi kepatuhan dan melakukan penilaian pelaksanaan Kode Etik Akuntan Indonesia dan SPAP oleh akuntan publik. Badan ini juga menangani pengaduan dari masyarakat menyangkut pelanggaran akuntan publik terhadap Kode Etik Akuntan Indonesia atau SPAP. Kemudian jika menemukan pelanggaran Kode Etik Akuntan Indonesia SPAP, Badan ini berwenang untuk menetapkan sanksi kepada akuntan publik yang melanggar. Selain itu Badan ini juga dapat mengajukan usul dan saran mengenai pengembangan kode etik akuntan kepada Komite Kode Etik.Tetapi jika terdapat akuntan publik yang mengajukan banding atas keputusan sanksi yang dijatuhkan, maka kasus ini kemudian ditangani oleh lembaga banding, yaitu Majelis Kehormatan IAI. Majelis ini berwewenang untuk menangani semua kasus pelanggaran kode etik atau SPAP pada tingkat banding dan menetapkan sanksi yang bersifat final.
Majelis ini dapat mengenakan sanksi berupa pemberhentian keanggotaan sementara atau tetap. Tetapi Majelis ini bertindak atas dasar pengaduan tertulis mengenai pelanggaran kode etik oleh anggota IAI atau atas permintaan pengurus IAI. Selain itu dalam rangka pengendalian mutu kantor akuntan publik, IAI menyusun Sistem Pengendalian Mutu Kantor Akuntan Publik, berupa pernyataan Standar Pengendalian Mutu. Dalam sistem tersebut, pekerjaan seorang akuntan publik dapat direview oleh akuntan publik lain atau institusi yang berwenang, yaitu BPKP sejak tahun 1983. Hal ini disebut juga peer review. Dalam review ini setiap anggota IAI tidak boleh menghalangi atau menghindari pelaksanaan review dari anggota lainnya yang ditunjuk IAI atau instansi yang ditunjuk untuk itu, yaitu BPKP.
Peer Review
Peer Review BPKP Atas Kertas Kerja Auditor dalam konteks krisis, ketika banyak bank-bank yang ambruk padahal laporan keuangannya menunjukkan prestasi bagus dan sehat, masyarakat mencurigai kalau banyak auditor sebenarnya mempunyai kontribusi terhadap ambruknya dunia perbankan. Kecurigaaan masyarakat ini sebenarnya ditangkap oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan ditindaklanjuti dengan keinginan pada bulan April 1999 untuk membentuk tim di bidang penegakan disiplin. Tim ini akan meneliti kertas kerja kantor akuntan publik (KAP) yang mengaudit laporan keuangan 38 bank beku usaha (BBKU). Hal ini juga ditujukan agar auditor lebih menjaga kualitas pekerjaan, menjalankan kode etik dan SPAP, yang nantinya berujung agar para bankir tidak lagi melakukan rekayasa laporan keuangan.
Tetapi sayangnya niat tersebut tidak terlaksana, karena IAI sampai beberapa saat tidak mewujudkan niatnya tersebut. Karena itu Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Departemen Keuangan pada Oktober 1999 meminta BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) untuk menggantikan niat IAI dan melakukan peer review terhadap kertas kerja auditor bank bermasalah untuk tahun buku 1995, 1996, 1997. Hal ini dilakukan berdasarkan SK Menteri Keuangan No.472/KMK.01.017/1999 tanggal 4 Oktober 1999 tentang Pembentukan Tim Evaluasi terhadap Auditor yang Mengaudit Bank-Bank Bermasalah.
Tujuan dari peer review ini adalah untuk melaksanakan tugas Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai Departemen Keuangan sebagai pembina profesi akuntan dan juga untuk menjawab kecurigan masyarakat berkaitan dengan kualitas pekerjaan auditor bank-bank tersebut. Peer review ini dilakukan dengan memeriksa kertas kerja yang dibuat auditor ketika mengaudit bank-bank tersebut untuk melihat bagaimana pelaksanaan SPAP dipatuhi. Menurut Standar Auditing Seksi 339 Kertas Kerja paragraf 03, kertas kerja adalah catatan-catatan yang diselenggarakan oleh auditor mengenai prosedur audit yang ditempuhnya, pengujian yang dilakukannya, informasi yang diperolehnya, dan kesimpulan yang dibuatnya sehubungan dengan auditnya.
Kertas Kerja ini dapat dikelompokkan ke dalam 5 tipe, yaitu (1) Program Audit, (2) Working Trial Balance, (3) Ringkasan Jurnal Adjustment, (4) Lead Schedule atau Top Schedule, dan (5) Supporting Schedule. Jadi peer review ini dilakukan BPKP dengan memeriksa kertas kerja yang dibuat auditor dalam mengaudit bank-bank tersebut, bukan melakukan audit lagi terhadap bank-bank tersebut. Dengan memeriksa kertas kerja, maka BPKP dapat melihat kualitas pekerjaan auditor, karena tujuan pembuatan kertas kerja ini adalah untuk mendukung pendapat auditor atas laporan keuangan auditan, menguatkan kesimpulan-kesimpulan auditor dan kompetensi auditnya, mengkoordinasi dan mengorganisasi semua tahap audit, serta memberikan pedoman dalam audit berikutnya. Kemudian Standar Auditing Sksi 339 Kertas Kerja paragraf 05 menyatakan bahwa kertas kerja harus cukup memperlihatkan bahwa catatan akuntansi cocok dengan laporan keuangan atau informasi lain yang dilaporkan serta standar auditing yang dapat diterapkan dan dilaksanakan oleh auditor.
Kertas kerja ini biasanya harus berisi dokumentasi yang memperlihatkan:
1.Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan pertama, yaitu pemeriksaan telah direncanakan dan disupervisi dengan baik.
2.Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan kedua, yaitu pemahaman memadai atas struktur pengendalian intern telah diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang telah dilakukan.
3.Telah dilaksanakannya standar pekerjaan lapangan ketiga, yaitu bukti audit telah diperoleh, prosedur audit telah diterapkan, dan pengujian telah dilaksanakan, yang memberikan bukti kompeten yang cukup sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan auditan
Hasil peer review BPKP atas kertas kerja auditor bank-bank bermasalah ternyata menunjukkan bahwa banyak auditor tersebut yang melanggar SPAP. Peer review yang dilakukan atas kertas kerja 10 KAP (ada 17 auditor yang menjabat sebagai partner) yang mengaudit 37 bank bermasalah memperlihatkan bahwa:
1.Hampir semua KAP tidak melakukan pengujian yang memadai atas suatu account.
2.Pada umumnya dokumentasi audit kurang memadai (70%).
3.Terdapat auditor yang tidak memahami peraturan perbankan tetapi menerima penugasan audit terhadap bank (1 auditor).
4.Pengungkapan yang tidak memadai di dalam laporan audit (80%).
5.Masih terdapat auditor yang tidak mengetahui laporan dan opini audit yang sesuai dengan standar.
REKAPITULASI HASIL PEER REVIEW BPKP TERHADAP KERTAS KERJA AUDITOR 37 BANK BERMASALAH
Ketentuan Standar Uraian Pelanggaran Jumlah KAP
1.Standar Pekerjaan Lapangan Tidak melakukan pengujian yang memadai atas suatu account (9)
2.Dokumentasi audit tidak memadai (7)
3.Tidak melakukan kontrol hubungan (5)
4.Tidak melakukan uji ketaatan terhadap peraturan (4)
5.Tidak membuat simpulan audit (4)
6.Tidak melakukan perencanaan sampel audit (3)
7.Tidak melakukan pengujian fisik (2)
8.Tidak melakukan pengkajian terhadap resiko audit dan materialitas (2)
9.Tidak memahami dan mempelajari peraturan perbankan (1)
10.Audit program yang tidak sesuai dengan karakteristik bisnis klien (1)
11.Standar Pelaporan Pengungkapan yang tidak memadai (8)
12.Opini audit yang tidak sesuai dengan standar (1)
13.Kesalahan pengklasifikasian suatu transaksi (1)
14.Laporan audit yang tidak sesuai dengan standar (1)
Dari keseluruhan kertas kerja auditor yang direview, hanya satu KAP yang menurut BPKP tidak terdapat temuan penyimpangan dari Standar Auditing. Ketika auditor melanggar Standar Auditing seperti yang terdapat dalam peer review BPKP kemungkinan terbesarnya adalah auditor tidak dapat menemukan error dan irregularities serta akhirnya memberikan pendapat yang misleading tentang laporan bank yang diauditnya.
Hasil peer review tersebut sebenarnya secara gamblang menggambarkan bahwa banyak auditor yang tidak menjaga mutu pekerjaan auditnya. Hasil peer review ini oleh BPKP telah disampaikan ke Departemen Keuangan tahun 2000. Namun sampai saat ini belum ada tindakan apapun dari Departemen Keuangan. Sedangkan IAI sebagai organisasi profesi akuntan tidak melakukan tindakan apapun atas hasil peer review ini.
Sumber:
1.Kompetensi Dan Independensi Akuntan Publik : Refleksi Hasil Penelitian Empiris - Yulius Jogi Christiawan, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra
2.Melanggar Standar atau Kejahatan Profesi? Hasil Peer Review BPKP atas Kertas Kerja Auditor Bank-Bank Bermasalah
Diskusi KAP Bermasalah Majalah Media Akuntansi-IAI, Jakarta, 2 Mei 2001 – Agam Fatchurrochman Ketua Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch
copas ya smwx,Pantesan bangsa ini gak bs kreatip,
ReplyDeleteckckck